Pementasan Teater
Alimin Pilih "Mengakhiri" Hidupnya
Dinding-dinding gelap mencampur aduk perasaan Alimin. Jendela dengan jeruji vertikal menyalurkan sinar matahari
Penulis: Jaka Hendra Baittri | Editor: Fifi Suryani
TRIBUNJAMBI.COM - Dinding-dinding gelap mencampur aduk perasaan Alimin. Jendela dengan jeruji vertikal menyalurkan sinar matahari. Hanya dari jendela itulah Alimin masih bisa melihat bentuk matahari.
"BERISIK! Diam! Tak tahu apa orang sedang ingin tidur!!" Teriak Alimin ke arah jendela. Dia mengeluhkan sekaligus menyanjung hidupnya sendiri. Dia mengenang bagaimana kejahatan menjadi pilihannya sejak kecil.
"Sejak awal aku sudah mengingkari diriku sendiri!" katanya kemudian disambung tawa terbahak. Cahaya yang menerangi Alimin kemudian berubah-ubah, seperti gradasi antara satu fragmen ke fragmen lain. Ia berada antara tuduhan pembunuhan yang bertumpuk dengan kejahatan yang lebih besar dan selalu lolos.
Satu kursi dan satu meja kayu kosong kemudian menjadi tempat duduk hingga tempat berdiri Alimin. Dia tiba-tiba berbicara di depan hakim, mengakui semua kesalahannya. Tapi lagi-lagi menunjuk-nunjuk kekuasaan yang lebih besar dan memaksanya berbuat kejahatan, karena sistem yang membuatnya lapar.
Alimin adalah tokoh dalam monolog Ouch karya Putu Wijaya. Karya ini kembali dipentaskan di Taman Budaya Jambi (TBJ). Pementasan ini dilakukan oleh TBJ dengan bekerjasam dengan ISI Padang Panjang, dengan tujuan untuk membangkitkan semangat teater siswa dan mahasiswa yang bergerak di dunia teater.
“Kami mencoba memberikan ruang apresiasi dan membangkitkan spirit teater,” ujar ketua rombongan dari ISI Padang Panjang, Mahdi Bahar.
Dikatakan Mahdi Bahar, pementasan tersebut menyajikan Alimin yang akan dieksekusi hukum karena kasus pembunuhan yang dilakukannya. Tapi menurutnya, Alimin punya pandangan sendiri terhadap ketidakadilan hukum yang terjadi padanya. Hingga Alimin memutuskan mengakhiri kehidupannya dengan bunuh diri.
Alimin menurutnya adalah produk kenyataan sistem. "Bahkan Alimin yang didakwa sebagai seorang pembunuh pun masih punya sisi kemanusiaan," katanya.
Mahdi Bahar mengatakan alasan dipilihnya naskah ini karena menurutnya wacana di dalamnya masih kekinian. Mulai dari sisi hukum dan keadilan, kata dia, semuanya tergambar dalam naskah tersebut. “Jadi kadang keadilan itu masih samar, masih ada kekuasaan uang, politik, dan lain sebagainya,” tambahnya.
Selain itu ada pula Dwi Raharyoso, Dosen Sastra Indonesia Unja punya pandangan sendiri dalam penampilan ini. Pertunjukkan Ouch ini menurutnya perlu lebih banyak lagi di Jambi agar memberikan warna berbeda. "Di tengah gempuran multimedia dan televisi, pertunjukan teater menjadi sangat menarik," katanya.
Namun, ia memiliki catatan tersendiri terhadap penonton di Jambi yang masih belum paham aturan dalam menonton teater. Masih saja ada penonton yang ribut, ngobrol, nada dering tidak dimatikan dan menyalakan blitz. “Ini yang harus kita berikan pemahaman,” katanya.
Yoso mengatakan sangat terkesan dengan pertunjukan tersebut. ia juga dapat mengambil intisari dari pertunjukan tersebut. Pertunjukan teater bukan hanya dapat menjadi suatu hiburan bagi masyarakat, tapi juga memberikan edukasi kepada masyarakat.
Meski begitu dia punya beberapa catatan kritik untuk penampilan teater ini. Semisal saat Alimin kedatangan tamu dan mengobrol dengan tamu, Alimin malah menoleh ke arah penonton. Selain itu fungsi meja dan kursi saat Alimin memanggul kursi misalnya, yang tidak menunjukkan relevansi fungsi kursi dan meja dengan naskah.(jaka hendra baittri)
