Remaja 14 Tahun Lolos ITB, Saat Kecil Dicap Amat Nakal, Metode Belajarnya tak Lazim

Musa Izzanardi Wijanarko, remaja berkemampuan istimewa ini lolos Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri pada Juni lalu.

Editor: Nani Rachmaini
Tribun Jabar/Mumu Mujahidin
Musa Izzanandri Wijanarko (kedua dari kiri) bersama kedua orangtua dan adiknya di kediamannya di Kampung Tugu Laksana, Desa Pagerwangi, Lembang, Bandung Barat, Selasa (25/7/2017). TRIBUN JABAR/MUMU MUJAHIDIN 

Laporan Wartawan Tribun Jabar, Mumu Mujahidin

TRIBUNJAMBI.COM, BANDUNG - Musa Izzanardi Wijanarko, remaja berkemampuan istimewa ini lolos Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri pada Juni lalu.

Ia diterima di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Institut Teknologi Bandung (ITB).

Padahal, ia sempat mendapat berbagai diagnosis psikologis mulai dari hiperaktif, autism spectrum disorder, asperger syndrom, gangguan sensori integrasi, hingga gangguan mobilitas,

Sekilas tak ada yang berbeda dari remaja berusia 14 tahun ini. Izzan tampak seperti remaja pada umumnya. Ia sangat aktif dan memiliki keingintahuan yang tinggi.

Saat ditemui di kediamannya di Kampung Tugu Laksana, Desa Pagerwangi, Lembang, Bandung Barat, remaja berkacamata ini hanya mengenakan kaus olahraga biru berkerah pendek dan celana training berwarna hitam.

Sulit dipercaya bahwa di balik kesederhanaannya itu anak pasangan Yanti Herawati dan Mursid Wijanarko ini memiliki keistimewaan.

Sejak kecil Izzan sudah menunjukkan perilaku unik. Selain hiperaktif dan seolah memiliki dunianya sendiri (autisme), Izzan memiliki daya ingat dan rasa keingintahuan yang sangat kuat.

"Saat itu kami tak sadar bahwa perilaku Izzan menunjukkan kecerdasan. Izzan terus melakukan trial and error, merusak semua mainan, membongkar barang elektronik. Semua barang dibongkar, dilempar. Sangat nakal, tidak bisa diam, dan tidak mau mendengar," ujar Yanti yang didampingi suami dan anak-anaknya di kediamannya pada Selasa (25/7/2017).

Cemas akan perilaku anak keduanya itu, Yanti sempat memeriksakan anaknya tersebut ke dokter THT karena takut Izzan mengalami gangguan pendengaran. Izzan juga sempat di- screening ke psikolog hingga mendapat berbagai diagnosis psikologis.

Kelebihan Izzan baru ia sadari saat si bocah berusia 6 tahun 8 bulan. Saat itu Izzan sudah mampu mengerjakan materi pelajaran matematika setara anak usia 15 tahun atau kelas 2 SMP.

"Ia cepat sekali penasaran. Kalau kami ngasih sedikit aja, dia langsung bisa. Dia sudah mampu menurunkan rumus fisika dan mampu menemukan rumus-rumus matematika sendiri," tutur dia.

Namun, Izzan tidak pernah mengecap pendidikan formal. Setelah Izzan didiagnosis autism spectrum disorder, asperger syndrom, gangguan sensori integrasi, dan lain-lain, Yanti memutuskan untuk mendidik Izzan di rumah (homeschooling).

Yanti menerapkan discovery learning (memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan) dan experiential learning (metode pembelajaran melalui penciptaan pengalaman dalam proses belajarnya).

"Saya cuma fokus pada apa yang dia minati. Dia suka belajar matematika dan fisika, tapi kalau biologi dia kurang suka. Dia belajar sendiri. Saya cuma ngasih buku loakan. Kadang saya kasih soal, dia kerjakan sendiri dengan cara dia. Dia suka menjawab dengan menggambar jawabannya beserta rumusnya," kata Yanti.

Lantaran perilaku uniknya, Izzan kerap dianggap aneh oleh teman-teman sebayanya di lingkungan rumah. Izzan kerap dibuli dan pulang sekolah dalam kondisi luka karena berantem.

"Karena orangnya sangat aktif, dia kadang dianggap aneh sama orang lain. Sempat dikatai orang gila sama teman-temannya. Kerap mendapat perilaku kasar dan kekerasan juga," kata dia.

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved