Prajurit Kopassus Ini Bebaskan Bocah Lebanon dari Cengkraman Tentara Israel, Ini Kisah Heroiknya
TRIBUNJAMBI.COM- Seorang prajurit Kopassus tak tinggal diam saat melihat bocah Lebanon ditangkap tentara
TRIBUNJAMBI.COM- Seorang prajurit Kopassus tak tinggal diam saat melihat bocah Lebanon ditangkap tentara Israel, ia berhasil membebaskan bocah itu tanpa menggunakan kekerasan apalagi angkat senjata.
Prajurit Kopassus memang tak hanya mahir dalam bertempur, tapi juga mahir dalam bernegosiasi, apalagi bagi mereka yang ditunjuk sebagai tentara keamanan PBB.
Kisah ini terjadi saat seorang prajurit Kopassus yang tergabung dalam Pasukan Garuda, tengah berusaha membebaskan seorang bocah Lebanon yang ditangkap oleh pasukan Israel.
Kisah ini dimuat dalam buku Kopassus untuk Indonesia yang ditulis Iwan Santosa dan EA Natanegara dan diterbitkan R&W.
Baca: Daerah di Bungo yang akan Dilalui Jalur Kereta Api
Mayor Yudha Airlangga adalah seorang perwira menengah Kopassus TNI AD yang dikirim ke Lebanon.
Yudha tergabung dalam Kontingen Garuda XIII-A.
Salah satu hal yang diingat Yudha selama penugasan adalah saat tentara Israel menangkap seorang bocah Lebanon.
Bocah 15 tahun itu melempari pagar perbatasan Israel dengan batu. Mayor Yudha dan rekan-rekannya mencoba membebaskan anak itu.
Tentu bukan dengan senjata melainkan dengan diplomasi.
Sebagai pasukan di bawah bendera PBB, mereka adalah penengah konflik, bukan pasukan tempur.
Saat itu tim Indonesia mendatangi pos militer Israel dan berbicara secara persuasif.
Kopassus dan pembebasan sandera di pesawat
Baca: Soal Dugaan Pelanggaran Kampanye Rahmat Derita, Bawaslu akan Turun ke 2 Daerah Ini
Mereka mencoba meyakinkan militer Israel bahwa pelaku pelemparan hanya seorang bocah di bawah umur.
Prajurit Kopassus itu meyakinkan agar hal itu tak diperpanjang dan melepaskan bocah tersebut.
Namun ternyata niat tersebut tidak langsung dapat diterima oleh militer Israel. Butuh perjuangan negoisasi selama berjam-jam meyakinkan para tentara Israel tersebut.
Akhirnya setelah negosiasi berlangsung selama empat jam bocah tersebut dibebaskan.
Meski di tengah negoisasi, pasukan Israel tetap siaga dan menodongkan senjata.
"Kita kembangkan sisi kemanusiaannya, sehingga mereka akhirnya berhasil membebaskan anak itu," kata prajurit baret merah ini.
Kiprah Pasukan Garuda saat bertugas di daerah konflik memang selalu mendapat sambutan baik.
Pasukan Indonesia dikenal ramah dan gampang berbaur dengan penduduk lokal.
Baca: Profil Letjen TNI Doni Monardo, Karir di Kopassus Melejit karena Operasi Pembebasan Sandera MV Kudus
Selain itu pasukan Indonesia ringan tangan dan selalu memberikan bantuan kepada masyarakat maupun pasukan lain yang membutuhkan pertolongan.
Tak heran jika setiap penugasan pasukan Garuda selalu diterima dengan baik, bahkan seringkali dijamu oleh masyarakat.
Berbeda dengan pasukan perdamaian lainnya yang biasanya selalu dilempari batu saat patroli oleh warga sekitar.
"Pasukan sudah dibriefing, bahwa jika bertemu dengan warga Libanon harus disapa, diberi salam, namun tetap siaga. Ada yang memberi salam, ada yang tetap memantau situasi sekitar," kata Yudha.
Baca: Tabligh Akbar Tahun Baru 2019, Ribuan Jamaah Doakan Indonesia dan Galang Dana Untuk Korban Tsunami
Bukti kalau prajurit Kopassus pandai mengambil hati warga setempat adalah saat misi perdamaian di Sudan
Cerita ini dialami oleh Mayor Umar, perwira Kopassus yang ditugaskan di Sudan pada tahun 2006.
