Agar Tak Terkapar saat Rupiah Menggelepar, Pengusaha Bersiap Naikkan Harga (bagian-1)

Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika terus anjlok, sejumlah pengusaha mulai mempertimbangkan harga jual produk agar tak

Editor: Fifi Suryani
Tribun Jambi/Chairul Nisyah
Ibu-ibu berbelanja. 

Soal besaran kenaikan harga, lagi-lagi tergantung besar kecil usahanya. “Industri besar bisa menunda kenaikan harga karena punya stok bahan baku, tapi itu tentu tak lama,” kata Adhi.

Efek kenaikan harga makanan dan minuman tidak akan langsung dirasakan konsumen. Sebab, sebelum menaikkan harga jual, pelaku industri biasanya memberikan kesempatan bagi distributor atau agen membeli produk dengan harga lama. “Kenaikan harga baru akan terasa sampai ke pasar dua bulan setelah kenaikan,” ujarnya.

Kenaikan harga produk makanan dan minuman tak hanya karena kenaikan harga bahan baku impor, tapi juga karena kenaikan biaya produksi akibat naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi serta kenaikan harga kemasan.

Industri manufaktur lainnya, seperti industru tekstil juga berpotensi menaikkan harga jual. Sebab bahan bakunya, seperti fiber sintetis memakai patokan harga dalam dollar AS.

Ditambah lagi, pada saat bersamaan harga minyak bumi juga meningkat. Alhasil, seperti dikatakan Redma Gita Wirawasta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), fiber sintetis berasal dari minyak dunia.

Alhasil, harganya mengekor harga minyak bumi. “Saat harga bahan baku tekstil naik, maka biaya produksi juga ikutan naik,” terang Redma.

Dengan kenaikan biaya produksi, pilihan yang dilakukan industri tekstil adalah mengurangi produksi. Apalagi kondisi pasar saat ini masih sepi karena pasca Lebaran.

Kondisinya semakin rumit saat impor bahan baku tekstil melenggang masuk ke Indonesia dengan harga lebih murah. “Penjualan bahan baku tekstil kami bulan Juni sudah turun 10%,” ujar Redma.

Baca: Enam Ketua Umum Partai Usulkan Satu Nama Cawapres, Begini Respon Keterkejutan Jokowi

Baca: Tensi Hubungan dengan AS Makin Mendidih, China Luncurkan Paket Kebijakan Ekonomi Baru

Baca: PLN Siap Penuhi Listrik Industri dan Bisnis di Sulawesi, Teken Kontrak 2.029 MVA dengan 18 Investor

Revisi proyek pemerintah

Selain membuat susah pelaku industri manufaktur, terpuruknya kurs rupiah, juga membuat pusing pelaku bisnis jasa kontraktor dan perdagangan.

Betapa tidak, semula nilai proyek dipatok saat dollar AS bertengger Rp 13.300 per dollar AS. Kini nilai proyek itu membengkak karena rupiah melemah sampai Rp 14.400 per dollar AS.

“Yang paling pusing, kontraktor yang mengerjakan proyek besar dan menggunakan material yang riskan gejolak pelemahan rupiah,” ujar Errika Ferdinata, Wakil Sekretaris Jenderal II Gabungan Pelaksana Konstruksi Indonesia (Gapensi).

Ada banyak pengeluaran kontraktor yang terpengaruh nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Mulai dari pemakaian material konstruksi yang masih impor, seperti rangka baja, pipa baja, sampai dengan sewa alat berat yang dipatok dengan tarif dalam mata uang dollar AS.

Dengan kondisi pelemahan rupiah kini sudah mencapai 10%, Errika menilai wajar jika ada kontraktor yang mengajukan revisi kontrak proyeknya.

Meski demikian, Errika menyadari tak semua proyek bisa merevisi kontrak di belakang, apalagi kontrak-kontrak jangka pendek. “Untuk proyek-proyek skala besar dan panjang mungkin bisa direvisi nilai kontraknya, tapi itupun tergantung dari kontraknya,” jelas Errika.

Halaman
123
Sumber: Kontan
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved