Ketika akan Dieksekusi Robert Mongisidi Menolak Pakai Penutup Mata dan Tetap Teriak "Merdeka!"
Pada perlawananya kali ini, Robert Wolter Mongisidi dan pasukannya melancarkan serangan berbeda. Ia menargetkan individu atau kelompok kecil.
TRIBUNJAMBI.COM - Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan oleh Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 ternyata tidak diketahu secara merata.
Khususnya oleh rakyat Sulawesi Selatan karena masih jarang yang memiliki radio.
Oleh karena itu pasukan NICA dan KNIL yang sudah dibebaskan oleh pasukan Jepang dari tahanan memanfaatkan situasi minimnya informasi di Sulawesi Selatan itu untuk mengambil alih kekuasaan.
Pasukan NICA dan KNIl yang dengan cepat melakukan konsolidasi itu langsung memiliki pengaruh karena didukung persenjataan hasil rampasan dari pasukan Jepang yang sudah menyerah kepada Sekutu.
Pada 24 September 1945, pasukan Sekutu (Australia-Belanda) mendarat di Makassar untuk melaksanakan misi pembebasan tawanan pasukan Belanda yang ditahan Jepang sekaligus melucuti persenjataan pasukan Jepang.
Baca: Review Toyota Avanza 2019 dan New Veloz 2019, Harga Ternyata Masih Sama, Desain Lebih Baik?
Baca: Hanya Foto Sebuah Telur Bisa Mengalahkan Jumlah Like Kylie Jenner? Bagaimana Bisa Dapat 38 Juta Like
Baca: Sebelum Digilir 3 Pria, Siswi SMA Ini Sempat Dibuat Mabuk, Berawal dari Nonton Konser Band
Pasukan Sekutu itu selain membawa pasukan Belanda juga membekali diri dengan “surat sakti”, yakni Perjanjian Postdam yang ditandatangani pada 26 Juli 1945.
Isi perjanjian Postdam itu menyatakan bahwa “wilayah yang diduduki musuh” (occupied area) harus dikembalikan kepada penguasa semula.
Jika isi perjanjian itu dikaitkan dengan Indonesia, berarti pasukan Jepang harus mengembalikan Indonesia kepada Belanda.
Singkat kata Belanda memang ingin menguasai Indonesia lagi dan menjadikan Makassar sebagai ibukota Negara Indonesia Timur.
Para pejuang kemerdekaan di Makassar pun kemudian membentuk pasukan perlawanan demi melawan pasukan Belanda.
Pasukan perlawanan yang saat itu berhasil dibentuk untuk mempertahankan kemerdekaan RI adalah Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (Lapris).
Salah satu pejuang Lapris yang kemudian gugur dan menjadi pahlawan nasional adalah Robert Wolter Mongisidi.
Karena perlawanan pasukan Lapris selalu berhasil dipukul mundur oleh pasukan Belanda, kekuatannya menjadi terpecah-pecah.
Baca: Masih Menjadi Bawahan, Kisah Kopassus Alex Kawilarang Berani Tempeleng Soeharto Saat Jadi Letkol
Baca: Masih Berlanjut, Kabar Terbaru Perselingkuhan Mahasiswi dan Dosen, Akan Ceraikan Istri Sah!
Baca: Pengakuan IDI dan Dokter Daerah Terkait Pidato Kebangsaan Prabowo, Ada yang Tak Dapat Gaji Pokok
Pada serangan militer Belanda yang dilancarkan pada 8 Agustus 1946, kubu pasukan Lapris yang berada di Gunung Ranaya berhasil dihancurkan dan para pejuang Lapris pun memilih turun gunung .
Mereka kemudian melanjutkan perlawanan melalui taktik peperangan secara gerilya.
Salah satu personel yang terus bertempur secara gerilya adalah Maulwi Saelan, yang kelak menjadi pengawal pribadi Presiden Soekarno.
Maulwi yang pada puncak kariernya berpangkat kolonel juga menjabat sebagai Wakil Komandan Pasukan Pengawal Presiden, Cakrabirawa.
Setelah turun gunung dan kembali meneruskan perjuangan ke Makassar, Maulwi dan rekan-rekan seperjuangan kemudian mencari nama baru bagi pasukan gerilyanya yang juga merupakan pasukan khusus itu.
Karena pada masa penjajahan Jepang Maulwi dan rekannya suka menonton film yang ada harimaunya, pasukan gerilya Maulwi kemudian dinamai Pasukan Harimau Indonesia.
Laskar Harimau Indonesia ini memang terkenal militan karena terdiri dari para pejuang kelompok pelajar SMP Nasional yang umumnya mahir berbahasa Belanda.