Sudan merupakan satu diantara negara yang dilanda perang saudara yang terjadi berkepanjangan.
Negeri yang hancur karena perang saudara ini mengalami permasalahan di sektor keamanan.
Hampir setiap hari terjadi kekerasan, pemerkosaan dan pembunuhan. Rakyat merasa khawatir dan terancam keselamatannya saat pergi keluar rumah.
Mereka memilih untuk berada di dalam rumah dan tak beraktivitas di luar karena ancaman kekerasan sewaktu-waktu bisa terjadi.
Baca: Sniper SAS Inggris Dianggap Bau Kencur di Hadapan 7 Sniper Tersohor Ini, Ada Sniper Indonesia Lho
Akibatnya, sekedar butuh kayu bakar untuk memasak pun tak ada yang berani mencarinya ke pinggiran hutan.
Umar pun pernah satu kali menyambangi rumah warga di sana.
Sudan yang warganya mayoritas muslim memang mudah didekati oleh orang Indonesia yang mayoritas muslim.
Kunjungan tersebut disambut dengan tangan terbuka oleh masyarakat Sudan.
Namun karena tak memiliki apapun untuk disuguhkan, warga hanya mengambil air minum yang disuguhkan untuk Umar.
Saat melihat kondisi airnya, Umar kaget, warnanya keruh dan yang membuatnya kaget air tersebut diambil dari wadah yang sama untuk memberi minum kuda.
Baca: Sampaikan Pembelaan, Mantan Kadis Bunhut Sarolangun Ini, Menangis di Persidangan
Di negeri yang berada di benua Afrika dan sedang bertikai, air menjadi satu diantara sumber daya yang susah untuk dicari.
Saking ingin menghormati tamunya, warga memberikan satu-satunya hal berharga yang mereka miliki yakni air.
Karena tak ingin mengecewakan tuan rumah, sambil menahan nafas ia pun terpaksa meminumnya.
Tapi di kali berikutnya, dia punya trik agar terhindar dari penghormatan yang amat berisiko menimbulkan sakit perut tersebut.
Belajar dari pengalaman tersebut Umar pun kemudian mempunyai trik untuk menolak secara halus setiap kali Ia berkunjung ke rumah warga dan disuguhi hal yang serupa.
Baca: Pesan Pelaksana Tugas Gubernur Jambi Fachrori Umar: 2019 Hijrah Kearah Lebih Baik
Setiap kali disuguhi air minum seperti ini akhirnya Umar menolaknya dengan mengaku sedang berpuasa.
Kisah Heroik 3 Prajurit Kopassus Taklukkan Gunung Everest
Ceita tentang kehebatan Pasukan elite TNI Kopassus memang tak pernah ada habisnya.
Contohnya seperti penumpasan pemberontakan G30S/PKI, berperang melawan pasukan elite SAS di hutan
Kalimantan, pertempuran dengan Fretilin di Timor Timur hingga pembebasan penyanderaan pesawat Garuda di Woyla, Bangkok.
Salah satu cerita patriotisme anggota Kopassus yang tak boleh ketinggalan untuk dibahas adalah saat pendakian ke Gunung Everest puncak tertinggi yang disebut juga atap dunia pada tahun 1997.
Seperti dikutip dari buku 'The Climb: Tragic Ambitions on Everest' karya Anatoli Boukreev (1997)
Tim Nasional Ekspedisi Everest berjumlah 43 orang, terdiri dari anggota Kopassus, Wanadri, FPTI, Rakata, dan Mapala UI.
Baca: Kisah Pilu, Nenek Ini Dibebaskan Meski Telah Memutilasi Putranya Sendiri Jadi 70 Bagian
Setelah ekspedisi besar, tersisa 16 orang yang kemudian dibagi menjadi dua tim.
6 orang naik dari sebelah utara melalui Tibet, 10 orang naik dari sebelah selatan melalui Nepal.
Tim yang dipimpin Anatoli Nikolaevich Boukreev (Kazakhastan), yang dikenal dengan The Ghost of Everest serta Richard Pawlosky (Polandia) dipilih menjadi pelatih tim.
Vladimir Bashkirov dipercaya menjadi film maker, sedangkan Dr. Evgeni Vinogradski menjadi dokter tim.
Dalam catatannya, Boukreev terkesima dengan semangat juang dan rasa patriotisme para anggota baret merah yang ikut dalam pendakian itu
Baca: 20 Terdakwa Penyelundupan Lobster, Divonis Sama. Ini Putusan Majelis Hakim PN Jambi
Tiga orang anggota Kopassus yang berhasil menaklukkan Everest (1997) yakni Prajurit Satu (Pratu) Asmujiono, Sersan Misirin, dan Lettu Iwan Setiawan
Dalam bukunya yang berjudul The Climb, Anatoli Boukreev menceritakan kisah heroiknya mereka sebagai berikut:
"Misirin berjalan maju, perlahan tanpa pertolongan.
Asmujiono bergerak mantap, tapi seperti orang yang sedang bermeditasi.
Iwan berjalan pelan pula, namun bisa dilihat kemampuan koordinasinya berkurang meski mentalnya masih kuat.
Misirin menunjukkan dari semuanya ialah yang paling mantap, karena itu kami memberikan dia kesempatan sebagai orang yang pertama mencapai puncak.
Tekad dari orang tiga ini tidak terpecahkan, kesempatan mencapai puncak, tidak mau mereka sia-siakan.
Terpikir diotak saya, biar satu orang saja yang muncak, biarkan yang lainnya turun. Ah.! nanti saja saya pikirkan, kalau kami sudah melalui Hillary Step.
Baca: Gara-gara Satu Keluarga Selfie di Kawasan Air Terjun di Trenggalek, Ayah dan Anak Tewas
Tiba-tiba saya bisa merasakan Asmujiono konsentrasinya semakin berkurang, dan saya instruksikan Dr. Vinogradski untuk mengamati Asmujiono.
Bashkirov dan Misirin berjalan paling depan, setelah itu Iwan dan saya, Asmujiono dan Dr. Vinogradski terakhir di belakang.
Punggungan gunung hari ini tampaknya lain dari biasanya, lebih terjal dan saljunya tebal sekali.
Iwan bisa maju dengan perlahan, namun pada satu tempat badannya oleng.
Untunglah disaat yang kritis itu ia berhasil diselamatkan dengan tali pengaman.
Ketika saya sedang memperlihatkan padanya bagaimana cara menggunakan linggis es (Ice Pickels) di punggung gunung secara benar, disini jelas terlihat bahwa saya sedang berhadapan dengan orang yang baru 4 bulan lalu untuk pertama kali dalam hidupnya melihat salju.
Sebenarnya melalui rute punggung gunung ini, dengan hanya menggunakan tali pengaman sudah cukup.
Hal ini sudah saya perhitungkan sebelumnya, jadi tidak perlu menggunakan Linggis Es.
Tapi sekarang saya terpaksa harus mengajarkan menggunakan itu ke anak muda yang sabar dan bertekad bulat ini.
Saya bertanya kembali kepada diri saya sendiri "Apa artinya semua ini, bagi orang Indonesia?".
Bahkan sebagai seorang atlet, saya tidak akan mempertaruhkan nyawa hanya sekedar untuk sampai ke puncak.
Tapi serdadu ini punya prinsip luar biasa.
Baca: 747 Personel Polda Jambi Naik Pangkat, Ini Pesan Kapolda Jambi Irjen Pol Muchlis AS
Mereka rela mempertaruhkan nyawa mereka untuk keberhasilan ekspedisi ini.
Setelah Iwan berjuang melalui punggungan gunung, dimana pada fase ini saya harus terus mengamati, kami mendaki terus perlahan dan saya sampai di kaki Hillary Step.
Saya sampai di ujung Hillary Step, selagi Iwan dan Asmujiono yang berjalan dibelakang saya melewati punggung gunung.
Disitu saya berdiskusi dengan Bashkirov, dimana kami harus memutuskan apakah hanya Misirin sendiri yang terus mendaki sampai di puncak, dan yang lainnya turun.
Baca: Inilah 7 Artis Tanah Air yang Lolos dari Maut, Mulai dari Rachel Amanda Hingga Ifan Seventeen
Asmujiono sedang berusaha melewati Hillary Step, Vinogradski nampak di belakang.
Dia berusaha meyakinkan Iwan untuk turun, tapi dia tidak mau.
Bisa dilihat bagaimana Iwan berjuang pantang mundur, terus mendaki keatas melalui Hillary Step.
Tidak satupun dari orang Indonesia ini bersedia untuk menyerah."
Hingga akhirnya, tiga prajurit Kopassus itu berhasil menaklukkan puncak tertinggi dunia, Gunung Everest.(*)