Suku Anak Dalam

Miris, SAD di Sarolangun Ini Melahirkan di Pinggir Jalan. Begini Kondisi Ibu dan Bayinya

Ironis. Itulah satu kata yang bisa menggambarkan kondisi dan keadaan Suku Anak Dalam (SAD)

Penulis: Herupitra | Editor: Fifi Suryani
zoom-inlihat foto Miris, SAD di Sarolangun Ini Melahirkan di Pinggir Jalan.  Begini Kondisi Ibu dan Bayinya
Youtube
Ilustrasi

TRIBUNJAMBI.COM, SAROLANGUN - Ironis. Itulah satu kata yang bisa menggambarkan kondisi dan keadaan Suku Anak Dalam (SAD) yang bermukim di Taman Nasional Bukit Dua Belas Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Tinggal jauh di hutan membuat akses menuju puskesmas sulit. Walhasil warga yang melahirkan belum sempat sampai ke puskesmas di perjalanan telah melahirkan.

Hal itulah yang terjadi terhadap Gonde warga SAD yang bermukim di desa bukit Suban. Dia terpaksa melahirkan di tepi jalan tanpa bantuan medis. Nasib baik, bayi yang dilahirkan dan juga ibu dalam keadaan sehat.

Wahab warga Bukit Suban yang menjadi pendamping SAD menyebutkan, peristiwa tersebut terjadi pada 16 September lalu. Saat itu Gonde yang akan melahirkan anak ketiganya, kesakitan merasa ingin melahirkan.

Oleh keluarga, Gonde diajak berjalan kaki ke luar hutan menuju desa terdekat untuk mendapatkan persalinan. Karena jarak tempuh yang jauh dan mesti jalan kaki, sebelum sampai ke ke desa Gonde telah melahirkan.

“Kemarin, ada warga SAD dari kelompok Meninjau yang tinggal di dalam hutan, melahir di pinggir jalan. Karena saat menuju desa keburu melahirkan,” kata Wahab.

Menurut Wahab, saat melahirkan di pinggir jalan, persalinan Gonde terlihat mudah. Kondisi Gonde dan bayinya juga terlihat sehat-sehat saja.

“Kini pascamelahirkan oleh keluarga Gonde terpaksa membuat Sudung (tempat tinggal dari kayu) didekat dia melihirkan. Ini agar tidak terlalu jauh berjalan lagi,” sebutnya.

Wahab mengatakan, bahwa kejadian melahirkan di jalan bukan merupakan hal pertama yang di alami SAD. Namun kejadian serupa sudah sering ditemukan, hal ini karena jarak tempuh yang jauh.

Petugas kesehatan atau bidan hanya terdapat di desa-desa. Namun karena warga SAD tak tahu kapan akan melahirkan sehingga warga SAD tidak begitu menghitung hari, kapan akan turun ke desa.

“Saya kira karena mereka tidak tahu kapan mau melahirkan. Sehingga warga SAD tidak begitu peduli dan ini menyebabkan angka kelahiran begitu tinggi di kalangan mereka. Bahkan jarak antara anak hanya terhitung satu tahun saja,” bebernya.

Wahab membeberkan, jarak tempuh yang cukup jauh bagi warga SAD bukan saja menimbulkan persoalan medis. Namun ekonomi warga SAD yang telah bercocok, kesulitan menjual hasil kebun mereka.

“Selama ini warga SAD banyak yang bercocok tanam di dalam kawasan hutan. Namun karena akses jalan membuat hasil kebun mereka hanya bisa kita salurkan setiap musim panen saja. Dan kita sangat membutuhkan bimbingan pemerintah, sebab semenjak tahun 80-an saya sudah membina mereka, jadi sangat tahu kondisi psikologi mereka,” sebut Wahab lagi.

Menurut Wahab yang sangat diharapkan SAD, bukan hanya berupa bantuan sementara. Tapi yang dibutuhkan mereka adalah bimbingan untuk mereka keluar dari kebodohan dan juga sifat asli mereka.

“Yang dibutuhkan mereka bimbingan secera terus menerus. Jika mereka bercocok tanam, maka wajib didampingi oleh petugas PPL. Jika ini dilakukan maka sudah bisa dipastikan merteka akan berhasil. Dan saya mengimbau agar pemerintah bisa memperhatikan kondisi ini,” tandasnya.

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved