Kisah Mualaf Belanda yang Jadi Komandan Kopassus, Veteran Perang Dunia yang Nikahi Wanita Sunda
Dia lah yang pertama kali mengasah mental dan fisik anggota TNI AD terpilih untuk dilatih jadi prajurit tangguh kualifikasi komando
Setelah menjalani latihan khusus yang keras dan berat, ia berhak menyandang brevet Glider (baret hijau).
Pelatihan dan pelajaran yang diperoleh antara lain berkelahi dan membunuh tanpa senjata, membunuh pengawal, penembakan tersembunyi, perkelahian tangan kosong, berkelahi dan membunuh tanpa senjata api.
Sedangkan baret merah diperoleh melalui pendidikan komando di Special Air Service (SAS), pasukan komando Kerajaan Inggris yang sangat legendaris.
Baca: Hasil MotoGP Jepang 2018 Marc Marquez Kunci Gelar Dunia MotoGP 2018, Dovizioso Tersungkur di Lap 22
Selain itu, Visser juga mengantongi lisensi penerbang PPL-I dan PPL-II.
Plus juga menjalani pendidikan spesialisasi Bren, pertempuran hutan, dan belajar bahasa Jepang.
Visser kemudian mengikuti Sekolah Perwira karena dianggap berprestasi.
Lalu ia bergabung dengan Koninklij Leger untuk memukul Jepang di Indonesia, meski Jepang keburu mundur dari Indonesia sebelum pasukan Visser sempat dikirim.
Hidup di Indonesia
Kekalahan militer membuat Jepang hengkang dari Indonesia. Hal ini membuka peluang Belanda kembali berambisi menguasai.
Sehingga mereka tidak mampu mengirimkan pasukan bantuan dari Eropa ke Indonesia.
Saat itu, Belanda pun melakukan persiapan besar-besaran di Australia dan Sri Lanka untuk kembali ke Indonesia.
Pimpinan militer Belanda melihat perlu membentuk pasukan khusus baik darat maupun udara, yang dapat dengan cepat menerobos garis pertahanan Indonesia.
Setelah diangkat mejadi Panglima Tertinggi Tentara Belanda, Letjen Simon Spoor sebagai komandan KNIL di Hindia Belanda mengemukakan rencananya membentuk pasukan infanteri berkualifikasi komando serta pasukan payung (parasutis) yang memperoleh pelatihan istimewa.
Pada 13 Maret 1946, Letnan de Koning dan Letnan van Beek dipanggil dari Sri Lanka untuk membuka School Opleiding Parachutisten (Sekolah Penerjun Payung) pada 15 Maret 1946.
Agar tidak tercium pihak Republik, kamp pelatihan ditempatkan di Papua Barat.
Bulan April, lokasi pelatihan dipindah ke Hollandia (Jayapura) dari Biak.
Sekolah parasutis menempati sebuah bangunan rumah sakit milik Amerika yang telah ditinggalkan pasukan Jenderal Douglas MacArthur.