Mereka pernah menyerang dan menduduki Hotel Empres pada 29 Oktober 1945 dari tangan NICA serta berhasil membebaskan rekan yang semula ditahan oleh NICA.
Baca: Update Baru Kasus Vanessa Angel, Satu Mucikari Kencan Artis Ditangkap, Sempat Bikin Polisi Repot
Baca: Jennie BLACKPINK Ulang Tahun, Tagar ShiningJennieDay jadi Trending Topik, Genap 23 Tahun
Baca: Fahri Hamzah Nilai Pidato Kebangsaan Prabowo: Maaf Bapak Gagal Menunjukkan kepada Publik dan. . .
Komandan Pasukan Harimau Indonesia adalah Muhammad Syah, Wakil Komandan Robert Wolter Mongisidi, dan Maulwi Saelan sendiri menjabat sebagai Kepala Staf.
Seperti tertulis dalam buku Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Seokarno, dalam strategi tempurnya Pasukan Harimau Indonesia memiliki taktik dan strategi tempur khusus.
Yakni menyerang dan merampas persenjataan pasukan Belanda dengan target individu atau kelompok kecil serdadu NICA, KNIL, polisi, kaki tangan Belanda, serta gudang amunisi.
Jika digambarkan sebagai pasukan jaman sekarang Pasukan Harimau Indonesia ini memang seperti pasukan khusus yang bertempur secara senyap, mahir melaksanakan sabotase sasaran vital musuh, menimbulkan ketakutan dan kepanikan terhadap kehidupan sehar-hari pasukan Belanda, menghadang distribusi logistik, dan lainnya.
Pertempuran besar itu terjadi pada 8 Agustus 1946.
Akibatnya, pasukan Lapris sempat turun gunung dan mengubah strategi perlawan.
Sejak saat itu, perlawanannya dilakukan secara gerilya.
Pasukan Gerilya ini dinamai Pasukan Harimau Indonesia.
Robert Wolter Mongisidi pun menjadi wakil komandan Pasukan Harimau Indonesia.

Pada perlawananya kali ini, Robert Wolter Mongisidi dan pasukannya melancarkan serangan berbeda.
Ia menargetkan individu atau kelompok kecil dari pasukan militer Belanda untuk menyerang dan merampas senjata.
Hal ini diungkap dalam buku Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno, seperti yang dikutip Intisari.
Namun, perlawanan demi perlawanan bersama Pasukan Harimau Indonesia harus berujung tragis.
Robert Wolter Mongisidi ditangkap pasukan militer Belanda dan divonis hukuman mati.
Sebelum dieksekusi mati, Robert Wolter Mongisidi meminta agar kedua matanya tak ditutup.
Dilansir Tribunjabar.id dari Kompas, Robert Wolter Mongisidi pun sampai tiga kali meneriakkan kata 'Merdeka.
Pada akhirnya, nyawanya melayang dihantam peluru pasukan militer Belanda.
Ternyata, sebelum meninggal Robert Wolter Mongisidi pun menuliskan sepucuk surat.
Surat itu diketahui karena kertas itu diselipkan pada sebuah Alkitab.
Alkitab itu ia bawa saat ia dihukum mati.
Pada kertas itu tertulis ungkapan patriotik dari Robert Wolter Mongisidi, 'Setia hingga akhir dalam keyakinan'.
Sosok Robert Wolter Mongisidi pun diberikan gelar kehormatan sebagai pahlawan nasional, pada 1973.
Perjuangan Robert Wolter Mongisidi di tanah Makassar pun sempat diadaptasi dalam sebuah film berjudul Tapak-tapak Kaki Wolter Mongisidi.
Sosoknya diperankan Roy Marten dan film ini tayang pada 1982.
Baca: Dijual 6 Muncikari, Vanessa Angel Terdeteksi 15 Kali Lakukan Transaksi Prostitusi, 9 Akurat
Baca: Gubernur Cup 2019, Lolos Dari Grup Neraka, Kesebelasan Tanjung Jabung Barat, Maju Ke Semifinal
Baca: Isi Kekosongan Jabatan, Lelang Jabatan Eselon II Pemkab Tanjabtim, Segera Dibuka,
Nama Mongisidi pun diabadikan sebaga nama bandara, kapal perang, dan satuan militer (TNI).
ABRI (TNI) di era Orde Baru memiliki pasukan khusus yang dinamai Datasemen Harimau (Den Harin) yang bertugas mengawal Presiden secara senyap.
Tapi keberadaan "pasukan super" yang dianggap jauh lebih hebat dari Kopassus ini masih gelap dan simpang siur karena tidak adanya bukti yang otentik.
Padahal sebagai satuan khusus yang dibentuk secara resmi oleh pemerintah, jika Den Harin memang ada pasti ada bukti dan dokumen otentiknya.