Lebih Kejam dari Sang Anak, Kelakuan Ayah Egianus Kogeya Pernah Bikin Berang Prabowo Gemparkan Dunia
Rekam jejak dari Panglima Kodap Kelompok Kriminal Bersenajata (KKB) di Papua, Egianus Kogeya ternyata sudah menuruh dari sang ayah.
Lebih Kejam dari Sang Anak, Kelakuan Ayah Egianus Kogeya Pernah Bikin Berang Prabowo Gemparkan Dunia
TRIBUNJAMBI.COM - Rekam jejak dari Panglima Kodap Kelompok Kriminal Bersenajata (KKB) di Papua, Egianus Kogeya ternyata sudah menuruh dari sang ayah.
Pembantaian belasan pekerja Trans Papua di Kabupaten Nduga, Papua, pada 2 Desember 2018 lalu telah melambungkan nama Egianus Kogeya.
Jika tidak percaya, klik nama itu di mesin pencari Google dan Anda akan menemukan sekitar 1.330.000 link yang berkaitan dengannya.
Sebagian besar link itu berkaitan dengan keterlibatan Kogeya dalam pembantaian para pekerja PT Istaka Karya yang dipicu oleh pengambilan foto itu.
Pembantaian tersebut diduga dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang ada di bawah komando Egianus Kogeya.
Baca: Pernikahan Dini Anak Usia 9 dan 14 Tahun, Ternyata Miliki Dampak Negatif Terhadap Psikologi Berat
Baca: Update Terbaru Libur Natal dan Tahun Baru 2018, Ini Daftar 5 Jalan Tol Gratis di Jawa
Baca: Tahun Anjing Tanah, Cek Peruntungan Shio Hari Ini 19 Desember 2018 Imlek 2659
Mungkin tak banya yang tahu bahwa Egianus Kogoya adalah putra Daniel Yudas Kogoya, tokoh pro-kemerdekaan Papua.

Sekitar dua tahun yang tahu Daniel Yudas meninggal dua dan tongkat komando berpindah ke tangan Egianus, anaknya.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian, seperti dilaporkan Majalah TEMPO edisi 10-16 Desember 2018, mengatakan, Daniel Yudas ikut menculik 26 peneliti Tim Eskpedisi Lorentz pada 1996 lalu.
Penculikan itu sendiri dipimpin oleh tokoh Organisasi Papua Merdeka (OPM), Kelly Kawlik, yang tewas pada 2009 lalu.
Meski berpangkat Brigjend, Egianus Kogeya berbicara secara terbata-bata Facebook TPNPB
Terkait penyanderaan Tim Lorentz ’96 dan bagaimana mereka diselamatkan, Intisari pernah mengulasnya secara khusus.
Tim Lorentz ’95 dibentuk di Jakarta berdasarkan kerjasama antara Biological Science Club (BSsC) dari Indonesia dan Emmanuel College, Cambridge University.
Lembaga BSsC merupakan organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) independen yang didirikan pada 7 September 1969 oleh sekelompok mahasiswa ilmu Biologi Universitas Nasional (UNAS), Jakarta.
Baca: Mendekam di Sel Tahanan, 5 Fakta di Balik Kasus Bahar bin Smith
Baca: Prof Aulia Tasman Dilarikan dari Lapas, Hilang Kesadaran Pukul 16.30 WIB lalu Meninggal
Baca: Wiranto Tantang Prabowo Pertaruhkan Rumah, Pernyataan Indonesia akan Punah Jika Kalah Pemilu
Tujuan ekspedisi ini adalah untuk melakukan penelitian terhadap beragam flora dan fauna di Desa Mapenduma, Kecamatan Tiom, Kabupaten Jawawijaya, Irian Jaya—sebelumnya bernama Irian Barat dan sekarang jadi Papua.
Tim ini terdiri atas 11 peneliti. Selain meneliti flora-fauna, mereka juga akan mengaji keterkaitan objek penelitian dengan kehidupan dan pola pikir tradisional suku Nudga di sana.
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan bisa menjadi masukan bagi usaha-usaha pelestarian dan pengembangan Taman Nasional Lorentz.

Selain itu, penelitian ini diharapkan menjadi langkah awal bagi peran serta masyarakat yang terletak di bagian timur laut taman nasional yang pada 1999 ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO itu.
Penelitian dilakukan antara bulan November 1995 dan Januari 1996.
Anggota tim dari Indonesia terdiri dari Navy Panekanan (28), Matheis Y.Lasamalu (30), Jualita Tanasale (30), Adinda Arimbis Saraswati (25).
Mereka juga dibantu oleh antropolog Markus Warip (36) dari Universitas Cendrawasih dan Abraham Wanggai (36) dari Balai Konservasi Sumber Daya ALam (BKSDA) Kantor Wilayah Kehutanan Irian Jaya.
Baca: Kejadian Tak Terduga di Pernikahan Opick, Make Up Bebi Silvana Curi Perhatian
Baca: Hasil Pertandingan Leicester Vs Manchester City, Tiket Semifinal Piala Liga setelah Adu Penalti
Bersama mereka ada juga Jacobus Wandika, putra daerah suku Nduga, yang merupakan antroplog lulusan Universitas Cendrawasih dan murid Markus Warip.
Tidak ada gangguan berarti yang dialami tim selama menjalankan misinya.
Meski begitu, sebelum keberangkatan, tim tahu jika di sana terdapat kelompok Gerakan Pengacau Keamanan – Organisasi Papua Merdeka (GPK – OPM) yang mengaku kecewaa dengan Pemerintah Pusat Republik Indonesia.
Tanggal 8 Januari menjelang hari-hari kepulangan ke Jakarta, mereka berkumpul di rumah kayu milik Pendeta Adriaan van der Bijl asal Belanda yang sudah menetap di sana sejak tahun 1963.
Hari itu sang pemilik rumah sedang pergi, berkeliling ke daerah Mbua dan ALama untuk menyusun kegiatan misionaris bersama istrinya.
Tiba-tiba, datanglah sekelompok suku setempat berjumlah puluhan porang berpakaian perang, lengkap dengan tombak.
Tak hanya itu, salah satu dari mereka, diduga sebagai komandan, membawa senapan laras panjang M-16 yang diacung-acungkan dan sesekali ditembakkan ke udara.
Mereka lalu mendobrak mendobrak pintu yang dikunci Tim Lorentz, memaksa masuk, menyerang, menyandera tim, dan akhirnya membawa seluruh tim peneliti ke hutan pedalaman.
Sejak itu, Tim Lorentz hilang jejaknya.
Berita penyanderaan Tim Lorentz mulai menghiasi media massa dan menjadi berita besar hingga ke Jakarta bahkan dunia.
Di Jakarta Pemerintah segera meminta ABRI (TNI) melakukan penyelamatan. Komandan Jenderal Kopassus saat itu (Mayjen TNI Prabowo Subianto) diputuskan memimpin misi penyelamatan.
Beberapa satuan TNI lainnya juga dilibatkan dalam misi penyelamatan ini.
Baca: Wiranto Tantang Prabowo Pertaruhkan Rumah, Pernyataan Indonesia akan Punah Jika Kalah Pemilu
Baca: Tahun Anjing Tanah, Cek Peruntungan Shio Hari Ini 19 Desember 2018 Imlek 2659
Sekitar lima bulan berlalu, penyanderaan Tim Lorentz oleh GPK-OPM yang akhirnya diketahui dipimpin oleh panglima bernama Kelly Kwalik, belum juga membuahkan hasil.
Penyandera terus bersembunyi dan berpindah-pindah tempat sambil mengirimkan beberapa pesan tuntutan mereka kepada Pemerintah RI.
Dalam buku Sandera, 130 Hari Terperangkap di Mapnduma (1997) disebutkan, pasukan yang dibawa Kelly Kwalik mula-mula berjumlah 50 orang.
Namun kemudian ditambah lagi hingga menjadi 100 orang.
Tanggal 7 Mei 1996, satu kompi pasukan batalyon Linud 330/Kostrad di bawah pimpinan Kapten Inf Agus Rochim ikut dikirim ke Timika untuk menambah kekuatan.
Mereka persiapan dan koordinasi sebelum akhirnya mulai bergerak ke Daerah Persiapan (DP) di Kenyam.
Kompi dibagi dalam beberapa tim. Secara berangsur masing-masing tim dikirim ke daerah operasi.
Tim Pendawa I beranggotakan 25 orang mendapat giliran masuk tanggal 13 Mei 1996.
Tim ini juga dipimpin oleh Kapten Agus Rochim. Mereka berjalan menyusuri sungai Kilmik.
Namun akibat medan yang tidak tidak bisa lagi ditembus, akhirnya tim bermalam dan membuat bivak di pinggir sungai.
Keesokan harinya tim bergerak kembali ke posisi awal lalu berbelok ke arah kanan di cabang sungai Kilmik dengan harapan menemukan jejak para sandera di tempat baru.
Tim Pendawa bersenjata standar senapan serbu FNC, Steyr, Minimi tiga unit (tiap satu regu), serta GLM. Persenjataan yang sebenarnya lebih dari cukup untuk melawan GPK-OPM.
Baca: Mengenal Kopassusgab, Gabungan Pasukan Elite TNI Darat, Laut dan Udara, Bagaimana Kemampuan Mereka?
Tanggal 14 mereka bermalam lagi dan membiat bivak baru. Malamnya briefing dilakukan oleh Komandan Kompi.
Diputuskan mulai tanggal 15 tim dibagi dua. Separuh di bawah pimpinan Agus Rochim, separuh lagi dibawah pimpinan Sertu Pariki tinggal di Basis Operasi Depan (BOD).
Pukul 13.00 siang tim mendapat informasi dari jajaran Kopassus bahwa di situ terdapat banyak jejak.
Kompi Yonif Linud 330 Kostrad sebenarnya melakukan penyusuran di ring terluar, termasuk yang dilakukan oleh Tim Pendawa I.
Mereka menyusuri sungai mengingat lebatnya hutan yang masih perawan teramat sulit untuk ditembus.
Pukul 14.00 tim bergerak kembali ke pos di BOD. Pada saat itulah, mulai terdengar samar-samar suara orang dalam jarak tidak terlalu jauh.
Tim Pendawa segera merespon dengan melakuan penyisiran di sekitar lokasi yang dicurigai. Satu setengah jam kemudian tepatnya pukul 15.30 ternyata ada seseorang berteriak, “Army!”
Rupanya, itulah teriakan Adinda Saraswati, salah satu anggota tim peneliti.
Sembilan orang peneliti turun dari tebing di pinggir sungai Kilmik.
Sersan Duha segera menyambut, dia orang pertama yang menyelamatkan Adinda, untuk kemudian diestafetkan ke prajurit lain untuk dievakuasi ke BOD.
Peristiwa itu terjadi tanggal 15 Mei 1996, tepat pukul 15.30 (atau 3.30 sore hari).
Sesuai tertulis dalam buku di atas, pada hari itu sekitar pukul 14.00 para sandera terus berjalan.
Setelah berjalan berputar-putar di antara kerapatan dan kelebatan pohon, tim peneliti mendapat perintah dari kelompok GPK-OPM untuk turun menuju sungai.
Namun tak berapa lama terdengar deru helikopter. Tim peneliti menduga ABRI sudah mulai mendekat.
Tapi bagi GPK-OPM, kehadiran ABRI yang mereka sebut Sanbo itu, membuat kepanikan dan tak jarang mereka menjadi beringas.
Baca: Latihan Bareng Militer TNI, Navy Seal Diajari Makanan Survival, Aksi Kopassusgab Lumpuhkan Teroris
Itu pula yang terjadi saat itu. Salah satu personel GPK-OPM bermata satu mendadak kalap dan mengayunkan kapak ke punggung Navy Panekanan.
Navy roboh diiringi teriakan histeris Adinda Saraswati. Para peneliti segera berlari menuruni lereng.
Tak lama setelah itu kelompok GPK-OPM yang lain dengan senjata kapak, parang, dan panah menyerang Matheis dengan senjata-senjata tajam itu.
Matheis hanya mampu berteriak, “toloong.. toloongg,”. Navy dan Matheis akhirnya gugur di tangan keganasan para GPK OPM. (Suar.grid.id/Moh. Habib Asyhad)