Bisakah Ahok Gantikan Calon Wakil Presiden Ma'ruf Amin Di Tengah Jalan, Simak 7 Fakta ini

Hal ini juga menjadi pembicaraan netizen di media sosial. Betapa tidak pasangan Joko Widodo dan Ahok dianggap pasangan serasi pada pilpres 2019 ini.

Editor: andika arnoldy
KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG
Calon Wakil Presiden, Maruf Amin tiba untuk menjalani pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta, Minggu (12/8/2018). Selain pasangan Jokowi-Maruf Amin, pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno juga akan menjalani pemeriksaan kesehatan pada hari Senin 13 Agustus. Pemeriksaan kesehatan tersebut merupakan satu diantara syarat wajib yang diberlakukan KPU bagi capres dan cawapres untuk mengikuti Pilpres mendatang.(KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG) 

TRIBUNJAMBI.COM- Simpang siur isu Calon presiden Joko Widodo akan mengganti calon wakil presiden Maruf Amin dengan Ahok dengan Basuki Tjahja Purnama (BTP) semakin santer.

Betapa tidak pasangan Joko Widodo dan Ahok dianggap pasangan serasi pada pilpres 2019 ini.

Namun impian untuk memasangkan Jokowi dengan Ahok agaknya sulit dicapai.

Karena ada beberapa aturan yang tak boleh dilanggar.

Dikutip dari wartakota, TKN tanggapi rumor Ma'ruf Amin diganti BTP di tengah jalan. Ada tujuh fakta, Maruf Amin mustahil diganti Ahok BTP di tengah jalan. Kalau pun bisa, prosesnya rumit dan memakan waktu panjang. Jadi, di Pilpres 2019, kecil

kemungkinan Kiai Ma’ruf bakal diganti Basuki Tjahaja Purnama.

Baca: Dosen Nikahi Pelakor, Awalnya Modus Minta Les untuk Anaknya, Ternyata Ibunya Minta Les Membatik

Baca: VIRAL! Dosen Ini Rela Tinggalkan Anak dan Istri untuk Menikah dengan Pelakor, Curiga Sejak 2014

Baca: Sandungan Pemkab Sarolangun sehingga Tak Dapat Adipura, Terungkap Ternyata Ini Masalahnya

WAKIL Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Abdul Kadir Karding menanggapi desas-desus posisi Kiai Ma’ruf bakal diganti Basuki Tjahaja Purnama (BTP) yang tiba-tiba saja menjadi rumor politik di media sosial.

"Saya menyebutnya sebagai rumor lantaran tidak jelas asal mula isu itu berembus dan entah apa tujuannya," kata Abdul Kadir Karding dalam rilis yang diterima di Jakarta, Jumat (15/2/2019).

Ia menduga rumor itu sengaja dihembuskan lawan politik sebagai plot untuk membikin warga nahdliyin (NU) gelisah.

Psikologi kaum nahdliyin diusik seolah-olah bakal ada upaya “mengkudeta” kiai mereka.

Jadi ketimbang kiai dizolimi saat sudah menjadi wapres, lebih baik tidak usah dipilih sekalian.

"Saya memastikan usaha mencopot atau menghentikan Kiai Ma'ruf sebagai wakil presiden apabila memenangi Pilpres 2019 nyaris tak bisa dilakukan. Kendalanya bukan saja ada pada ranah politik, tapi juga hukum," kata Abdul Kadir Karding.

Dari sisi politik, ia jelas tak mungkin dilakukan karena saat kekuataan partai politik pemerintah berjumlah mayoritas. Sehingga usaha menggeser Kiai Maruf akan mendapat tentangan dari partai-partai politik pengusungnya di Pilpres 2019 yang berjumlah sembilan partai.

Calon presiden petahana Joko Widodo (tengah) didampingi calon wakil presiden Maruf Amin (kedua kanan) tiba di Gedung Joang, Jakarta, Jumat (10/8). Joko Widodo menyampaikan pidato politik sebelum mendaftarkan diri ke KPU untuk Pilpres 2019. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/foc/18.(PUSPA PERWITASARI)
Calon presiden petahana Joko Widodo (tengah) didampingi calon wakil presiden Maruf Amin (kedua kanan) tiba di Gedung Joang, Jakarta, Jumat (10/8). Joko Widodo menyampaikan pidato politik sebelum mendaftarkan diri ke KPU untuk Pilpres 2019. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/foc/18.(PUSPA PERWITASARI) (kompas.com)

Mustahil

Abdul Kadir Karding menerangkan, mengacu UUD 1945 Pasal 7A dan 7B ayat 1 sampai ayat 7 menerangkan, betapa ruwet dan rumitnya usaha untuk memberhentikan seorang presiden dan atau wakil presiden.

