Kisah Cincin 'Bertuah' Benny Moerdani yang Jadi Pelindung di Medan Perang Pemberian Lettu Fadhillah
Bermula saat menjelang tengah malam, Benny mengajak pasukannya meninggalkan dusun dan mengambil posisi stelling di pinggiran Sungai Kampar.
Penulis: Andreas Eko Prasetyo | Editor: Andreas Eko Prasetyo
TRIBUNJAMBI.COM - Bagi pecinta cerita militer Indonesia sejak zaman penjajahan hingga orde baru, pastinya kenal dengan sosok Benny Moerdani.
Benny Moerdani merupakan perwira yang naik namanya setelah ikut terjun langsung di operasi militer penanganan pembajakan pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 206 di Bandara Don Mueang, Bangkok, Kerajaan Thai pada tanggal 28 Maret 1981.
Peristiwa itu yang kemudian dicatat sebagai peristiwa pembajakan pesawat pertama dalam sejarah maskapai penerbangan Republik Indonesia dan terorisme bermotif jihad pertama di Indonesia.
Nah, kisah akan heroiknya Benny Moerdani yang juga sebagai satu diantara pencetus pasukan khusus mengerikan di Indonesia ini sudah banyak diceritakan dalam sebuah buku.
Satu diantaranya kisah dirinya berjuang dengan kerabat dekatnya dalam misi memburu DI/TII pada tahun 1950-an.
Bermula saat menjelang tengah malam, Benny mengajak pasukannya meninggalkan dusun dan mengambil posisi stelling di pinggiran Sungai Kampar.
Baca: Memburu Para Kribo Hutan Kisah Pertempuran Kopassus Menyamar Bercelana Jeans dan Kaos Oblong
Baca: Saat Kapolri Pertama Indonesia Terdiam di Pemakaman Soekarno, Hoegeng: There goes a very great man!
Pengalaman sewaktu memburu DI/TII pada awal 1950-an di pedalaman Jawa Barat dulu menyatakan bahwa musuh sering kali melakukan serangan pada malam hari.
Tepat seperti perhitungan Benny, menjelang dinihari, posisi pasukan Benny sebelumnya di Danaubingkuang dihujani dengan mortir 60mm dari seberang sungai.
Untung saja mereka sudah bergeser ke posisi lain.
Namun sejauh itu, pemberontak hanya menghujani mereka dengan tembakan mortir, para pemberontak sama sekali tidak berani menyeberangi sungai.
Selain bunyi siutan peluru mortir, tembakan flare ke udara dan ledakan keras, tidak ada gangguan lain terhadap pasukan Benny hingga keesokan harinya.

Kompi A RPKAD kemudian ditarik kembali ke pangkalan di Tanjung Pinang, setelah menyerahkan penjagaan kota Pekanbaru kepada pasukan Diponegoro dan Brawijaya.
Sebagai satuan pemukul, RPKAD memang jauh berbeda dengan infanteri biasa, mereka sama sekali tidak diserahi tugas teritorial.
Begitu sasaran sudah direbut, mereka ditarik untuk kembali diterjunkan ke palagan lain yang lebih kritis.
Hanya sempat beristirahat sebentar di Tanjung Pinang, Kompi Benny kembali diperintahkan menyiapkan diri untuk bergabung dengan Operasi Sapta Marga, operasi militer yang disusun secara terburu-buru untuk menyerbu Medan.
Sebagai prajurit komando, situasi buruk dan mendesak merupakan santapan sehari-hari, sehingga walaupun dalam batin mengelak, mereka harus melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
Baca: Detik-detik Menjelang Kematian Soekarno, Bahasa Belanda ini Jadi Kata Terakhir ke Bung Hatta
Baca: Cuma Rp 20 Ribu untuk Menyantap Menu Lengkap di Buzz Cafe
Pagi hari tanggal 1 April 1958, Kompi Benny, yang kali ini hanya disertai 1 Kompi PGT diterbangkan menuju Medan.
Ketika mesin Dakota sudah bersiap untuk heading menuju landasan pacu, Lettu Fadhillah, Komandan Kompi B/RPKAD dan juga sahabat Benny nampak berlari menghampirinya.
"Ben, Benny! Tunggu!" Benny menoleh, tidak paham apa yang dikehendaki oleh sahabat sekaligus seniornya di Baret Merah itu.
"Sek yo, iki ambi. Pakai cincin saya biar kamu selamat!" Kata Fadhillah sambil mengacungkan sebentuk cincin ditangannya.
Sayup-sayup Benny mendengar penjelasan perwira komando asal Tegal itu bahwa cincin yang diberikannya merupakan hadiah dari seorang Kepala Suku Dayak di pedalaman Kalimantan, tempat ia pernah bertugas.
Dengan hati bimbang antara ya dan tidak, karena ia seorang penganut Katholik yang taat, Benny menerima pemberian seniornya itu.

Baca: Jelang Penutupan Asian Games, Jokowi Bertemu Jack Ma. Ini yang Dibahas
Baca: Peraih Medali Emas Ini Pun Ikutan Antre, Demi Mendapatkan Suvenir Asian Games 2018
Kini cincin "bertuah" itu melingkar dijari tangan kirinya. Diakhiri lambaian tangan, dua orang sahabat itupun berpisah.
Benny harus mengejar jadwal penerjunan agar serangan ke kota Medan tidak tertunda lagi, sedangkan Lettu Fadhillah memimpin pasukannya menyerbu Payakumbuh.
Ternyata pertemuan di Landasan Tanjung Pinang itu merupakan pertemuan terakhir mereka buat selamanya.
Tanggal 3 April 1958, dalam serangan komando untuk menduduki posisi pertahanan pasukan pemberontak di Desa Jegar, wilayah Lubuk Jambi, Riau Daratan, Lettu Fadhillah tertembak di tengah pertempuran, peluru 7.62 mengoyak perut perwira komando ini dan gugur seketika.
IKUTI KAMI DI INSTAGRAM: