Taman Nasional Berbak yang Bernilai Rp 8 Triliun
Selama enam tahun direktorat jenderal kekayaan negara kementerian keuangan Republik Indonesia menghitung nilai kekayaan tujuh dari seluruh taman
Penulis: Jaka Hendra Baittri | Editor: Nani Rachmaini
*Pemda harus mulai mengubah mindset melihat aset
*Terutama Intangible asset
Laporan wartawan Tibun Jambi, Jaka HB
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Selama enam tahun direktorat jenderal kekayaan negara kementerian keuangan Republik Indonesia menghitung nilai kekayaan tujuh dari seluruh taman nasional di Indonesia. Salah satunya adalah Taman Nasional Berbak. Sebelum bergabung dengan Sembilang. nilainya sampai 8 triliun rupiah.
Joko Tri Haryanto selaku Peneliti Madya Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu RI mengatakan penghitungan ini dilakukan pemerintah pusat saja. Dia mengakui seharusnya pemerintah daerah juga ikut di dalamnya, namun penghitungan ini sedang digodok standarisasinya.
“Ini sebagai referensi awal saja untuk menghitung berapa saja potensi yang ada di dalamnya. Mulai dari satwa, potensi kosmetik, potensi farmasi, potensi wisata dan sebagainya,” ungkapnya, pada Senin (22/5).
Joko mengatakan dengan mengetahui berapa perhitungannya maka lembaga terkait akan mudah menentukan anggarannya. Berapa anggaran yang diajukan, yang mampu dibantu daerah dan membuka peluang masuknya investasi dengan nilai yang sudah terukur.
Meski pun begitu Joko mengatakan peraturan terkait nilai-nilai yang menjadi potensi di dalam lingkungan itu masih digodok peraturannya. Dikerjakan oleh direktorat kekayaan negara.
Joko mengatakan ini dalam Pelatihan Green Budget Tagging yang diselenggarakan oleh WWF Indonesia dengan Bappeda Propinsi Jambi atas dukungan Millenium Challenge Account (MCA) Indonesia, Senin (22/5) di Kantor Bappeda Propinsi Jambi.
Pemerintah Daerah Propinsi dan kabupaten kota didorong agar mulai melakukan penghitungan atas berbagai asset sumber daya alam sebagai asset intangible. “Yakni aset yang selama ini belum dinilai sebagai modal,” katanya.
Globalisasi mendorong negara-negara didunia telah mengubah paradigma dari cost centre menjadi revenue centre. Sehingga sumber daya alam tidak selalu dianggap sebagai pengeluaran terus.
“Misalnya hutan, pemerintah dipaksa untuk meningkatkan PNBP kehutanan. Ketika ada target, maka akan ada eksploitasi besar-besaran terhadap kayu. Maka bila dari paradigm cost centre, muncul belanja penyelamatan. Apakah itu melalui rehabilitasi, restorasi dan sebagainya. Sehingga hutan hanya sebagai cost centre,” demikian ungkap Joko.
Menurut Joko hutan juga bisa dilihat sebagai revenue centre (atau sumber pendapatan). Itu pun menurut Joko kalau pemerintah propinsi, kabupaten dan kota, bisa membagi perhatian untuk menguatkan sektor penerimaan negara bukan pajak (PNBP) itu tidak semata kayu, tapi juga sektor non kayu. “Misalnya PNBP jasa wisata dan sektor species langka. Meski tetap memperhatikan sisi level optimalnya,” katanya.
Joko mengingatkan upaya ini harus dilakukan secara berimbang. Jangan sampai karena ingin mengenjot sektor PNBP jasa wisata, malah tidak memperhatikan sektor lain.
“Misalnya, sektor ekonomi kreatif. Jangan ketika berharap mendapat revenue dari sektor wisata, maka untuk pembuatan film pun di kawasan hutan harus membayar PNBP jasa wisata yang gede. Orang jadi malas memberikan dukungan,” jelas Associate Lecture Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia ini.
Joko menyarankan pemerintah daerah sudah harus mulai menghitung asset sumberdaya alamnya. Contohnya dengan apa yang dilakukan dirjen kekayaan negara kemenkeu yang sdah menilai 7 dari 50-an Taman Nasional. Dalam penilaian awal tersebut, TN Berbak Sembilang hanya memiliki asset sumber daya alam senilai 8 triliun rupiah.
Bahkan ada taman nasional yang divaluasi hanya sebesar Rp 200 milyar – Rp 300 milyar saja. Angka tersebut dinilainya masih terlalu kecil dan pasti belum komprehensif. Makanya saat ini Dirjen Kekayaaan Negara Kemenku RI sudah memasukkan RUU penghitungan Kekayaan Sumber Daya Alam dalam prolegnas 2017. RUU ini nantinya akan menetapkan standarisasi nilai kekayaan sumber daya alam Indonesia.
“Agak aneh ketika kita mengatakan bahwa Indonesia kaya akan hutan dan sumber daya alamnya, tapi kita tidak tahu berapa nilainya. Tak heran bila kita selama ini hanya menerima royalty dan eksploitasi sumber daya alam. Padahal bila dihitung, jangan-jangan nilai asset dari sumber daya alam itu jauh lebih tinggi dari total rolyalti yang diterima akibat eksploitasinya,” tegas Joko yang juga Peneliti Madya Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu RI.
Semua ini juga tidak harus dikerjakan oleh pemerintah sendiri. Ini harus dikerjakan bersama oleh seluruh lapisan masyarakat maupun perusahaan. Tentu saja hal itu dilakukan sesuai dengan porsi masing-masing.
Acara yang berlangsung selama 3 hari, sejak 22 hingga 24 Mei. Acara tersebut dibuka oleh Project Implementation Coordinator WWF MCAI RIMBA, Sigit Ariyanto. KEgiatan ini juga dihadiri oleh perwakilan SKPD dan Bappeda dari perwakilan propinsi dan 6 kabupaten, yakni Kerinci, Merangin, Tebo, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Timur, Kota Jambi dan Propinsi Jambi.(bai)