Berikut ini ada.... fakta

Fakta 1: Pasal 7A UUD 1925

Baca: Hasil Survei Calon Presiden Jokowi- Maruf vs Prabowo Sandi, Makin Sengit, Beda Tipis

Baca: Minyak Kelapa Diklaim Lebih Sehat, Yuk Buat Sendiri di Rumah

Baca: Jika Kalah dari Prabowo Subianto Pada Pilpres 2019, Jokowi Akan Tekuni Pekerjaan Ini

Pasal 7A UUD 1925 menyatakan, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Fakta 2: Pasal 7B ayat 1
Namun, berdasarkan Pasal 7B ayat 1 sebelum mengajukan usul pemberhentian presiden dan atau wakil presiden ke MPR, DPR harus lebih dahulu mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus apakah seorang presiden atau wakil presiden benar melakukan pelanggaran hukum atau tidak.

TKN Jokowi-Ma'ruf Abdul Kadir Kading Berikan Penjelasan
TKN Jokowi-Ma'ruf Abdul Kadir Kading Berikan Penjelasan (tribunnews.com)

Fakta 3: Pasal 7B ayat 3
Mengacu Pasal 7B ayat 3 DPR baru bisa mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi apabila mendapat dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Fakta 4: Pasal 7B ayat 4
Setelah itu, menurut Pasal 7B ayat 4 Mahkamah Konstitusi punya waktu 90 hari untuk memutuskan permohonan DPR.

Fakta 5: Pasal 7B ayat 5
Kalaupun pada akhirnya MK menyatakan presiden dan atau wakil presiden bersalah atau memenuhi syarat untuk diberhentikan, DPR masih harus menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Itu sesuai Pasal 7B ayat 5. Pasal itu artinya, meski proses hukum di Mahkamah Konstitusi sudah dilalui, maka masih ada proses politik yang mesti diselesaikan lewat sidang paripurna ini.

Fakta 6: Pasal 7B (6)
Selanjutnya, kalaupun sidang paripurna DPR menyatakan setuju untuk membawa usulan pemberhentian presiden dan atau wakil presiden ke MPR maka MPR, masih diberi waktu paling lambat 30 hari untuk menerima usulan itu.
Itu sebagaimana diatur dalam Pasal 7B (6).

Selama 30 hari itu seluruh fraksi dan faksi di MPR dipastikan akan melakukan berbagai manuver politik sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Sehingga proses pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak akan berjalan alot dan melelahkan.

Fakta 7: Pasal 7B ayat 7 UUD 1945
Setelah MPR memutuskan untuk menerima usulan DPR soal pemberhentian presiden dan atau wakil presiden, Pasal 7B ayat 7 UUD 1945 mengharuskan mekanisme pengambilan keputusan atas usulan DPR itu mesti dihadiri sekurang-kurang 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.

Seandainya presiden dan atau wakil presiden benar-benar diberhentikan, Pasal 8 (1) mengatakan, apabila yang berhenti presiden maka secara otomatis yang diambil sumpah menjadi presiden adalah wakil presiden.

Namun, apabila wakil presiden yang diberhentikan maka selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh hari, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden.

Dari aturan yang terdapat dalam UUD 1945 dapat dipastikan bahwa proses pemberhentian seorang presiden dan atau wakil presiden hingga mencari penggantinya memakan waktu yang cukup panjang.

Baca: Tak Tahan Dituduh Terus Menerus, Fifi Lety Akhirnya Bongkar Perselingkuhan Veronica Tan, Good Friend

Baca: Miss Indonesia Asal Jambi Kalahkan Pacar Anak Ahok Di Ajang Miss Indonesia 2019

Baca: Indonesia dan Malaysia Gelar Tourism Gathering

Pertama, ia harus melalui usulan DPR ke Mahkamah Konstitusi.

Hasil pemeriksaan MK kemudian diserahkan ke DPR untuk kemudian di bawa ke MPR.

Kedua, setelah MPR memutuskan menerima pemberhentian presiden dan atau wakil presiden, maka MPR masih harus bersidang guna memtuskan penggantinya.

"Jadi kesimpulan saya seorang wapres memang bisa diberhentikan dengan sejumlah syarat meski itu harus dilalui dengan jalan panjang nan melelahkan atau kalau dikontekskan dengan politik dapat dikatakan mustahil terjadi," kata Abdul Kadir Karding. (Antara

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved