Hari Kesaktian Pancasila

Saat Para Jenderal Diculik dan G30S PKI Terjadi, Di Tempat Inilah Soeharto dan Bu Tien Berada

Meletusnya peristiwa Gerakan 30 September G30S PKI dan lahirnya Supersemar menjadi momentum naiknya Soeharto

Editor: bandot
Jenderal Abdul Haris Nasution dan Mayor Jenderal Soeharto berdoa di depan peti jenazah almarhum Jenderal Sutojo (kompas) 

TRIBUNJAMBI.COM - Meletusnya peristiwa Gerakan 30 September G30S PKI dan lahirnya Supersemar menjadi momentum naiknya Soeharto ke tampuk pimpinan Republik Indonesia.

G30S PKI meletus pada Kamis malam dan jumat dinihari tanggal 30 September 1965.

Para Jenderal angkatan darat diculik dan dibunuh di Lubang Buaya.

Para Jenderal ini dituding merupakan anggota Dewan Jenderal yang dituduh bakal melakukan kudeta.

Yang kemudian menjadi pertanyaan, di mana posisi Soeharto ketika terjadi aksi penculikan besar-besaran terhadap para jenderal TNI AD?

Benarkah Soeharto akan diracun seorang wanita yang mengaku sebagai anak Soeharto?

Postur tubuhnya tak terlalu tinggi.

Umurnya, kira-kira lebih dari 50 tahun. Ketika berbicara, laki-laki tak dikenal itu selalu menggunakan bahasa Inggris dan Indonesia.

Mbak Tutut saat masih usia satu tahun digendong Buk Tien
Mbak Tutut saat masih usia satu tahun digendong Buk Tien (twitter)

Pria keturunan India itu, suatu hari mampir ke rumah Soeharto di Jl Agus Salim, Jakarta.

Ketika itu Soeharto berpangkat mayor jenderal dan menduduki posisi cukup penting--Pangkostrad.

Entah siapa yang mengajak pria itu mampir ke rumah Pangkostrad.

Yang jelas, pria itu diterima Ibu Tien Soeharto, sang pemilik rumah.

Baca: Ungkap Sebab Jatuhnya Ahok, Sujiwo Tejo Juga Sindir Gampangnya Teriakkan Takbir Jelang Pilpres 2019

Setelah dipersilakan duduk, pria itu menawarkan barang dagangannya, berupa batu-batu permata yang berwarna-warni.

Sayangnya ketika berbagai jenis permata itu ditunjukkan, Ibu Tien tidak begitu tertarik.

Pria itu lalu mengeluarkan ‘jurus’ baru, mengaku bisa meramal nasib seseorang.

Sontak Ibu Tien menjadi tertarik dan ingin mendengarkan ceritanya.

"Sekedar mengisi keisengan saya setuju saja. Setelah orang itu melakukan cara-cara sesuai 'ilmunya', ia lalu menceritakan keadaan masa lalu saya. Banyak yang cocok. Saya jadi penasaran sehingga ingin tahu lebih lanjut apa yang akan terjadi di waktu yang akan datang," kenang Ibu Tien seperti yang terungkap dalam buku otobiografinya berjudul Siti Hartinah Soeharto Ibu Utama Indonesia.

Dialog pun berlanjut, hingga akhirnya mengarah kepada nasib Soeharto. Lagi-lagi sang penjual akik mempertontokan 'jurus’-nya.

Ibu Tien terpana. "Madam.. Suami Madam akan berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dengan presiden yang sekarang --Soekarno," kata pria itu.

Mendengar penjelasan itu, Bu Tien hanya tersenyum dan mengaku tidak percaya dengan sang peramal.

"Ah, tak mungkin…. Suami saya hanya seorang perwira tinggi TNI AD. Sebagai Panglima Kostrad. Sesekali hanya mewakili Menteri/Panglima AD. Itupun sudah berat sekali. Saya tidak percaya," katanya.

Baca: Soeharto Mau Lewat Halim, Pesawat C-47 Disuruh Putar-putar sampai Habis Bahan Bakar hingga Jatuh

Sang peramal mengaku tak akan memaksakan Bu Tien untuk mempercayai ramalannya.

Justru yang ia perlukan adalah imbalan jasa ramalannya.

Ibu Tien kemudian bertanya, berapa bayarannya.

Sang pria itu menjawab, "Forty thousand (empat puluh ribu rupiah)." Akan tetapi Ibu Tien menangkapnya lain. Ia mengira sang peramal itu meminta imbalan forteen thousand (empat belas ribu).

Gara-gara itu, Bu Tien kembali masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil uang.

"Madam, not forteen but forty." Sebenarnya Ibu Tien sendiri merasa menyesal. Sebab, biaya atau ongkos meramalnya terlalu tinggi.

"Mengapa untuk hal begini saja, cuma sekedar iseng-iseng kok harus merogoh saku empat puluh ribu yang pada waktu itu tergolong jumlah yang banyak. Padahal gaji suami pas-pasan saja," kenang Ibu Tien.

Setelah uang diberikan, sang peramal itu lalu pergi.

Baca: Terungkap! Keberadaan Soeharto di Malam Kelam Penculikan 7 Jenderal Pada Tragedi G 30S PKI

Sejak itu Ibu Tien mengaku tak pernah lagi bertemu dengan sang peramal itu, meski Soeharto pada akhirnya menjadi seorang tokoh bangsa yang tampil pada 1 Oktober 1965, menghadapi kudeta PKI, lalu dipercaya menjadi presiden menggantikan Soekarno.

G30S PKI Meletus 

Soeharto terlihat risau.

Hatinya gundah gulana.

Sejumlah prajurit Kostrad tak henti-hentinya mendatangi Soeharto meminta pendapat.

Namun, Soeharto tetap diam.

"Saya sering risau karena didatangi anak buah yang meminta pendapat dan penilaian saya. Mereka menunjukkan tarikan muka seperti mendesak ingin mendapat keterangan mengapa saya diam. Saya jawab, bahwa saya tidak buta! Saya telah melapor kepada atasan tentang keadaan. Situasi memang serius, tetapi saya tidak mendapat reaksi apa-apa. Apalagi yang dapat saya lakukan lebih dari itu," kata Soeharto.

Soeharto saat Peristiwa G30S/PKI
Soeharto saat Peristiwa G30S/PKI (pijardaritimur)

Soeharto pada saat detik-detik menjelang meletusnya peristiwa berdarah, sedang menduduki posisi strategis sebagai Panglima Kostrad.

Pangkatnya Mayor Jenderal.

Ny Siti Hartinah Soeharto --istri Soeharto-- pada saat itu sedang berkumpul di kantor Persit bersama pimpinan dan pengurus Persit tingkat pusat dan tingkat Jakarta Raya.

Ibu Tien --panggilan akrabnya-- sengaja berkumpul di markas Persit untuk mendengarkan penjelasan dari Menteri/Panglima AD Achmad Yani.

"Pak Yani dalam pertemuan tersebut menjelaskan situasi politik pada waktu itu yang makin gawat. Selama saya menjadi istri prajurit, baru pertama kali itulah saya menerima uraian politik yang menyangkut nasib negara dan bangsa. Biasanya seorang istri prajurit itu tidak diberitahu hal-hal yang bersifat rahasia," kenangnya.

Seusai mengikuti acara itu, Ibu Tien pulang ke rumahnya di Jalan H Agus Salim.

Baca: Gatot Nurmantyo Tantang KSAD Perintahkan Tonton Film G 30S PKI, Kalau Takut, Pulang Kampung Saja,

Melihat ibunya pulang, anak-anaknya meminta dibuatkan sup kaldu tulang sapi.

Ibu Tien lalu membuatkannya.

Namun, ketika dirinya sedang membawa panci berisi sup panas yang hendak ditaruh di ruang makan, tiba-tiba Hutomo Mandala Putra --Tommy Soeharto saat itu berusia empat tahun-- menabrak tangan ibunya.
Akibatnya, sup itu tumpah dan mencelakai Tommy.

"Air sup tumpah dan mengguyur sekujur tubuhnya. Kulitnya terbakar dan melepuh-lepuh. Saya ingat pelajaran PPPK di Kostrad. Kalau luka bakar obatnya leverstraan salf. Kebetulan ada persedian di rumah. Maka obat itulah yang saya oleskan ke kulitnya. Setelah itu saya bawa Tommy ke RS Gatot Subroto untuk dirawat," tuturnya sambil menambahkan Soeharto sempat menjaga Tomy bersama dirinya.

Sekitar pukul 00.00 tengah malam, Ibu Tien meminta Soeharto agar segera pulang ke rumah karena pada waktu itu Mamiek, putri bungsu Soeharto sedang sendirian di rumah.

Apalagi ketika itu usia Mamiek baru satu tahun.

Pengakuan Ibu Tien itu diamini Soeharto.

Menurut Soeharto, tanggal 30 September 1965 kira-kira pukul 21.00 malam, ia bersama istrinya sedang berada di RS Gatot Subroto, menenggok Tomy yang masih berusia empat tahun.

"Kira-kira pukul 10 malam saya sempat menyaksikan Kol Latief berjalan di depan zal tempat Tomy dirawat. Kira-kira pukul 12 seperempat tengah malam saya disuruh oleh istri saya cepat pulang ke rumah di Jl H Agus Salim karena ingat Mamik, anak perempuan kami yang bungsu yang baru setahun umurnya. Saya pun meninggalkan Tomy dan ibunya tetap menungguinya di RS," kenang Soeharto.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved