Koesno Wibowo dan Hariyono Naik ke Atap Hotel Yamato, Lalu Robek Bendera Belanda
Sebagian pemuda berebut naik ke atas Hotel Yamato untuk menurunkan bendera Belanda. Akhirnya bendera itu dirobek.
TRIBUNJAMBI.COM - Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, banyak terjadi pertempuran di wilayah Indonesia. Pertempuran di Surabaya ini merupakan satu di antara yang terbesar.
Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 merupakan peristiwa sejarah yang besar.
Itu merupakan pertempuran antara rakyat dan tentara Indonesia melawan tentara Britania Raya atau Inggris.
Beberapa sumber menyebutkan sekira 16.000 orang dari pihak Indonesia gugur.
Ada beberapa tokoh berpengaruh dalam pertempuran itu. Selain Bung Tomo, ada KH Hasyim Asy'ari, KH Wahab Hasbullah dan kyai-kyai pesantren lain yang mengerahkan santri-santri.
Saat ini, 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa. Kemudian pada 8 Maret 1942, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan Perjanjian Kalijati. Pulau Jawa secara resmi diduduki Jepang.
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada Agustus 1945.
Baca: Bertemu Sugar Daddy 70 Tahun Lewat Doa dan Meditasi, Kisah Nong Nat Eks Bintang Film Dewasa
Baca: Jumpa Arsenal, Juergen Klopp Beraharap Mohamed Salah Bisa Diturunkan
Baca: Kutukan di Bulan November, Mampukah Arsenal Bertahan di Tren Positif
Saat kekosongan kekuasaan asing, Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945
Setelah kekalahan Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata tentara Jepang. Timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, pada 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945.
Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun, selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda.

NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.
Insiden Hotel Yamato
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya.
Puncak gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan Nomor 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan WVCh Ploegman, pada malam hari, 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya. Pengibaran itu di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara.
Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Perkelahian dalam ruangan
Massa berkumpul di Hotel Yamato. Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke Hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI, dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato.

Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda.
Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan.
Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman. Sementara itu, Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato.
Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda.
Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris .
Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal DC Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.
Brigadir Jenderal Mallaby tewas
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani, pada 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya.
Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah.

Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali.
Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia.
Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi.
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah pukul 06.00 pagi 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan. Pasukan sekutu mendapatkan perlawanan dari pasukan dan milisi Indonesia.
Selain Bung Tomo terdapat pula tokoh-tokoh berpengaruh lain dalam menggerakkan rakyat Surabaya pada masa itu, beberapa datang dari latar belakang agama seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai/ulama) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung alot, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran ini mencapai waktu sekitar tiga minggu.

Sekira 6.000-16.000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600-2000 tentara.
Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk melakukan perlawanan.
Kemudian, 10 November dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia. (dikompilasi dari wikipedia dan beberapa sumber)
Baca: Ramalan Zodiak 3 November 2018, Pisces Berjuang Keras, Capricorn Merugi, Cek Bintang Lainnya Disini
Baca: Jumpa Arsenal, Juergen Klopp Beraharap Mohamed Salah Bisa Diturunkan
Baca: Minggu ini! Jadwal Siaran Langsung RCTI, Arsenal vs Liverpool di Liga Inggris Pekan ke-11