EDITORIAL

Ketika Smokel Bangkit Lagi

PAKAIAN bekas eks luar negeri ternyata masih beredar bebas di kota Jambi, dan sejumlah daerah dalam Provinsi Jambi. Meski diketahui

Editor: ridwan

PAKAIAN bekas eks luar negeri ternyata masih beredar bebas di kota Jambi, dan sejumlah daerah dalam Provinsi Jambi. Meski diketahui bahwa pakaian bekas yang akrab disebut "PJ", terkadang ada juga yang menyebut "BJ" sudah dilarang oleh Menteri Perdagangan melalui Peraturan Menteri (Permen) Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/7/2015--yang isinya tentang larangan impor pakaian bekas.
Bagi kuping orang Jambi, kata-kata PJ ataupun BJ, memang sudah tidak asing lagi. Barang eks mancanegara ini sudah sejak 1980an, marak masuk ke Jambi melalui pelabuhan Kuala Tungkal. Ataupun pelabuhan "tikus" wilayah Tanjab Barat (dulu masih Tanjungjabung). Memang waktu itu pengamanan dan pengawasan belum seketat sekarang. Sehingga barang luar leluasa masuk ke Kuala Tungkal. Maka, tauke-tauke pakaian bekas menganggap Jambi adalah surganya pemasaran "limbah" dari negara Singapura serta Tiongkok tersebut.
Kala itu, Jambi dikenal sebagai provinsi yang bergelimang dengan barang-barang eks mancanegara. Tidak saja pakaian bekas, waktu itu alat-alat elektronik, bawang putih dan mesin (otomotif) masuk bebas ke Jambi. Barang-barang itu akrab disekut barang smokel. Kosa kata smokel ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) --yang artinya barang hasil selundupan atau perdagangan gelap.
Peminat barang smokel ini, tidak saja dari Jambi melainkan juga provinsi tetangga sebut saja, konsumen dari Provinsi Sumatera Selatan, dan Lampung pun sering ke Jambi. Pendek kata, Jambi merupakan kota wisata barang smokel. Mereka berduyun-duyun datang ke Jambi, sehingga pasar pakaian bekas Angso Duo ramai pembeli.
Namun zaman kejayaan pedagang PJ tersebut hanya bertahan sampai di penghujung 1990an. Awal tahun 2000an, pasaran pakaian bekas meredup. Begitu juga alat elektronik, bawang putih, dan mesin-mesin jauh hari sebelumnya sudah mengalami kesuraman. Karena kalah saing dengan produk lokal yang sudah banjir. Meski terkadang masih ada juga secara sporadis, otomotif masuk ke pelabuhan Kuala Tungkal.
Tapi yang namanya pakaian bekas meski sepi, tetap bertahan. Bahkan belakangan pedagang pakaian bekas justru tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Tata niaganya tidak lagi terkonsentrasi pada satu lokasi melainkan tersebar di sejumlah tempat. Seperti di kawasan Jalan Sunan Giri, Kecamatan Kotabaru serta beberapa lokasi lainnya.
Penangkapan 750 bal pakaian bekas oleh Polairud Polda Jambi kemarin adalah membuktikan bahwa, bisnis pakaian bekas eks mancanegara seolah bangkit lagi. Kalau dulu, satu bal itu sekitar Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta. Sekarang bisa jadi sudah di atas harga itu, bahkan ada seorang pelaku bisnis PJ mengatakan dia bisa jual tolak antara Rp 2-3 juta per bal. Biasanya, oleh pedagang PJ eceran akan menyortir lagi pakaian bekas tadi.
Dan mereka jual dengan harga bervariasi. Seorang teman yang hobi shopping PJ mengaku pernah mendapat levis kualitas bagus dibelinya dengan harga Rp 70 ribu per potong. Satu bal itu menurut informasi berisi antara 100-300 potong. Keuntungan yang diraup pedagang eceran justru berlipat ganda. Namun dibalik maraknya pakaian bekas masuk Jambi, ada bahaya yang mengintai.
Apa itu? Menurut ahli kesehatan pakaian bekas impor rawan penyakit kulit. Seperti yang pernah dikatakan Dokter Spesialias Kulit dan Kelamin dari Rumah Sakit Umum Pemerintah (RSUP) Hasan Sadikin Bandung, Dendi Sandiono pakaian bekas impor dapat menyebabkan penyakit kulit dan kelamin. Karena diduga mengandung virus berbahaya. Penyakit yang bisa dibawa pakaian bekas tersimpan lama dalam sebuah tempat (pakaian impor bekas) itu bisa disebabkan oleh dari jamur dan bakteri, kutu badan dan kutu kelamin.
Dua hal yang perlu dicermati. Beradarnya pakaian bekas itu menabrak aturan dari Kementerian Perdagangan, serta aspek kesehatan rawan terhadap bakteri dan jamur--sehingga rentan terhadap penyakit kulit. Untuk itulah, mungkin belum terlambat bagi masyarakat untuk ekstra hati-hati terhadap pakaian bekas, barangkali ada cara lain untuk mengatasinya bagi yang sudah telanjur. Atau bagi pemangku kebijakan untuk segera menggunakan tangannya mengawasi masuk dan peredaran "limbah" eks luarnegeri ini. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved