Benarkah Soeharto Akan Diracun Seorang Wanita yang Mengaku Anaknya? Ramalan yang Jadi Kenyataan

Sepertinya kisah Soeharto tidak ada habis-habisnya untuk dibahas. Ada 2 kisah Soeharto yang wajib diperbincangkan.

Editor: Leonardus Yoga Wijanarko
Soeharto dan Ibu Tien 

Pengakuan Ibu Tien itu diamini Soeharto. Menurut Soeharto, tanggal 30 September 1965 kira-kira pukul 21.00 malam, ia bersama istrinya sedang berada di RS Gatot Subroto, menenggok Tomy yang masih berusia empat tahun.

"Kira-kira pukul 10 malam saya sempat menyaksikan Kol Latief berjalan di depan zal tempat Tomy dirawat. Kira-kira pukul 12 seperempat tengah malam saya disuruh oleh istri saya cepat pulang ke rumah di Jl H Agus Salim karena ingat Mamik, anak perempuan kami yang bungsu yang baru setahun umurnya. Saya pun meninggalkan Tomy dan ibunya tetap menungguinya di RS," kenang Soeharto.

SATU Oktober 1965. Suasana di Jl H Agus Salim, kediaman Soeharto masih terlihat sepi. Tiba-tiba seorang pria bernama Hamid mengetuk rumah Soeharto yang kebetulan menjadi Ketua RT.

Hamid adalah seorang juru kamera. Ia mengaku baru saja mengambil gambar tembak-tembakan yang terjadi di sejumlah tempat.

Tak lama kemudian datang Mashuri SH, tetangga Soeharto. Kepada Soeharto, Mashuri mengaku mendengar suara tembakan.

Soeharto pun mulai bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi. Di tengah tanda tanya itu, muncul Broto Kusmardjo. Lelaki itu mengabarkan bahwa telah terjadi penculikan terhadap sejumlah jenderal.

Sekitar pukul 06.00 pagi Letkol Soedjiman datang ke rumah Soeharto. Lelaki itu mengaku diutus Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, Panglima Kodam V Jaya.

Kepada Soeharto, Soedjiman memberitahukan bahwa ada konsentrasi pasukan di sekitar Monas.

Mendengar cerita itu, Soeharto bergegas mengenakan pakaian loreng lengkap, bersenjata pistol, pet dan sepatu.

Sebelum berangkat ke markasnya Soeharto berpesan kepada Soedjiman, "Segera kembali sajalah dan laporkan kepada Pak Umar saya akan cepat datang ke Kostrad dan untuk sementara mengambil pimpinan Komando Angkatan Darat."

Baca: Perjuangan Anak Rimba untuk Mendapatkan Pendidikan, Rela Berjalan 2 Jam Demi Sekolah

Tak lama kemudian Soeharto terlihat berjalan menuju Jeep Toyota, kendaraan dinasnya. Tanpa seorang pengawal, Soeharto tancap gas menuju markas Kostrad di Jl Merdeka Timur. Ketika itu Soeharto melihat suasana di ibu kota berjalan seperti biasa.

Sepertinya tak ada tanda-tanda telah terjadi sesuatu. Lalu lalang manusia dan arus kendaraan terlihat seperti biasanya. Begitu juga becak-becak yang biasa mangkal di ujung kampung. Radio Republik Indonesia (RRI) juga terlambat menyiarkan tragedi pekat nan menyayat hati seluruh rakyat Indonesia.

Padahal, biasanya RRI sudah mengudara pukul 07.00 pagi. Herannya, hingga pukul 07.00 pagi RRI tak juga bercuap-cuap. Aneh...!

Begitu juga ketika Soeharto memasuki markasnya, tak ada tanda-tanda bahwa telah terjadi aksi penculikan dan pembunuhan secara keji.

Justru, Soeharto hanya mendapatkan laporan dari petugas piket yang mengatakan bahwa orang terpenting Bung Karno tidak jadi ke Istana, tetapi langsung ke Halim. Di Istana Presiden juga terlihat melompong.

Soekarno ketika itu sedang tidak ada di tempat. Padahal, Jumat 30 September Bung Karno sempat tampil di depan peserta Munas Tehnik di Istora Senayan. Setelah itu Bung Karno tak kembali ke Istana, melainkan memilih tinggal di Wisma Yaso.

Halaman
1234
Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved