Pamerkan Uang Dua Koper, Pria Ini Janji Beri Rp 5 M Untuk Orang yang Bisa Menangkap Dalang Teror

Densus 88 menangkap puluhan orang yang diduga terlibat terorisme di berbagai penjuru daerah di Indonesia.

Editor: bandot
Bom Surabaya 

TRIBUNJAMBI.COM - Serangan teroris beberapa hari terkahir membuat guncang masyarakat Indonesia.

Serangan teroris yang menyasar rumah ibadah dan markas kepolisian tersebut membuat kaget, pasalnya dilakukan secara bertubi-tubi.

Namun tak butuh waktu lama, keamanan kini telah dapat dikendalikan.

Densus 88 menangkap puluhan orang yang diduga terlibat terorisme di berbagai penjuru daerah di Indonesia.

Aksi terorisme yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia tak ingin membuat Sam Aliano tinggal diam.

Ketua Umum DPP Pengusaha Muda Indonesia itu mengecam aksi tersebut.

Baca: ISIS dan Teroris Sebarkan Propagandanya Lewat Situs-situs Ini, Waspada Ya!

Baca: Waktu Puasa di Indonesia 13 Jam, Muslim Swedia Berpuasa 20 Jam/Hari, Negara Lainnya?

Baca: Kejam! Inilah Saddam al-Jamal, Otak Eksekutor ISIS, Pernah Bakar Korbannya Hidup-hidup

Demi memberantas teroris, Sam Aliano yang juga pengusaha, menggelar sayembara.

Sam Aliano menyiapkan uang senilai Rp 5 miliar bagi siapa saja yang berhasil menangkap dalang di balik aksi teror tersebut dan menyerahkan ke pihak kepolisian.

Sam Aliano
Sam Aliano ()

"Demi rakyat, saya menyiapkan uang untuk menangkap otak teroris itu. Saya menyiapkan Rp 5 M kepada rakyat, warga yang bisa menyerahkan otak teroris itu kepada pihak kepolisian," tutur Sam Aliano di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Kamis (17/5/2018), dikutip dari Tribunnews.

Pada kesempatan itu, dia juga memperlihatkan uang yang ada di koper.

Ia membuka koper, lalu memperlihatkan kepada awak media segepok uang.

"Uang sudah ada dan saya membawa dua koper, masing-masing Rp 2,5 M dan untuk saya perlihatkan. Hidup atau mati saya siap membawa uang orang yang bisa menangkap (otak,-red) teroris," kata dia.

Pengamat Ungkap Inilah Sasaran Utama Para Teroris

Sebenarnya apa yang disasar para pelaku teror dalam melakukan serangannnya?

Greg Fealy, pengamat politik dan Islam Indonesia dari Australian National University (ANU) di Canberra, mengatakan bahwa polisi imerupakan satu diantara musuh utama teroris.

Greg juga mengatakan bahwa serangan bom ke gereja di Indonesia sebetulnya tidaklah banyak terjadi.

Anggota penjinak bom memeriksa lokasi ledakan bom di gereja di Surabaya, Minggu (13/5/2018). (AFP PHOTO / JUNI KRISWANTO)
Anggota penjinak bom memeriksa lokasi ledakan bom di gereja di Surabaya, Minggu (13/5/2018). (AFP PHOTO / JUNI KRISWANTO) ()

"Polisi masih menjadi musuh utama atau target para jihadis," ujar Greg yang juga Kepala Departemen Perubahan Politik dan Sosial di ANU sebagaimana dikutip dari AustraliaPlus.

Baca: Videonya Sudah Ditonton 90 Juta Kali, Alamak! Begini Cantiknya Nissa Sabyan Ya Habibal Qalbi

Baca: Wanita Ini Ungkap Ternyata Segampang Ini Teroris Rekrut dan Cuci Otak Korban Lakukan Bom Bunuh Diri

Meski begitu, tempat ibadah dan warga asing juga tak lepas dari sasaran para teroris.

Greg memberikan komentarnya soal pernyataan polisi yang mengatakan keluarga pelaku bom Surabaya belum pernah ke Suriah.

Jika pelaku belum pernah ke Suriah, berarti ada oknum yang mengajari mereka.

lokasi di sekitar Gereja Pantekosta pasca pemboman
lokasi di sekitar Gereja Pantekosta pasca pemboman (Kompas.com)

"Tapi yang terpenting lagi ini menunjukkan banyaknya elemen yang butuh perhatian lebih, seperti siapa yang melatih dan mengajarkan mereka, terutama pada sang ayah, Dita untuk membuat bom yang cukup canggih dan menjadi yang terbesar sejak 2009," ucap Greg.

Greg berpendapat bahwa pejuang yang telah pergi ke Suriah dan kembali ke Indonesia memiliki kemampuan dalam membuat bom atau melakukan serangan. Gerak-gerik mereka setelah kembali ke Tanah Air sangat penting untuk diketahui.

Mereka yang pernah ke Suriah dan Irak juga memiliki suatu prestise karena telah bertempur di medan perang dan dianggap sebagai selebritis oleh komunitas teroris yang mengusung jihad.

"Masalah utama bagi para jihadis pro ISIS di Indonesia adalah tidak memiliki kemampuan, jadi butuh sedikit orang yang bisa berbagi keahlian untuk dapat meningkatkan ancaman teroris," ucap Greg.

"Dita menjadi contoh ini dan polisi tak memiliki informasi banyak soal dirinya. Tapi jika Dita mendapatkan pengetahuannya secara online, ini pun akan menjadi hal yang baru," imbuhnya.

Saat ditanya soal radikal dan toleransi di Indonesia, Greg berpendapat bahwa meningkatnya radikal Islam sedikit berlebihan.

"Bisa dikatakan berlebihan jika dikatakan adalah sebuah grup yang ingin penegakkan syariah atau mengubah Indonesia jadi negara Islam, karena politik Islam di Indonesia tidaklah efektif, meski media melaporkannya seolah sudah terjadi," ucapnya.

Menurutnya bibit radikal sebenarnya bisa dihentikan jika ada saluran politik yang sehat.

"Semakin banyak kita melibatkan orang-orang dengan berbagai pandangan ke dalam sistem politik untuk menyampaikan suara serta memberikan kesempatan, maka semakin kecil kemungkinan mereka untuk melakukan aksi radikal."

Menurutnya kondisi di Indonesia sekarang lebih memungkinkan untuk membuat semua kalangan terlibat politik yang sehat.

"Tapi ada sebagian kecil yang juga menolak apa yang disebut demokrasi dan ingin menggantinya dengan sistem lain."

"Seberapapun pluralisnya sebuah negara, tetap akan selalu ada sejumlah kecil yang menolak pandangan ini."

Greg juga menyampaikan dari data terbaru pengamatannya menunjukkan toleransi di Indonesia telah meningkat secara umum dalam kurang dari 10 tahun terakhir.

Tapi ia mengaku jika pada beberapa kelompok warga, intoleransi justru meningkat, seperti di kalangan Muslim kelas menengah di kota-kota besar, yang menurutnya memiliki peran untuk menyingkirkan Ahok dari dunia politik.

"Data ini kompleks, karena tidak menunjukkan satu arah saja, tapi ada tren berbeda pada sejumlah kelompok warga."

"Secara keseluruhan warga Indonesia lebih toleransi saat ini dibandingkan 10 tahun," tambahnya.

Ia mengatakan banyak ditemui komentar di jejaring sosial, seperti di Facebook atau Instagram yang berbau intoleran, tapi ia setuju jika apa yang terjadi di dunia maya, tidak mewakili keadaan sebenarnya. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved