Presiden Serahkan SK Hutan Adat Sarolangun
Para pengelola ini akan bergabung dengan pengelola hutan adat lainnya dari Kerinci, Bungo dan Kalimantan Barat, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan
Penulis: Suang Sitanggang | Editor: Suang Sitanggang
“Ada alat berat yang mencoba masuk ke dalam kawasan dan menambang emas dalam kawasan hutan desa yang letaknya bersebelahan dengan hutan adat kami yang dapat SK dari Mentri ini,”kata Zawawi.
Zawawi menjelaskan bahwa masyarakat mempunyai aturan yang sangat tegas untuk mengelola hutannya. Hutan desa hanya dimanfaatkan hasil hutan berupa bambu, rotan mau dan hasil hutan bukan kayu lainnya yang memang banyak di hutan desa.
Sedangkan di hutan adat boleh dimanfaatkan untuk pengambil kayu jika diperlukan untuk membangun rumah warga masyarakat, itupun setelah ada keputusan adat yang diambil secara bersama-sama.
Sementara itu Kodri Ketua Pengelola Sumber Daya Hutan Napal Melintang menyebutkan hutan adat dan hutan desa yang dikelola masyarakat desa ini, memang sejak dulunya dimanfaatkan airnya untuk irigasi dan juga untuk pembangkit listrik tenaga mikro hidro.
Desa paling ujung di Kabupaten Sarolangun yang berbatasan dengan Sumatera Selatan itu, hingga kini memang masih belum mendapat aliran listrik negara. “Kami memanfaatkan sumber daya yang ada untuk penerangan,” kata Kodri.
Dari PLTMH yang dibangun sejak 2007 itu, airnya bersumber dari hutan desa dan hutan adat mampu menerangi 187 rumah tangga di desa ini.
“Karena kami manfaatnya sangat besar ya kami jaga dengan baik. Pernah ada dari Provinsi tetangga yang kedapatan membuka ladang ke dalam kawasan hutan adat kami, bersama kepala desa saya cari orangnya, kami jelaskan tentang hutan adat dan aturan pengelolaannya, mereka memahaminya dan kemudian dikenakan denda adat berupa kambing satu ekor selemas semanis, beras 100 gantang dan uang Rp 2 juta, waktu pembayarannya diuangkan semua menjadi Rp 5 juta. Mereka bayar dan uangnya dimasukkan ke dalam kas pengelola hutan,”kata Kodri.
Masing-masing kelompok pengelola hutan adat memang sudah bersepakat untuk mengelola kawasan dengan aturan adat yang disepakati oleh semua warga dan juga akan ada denda yang dikenakan bila ada pelanggaran terhadap ketentuan adat.
“Boleh mengambil kayu hanya maksimal 5 kubik dalam setahun dan itupun hanya untuk pembangunan rumah warga dan fasilitas desa, tidak untuk diperjual belikan. Begitu kami mengatur hutan adat kami. Kami bersyukur dengan dikukuhkan oleh Mentri dengan SK yang diserahkan Presiden, maka semangat kami untuk menjaga hutan adat kami bertambah,” kata Kodri. (*)