Sidang Azhari Ketua SPI Merangin, Penasehat Hukum: Tak Ada Saksi yang Lihat Azhari Merambah
Penasihat Hukum terdakwa kasus dugaan perambahan hutan, Henry David Oliver mengatakan tidak ada saksi yang melihat kliennya melakukan perambahan.
Penulis: Mareza Sutan AJ | Editor: Teguh Suprayitno
Laporan wartawan Tribunjambi.com, Mareza Sutan A J
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Henry David Oliver, Penasihat Hukum (PH) Azhari, terdakwa kasus dugaan perambahan hutan, mengatakan tidak ada saksi yang melihat kliennya melakukan perambahan.
Hal tersebut disampaikannya usai persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jambi, Senin (16/7/18) sore.
"Ada enam orang saksi dari Desa Renah Alai, tidak seorang pun saksi yang melihat keempat terdakwa ini melakukan penebasan (perambahan, red)," katanya.
Dia membenarkan Azhari yang mengatakan akan bertanggung jawab jika terjadi masalah kemudian hari. Namun dia membantah Azhari bersedia bertanggung jawab dalam hal pidana.
"Maksud Azhari, dia ini bertanggung jawab, karena dia ini kan, ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) yang sudah biasa melakukan mediasi, penyelesaian-penyelesaian konflik agraria. Oleh karena itulah dia dipanggil, pada Jumat (26/1/18). Karena saksi mengatakan, pada tanggal itulah mereka pertama kali dan satu-satunya bertemu dengan Azhari," kata dia.
Padahal, kata dia, sebelumnya menurut saksi ada dua kali pertemuan, yaitu di rumah Awal pada Jumat (12/1/18) dan di rumah Deri pada Jumat (19/1/18). Saat itu, Azhari tidak ada di sana.
Dikatakannya, Azhari baru diundang pada Jumat (26/1/18) setelah terjadi konflik.
"Dari situ kan jelas, Azhari dipanggil karena dia itu ketua SPI, yang memiliki wewenang dan kapabilitas agar bisa menyelesaikan, memediasi konflik-konflik ini," katanya.
Ketika Azhari datang dalam pertemuan itu, dia menyarankan untuk tidak bermediasi dengan warga Renah Alai. Alasannya, mereka tidak akan menemukan titik temu. Untuk itu, Azhari menyarankan adanya pihak ketiga.
"Nah, kalau menurut keterangan saksi Kapolsek Jangkat, Ambarlianto minggu lalu, kalau perlu permasalahan ini dibawa ke Jakarta. Ke Jakarta itu, kalau menurut Azhari, kalau perlu diselesaikan oleh pihak ketiga yaitu Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Kehutanan, dan segala macam. Karena apa? Karena kalau mediasi ini tidak ada penengah yang bisa dihormati, warga Renah Alai dan pendatangnya sama-sama keras," jelas David.
Dia melanjutkan, saat itu Azhari mengatakan, jaga suasana kondusif, kalau perlu mendatangkan pihak ketiga. Namun, Azhari tidak pernah mengatakan bahwa pihak ketiga itu adalah dia.
Dalam keterangan para saksi disebutkan, yang merencanakan dan menginisiasi rapat adalah Awal dan Deri. Namun, pada Sabtu (27/1/18) Awal dan Deri tidak ada di lokasi.
"Ketika yang lain ditangkap, dia buron, melarikan diri. Berarti kan, semakin jelas aktor intelektualnya siapa," terangnya.
Dikatakannya, yang dirambah itu merupakan hutan adat Tanah Serampas. Dia pun mengaku heran ketika jaksa menyimpulkan wilayah yang dirambah adalah wilayah hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
"Abu Hasyim ini kan, warga hukum Adat Serampas. Kalau misalnya hutan adat itu, berarti bukan wilayah hutan TNKS, kan? Karena hutan adat itu kan, hutan hak. Hak perorangan. Hak pemula. Kalau hutan negara harus izin dulu," lanjutnya.
Dari sana, dia mengelaborasi, bahwa karena Abu Hasyim masyarakat adat Serampas, maka tanah itu kolektif kepunyaannya.
Dengan alasan itulah kemudian Abu Hasyim mengajak beberapa orang untuk membuka lahan di sana.
"Mengapa mereka percaya? Karena mereka tahu hutan Adat Serampas itu tanah adat. Hasyim adalah masyarakat adat, dan dijanjikan upah," sambung dia.
Untuk diketahui, kasus ini menjerat empat orang sebagai terdakwa. Di antaranya, Ahmad Azhari, Abu Hasyim, Maardi, dan Indra Jaya.
Mereka dituduh melakukan perambahan hutan di wilayah TNKS pada Januari 2018 lalu.