Rachmawati Ungkap yang Terjadi saat Ratna Sari Dewi Cium Aroma Soekarno

Satu di antara cara yang dilakukan untuk mengenang Soekarno adalah mengadakan haul Bung Karno.

Editor: Suci Rahayu PK
kolase/ist
Ratna Sari Dewi Soekarno (78) alias Naoko Nemoto, saat difoto berusia 19 tahun (kanan) | Saat disunting Ir Soekarno 

TRIBUNJAMBI.COM - Bagi masyarakat Indonesia, Soekarno atau Bung Karno, tak hanya sebagai seorang presiden.

Sebab, Soekarno juga merupakan seorang proklamator.

Baca: Korban Bencana Kebakaran dan Lanjut Usia Terima Bantuan Melalui Program Family Support

Sehingga, tak heran saat meninggal dunia pada 21 Juni 1970 lalu, Soekarno meninggalkan luka yang dalam bagi bangsa Indonesia.

Tidak mengherankan masyarakat pun berusaha mengenang Soekarno melalui berbagai kegiatan.

Tujuannya, untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa Soekarno.

Satu di antara cara yang dilakukan untuk mengenang Soekarno adalah mengadakan haul Bung Karno.

Itu seperti yang terjadi pada tahun 2001 lalu.

Saat itu, haul Bung Karno diadakan di Blitar yang diadakan oleh Yayasan Pendidikan Soekarno.

Yayasan tersebut dipimpin oleh Rachmawati Soekarnoputri.

Dalam buku "Sisi Lain Istana, Dari Zaman Bung Karno sampai SBY", karangan J Osdar, selain Rachmawati, haul tersebut juga dihadiri sejumlah tokoh.

Presiden Soekarno
Presiden Soekarno ()

Di antaranya Presiden RI saat itu, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, serta Ratna Sari Dewi yang merupakan mantan istri Soekarno.

Siang harinya, sebelum acara dimulai, Rachmawati dan Ratna Sari Dewi berada di sebuah penginapan bersama beberapa orang lainnya.

Namun, Ratna yang saat itu sudah berusia 61 tahun, rupanya masih berjalan lincah kian kemari.

Ratna kala itu mengendus-endus hidungnya, dan berusaha menghirup udara.

Dia kemudian mengaku menciup aroma Soekarno.

"Saya mencium aroma Bapak," tulis Osdar menirukan ucapan Ratna saat itu, dan menganggap aroma yang dicium oleh Ratna adalah aroma Soekarno.

Rachmawati kemudian menanggapinya, dan mengatakan sesuatu.

"Mungkin Bu Dewi mencium aroma parfum Shalimar yang sering dipakai Bung Karno tatkala masih hidup," jawab Rachmawati.

Ratna Sari Dewi saat masih muda
Ratna Sari Dewi saat masih muda (Dok Pribadi)

Beni Sumarno yang merupakan suami Rachmawati kemudian mengatakan sesuatu.

"Saya pakai sedikit tadi pagi, dan sekarang aromanya sudah hilang," kata Beni.

Selanjutnya, seorang wartawan yang juga ikut dalam pertemuan itu mengajak Beni ke kamar hotelnya.

Di kamar itu, sang wartawan menyemprotkan parfum Shalimar ke sekujur tubuhnya.

Sang wartawan kemudian mendekati Ratna yang sedang asyik ngobrol dengan Rachmawati.

Namun, saat itu Dewi tidak bereaksi ketika sang wartawan mendekat lebih rapat lagi.

"Apakah Ibu Dewi tidak merasakan aroma parfum saya?" tanya wartawan tersebut.

Mendapatkan pertanyaan itu, Dewi pun menjawabnya.

Baca: Seperti Kakak Adik, Begini Kekompakan Kajol dengan Putrinya, Sama-sama Cantik Ya!

Baca: Legitnya Yoda Kote, Kue Hidung Khas Sarolangun

"Oh, tidak, tidak, saya tidak bau apa-apa," jawab Dewi.

Sosok Istri yang Temani Seokarno di Akhir Hayat

Di akhir hayatnya, Soekarno hanya ditemani oleh satu orang istrinya.

Seperti yang diketahui, Seokarno memiliki banyak istri semasa hidupnya.

Beberapa deretan nama perempuan tercatat dalam sejarah sebagai istri Bung Karno.

Mulai dari Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Haryati, Kartini Manoppo, Ratna Sari Dewi, Yurike Sanger dan Heldy Djafar.

Namun, hanya ada satu orang yang setia menemani Soekarno di akhir hayatnya.

Ia adalah Hartini.

Soekarno dan Hartini menikah di Istana Cipanas pada 7 Juli 1953.

Beberapa tahun setelah menikah, tepatnya pada 1964 Hartini pindah ke salah satu paviliun di Istana Bogor.

Dikutip dari Grid.id, Hartini Soekarno kemudian dikenal sebagai salah satu wanita setia yang sempat mengisi hidup Soekarno.

Ia juga tetap mempertahankan status pernikahannya sampai ajal menjemput Soekarno.

Dan ternyata, di pangkuan Hartinilah Bung Karno menghembuskan napas terakhirnya di RS Gatot Subroto pada 21 Juni 1970.

Heldy, cinta terakhir Soekarno

Suatu pagi yang panas di tahun 1957, di sebuah rumah besar di Jalan Mangkurawang 9, Tenggarong, Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, Heldy, gadis kecil berusia 10 tahun, menangis meraung-raung gara-gara tak diajak kakak-kakak nya ke Samarinda.

Hari itu, Presiden Soekarno berpidato di alun-alun Samarinda.

Sang kakak tak mengizinkan Heldy pergi karena selain perjalanan ke Samarinda hanya bisa dengan kapal menyusuri Sungai Mahakam selama dua jam, suasana akan sangat ramai setiap kali Presiden Soekarno berpidato.

Maka Heldy hanya bisa mendengarkan pidato Bung Karno di radio.

Bagi Heldy, yang penting bukanlah isi pidato, melainkan kebesaran dan ketokohan sosok yang fotonya banyak terpasang di dinding rumah orang tuanya itu. (Tribun Jatim)

Sumber: Tribun Jatim
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved