Efek Kabut Asap
Asap Bisa Memunculkan Penyakit Baru
Rumah Sakit selalu mempunyai bau yang khas. Ada bau obat dan pembersih lantai. Orang-orang berlalulalang
Penulis: Jaka Hendra Baittri | Editor: Fifi Suryani
Laporan Wartawan Tribun Jambi, Jaka HB
TRIBUNJAMBI.COM - Rumah Sakit selalu mempunyai bau yang khas. Ada bau obat dan pembersih lantai. Orang-orang berlalulalang di sana entah sebagai pasien atau pun sebagai penjenguk. Terlebih kabut asap membawa korban yang
kebanyakan merupakan anak bawah lima tahun (balita).
Hamzah sempat merasakan suasana rumah sakit ini saat berobat. Asap yang sudah pekat dan masuk rumah membuatnya batuk dan Ilsa, ibunya merasa harus segera memberikan pertolongan pada anaknya.
“Dia mulai batuk-batuk sejak kira-kira hari kelima asap mulai meraja di Jambi, mulai demam tinggi tanggal 10, kita kasih obat penurun panas biasa tapi nggak banyak perubahan sampai akhirnya dibawa ke dokter karena napasnya sudah mulai berbunyi dan mulai sesak,” jelas Ilsa.
"Ya sesak napas karena banyak lendir di tenggorokannya akibat batuk. Dan batuknya dari asap tadi. Wong asapnya masuk sampai ke rumah gitu, abu sisa pembakarannya juga bikin lantai harus berkali-kali di pel," tambahnya.
Ia merasa kasihan ketika batuk disertai pilek dan berujung meradang ke telinga.
"Itu yang bikin panas tinggi," katanya.
Jadi agar lendir bisa encer dan pernapasannya bisa lebih baik selain diberi obat pengencer dahak dan parasetamol, dokter menyarankan untuk nebulisasi sebagai salah satu bentuk terapi.
"Nebulisasinya 20 menit, kemudian dipanasi dadanya sambil ditepuk-tepuk dan terakhir anak diminta tengkkurap di atas bola plastik, dalam keadaan badan melengkung punggungnya ditepuk-tepuk selama lebih kurang
5 menitan. Semuanya lebih kurang," terangnya.
Hamzah yang baru berumur 3 tahun 6 bulan ini sekali saja dinebulisasi.
"Jangan sampai berulangkalilah dinebulisasi dan lainnya, kasihan. Daun-daun aja meranggas selama tiga minggu kena asap. Lah ini anak orang, balita dan bayi," katanya geram.
Perihal ketua DPRD yang mengatakan ini musibah dari alam ia tampak tak setuju dengan pendapat seperti itu. Mungkin, katanya lingkungan rumah, kerja hingga mobilnya menggunakan Air COnditioner (AC).
"Kamar mandinyo pun ber-AC," katanya.
Ilsa hanya bisa berharap kalau pemerintah bisa menegakkan peraturan yang jelas dan tegas tentang pembakaran lahan.
"Ketegasan itu tentunya dibarengi dengan sanksi yang keras jika ternyata terjadi pelanggaran" katanya.
Ia sempat menyebutkan contoh bagaimana industri di retterdam Belanda menyalurkan asap buangan karbon pabrik melalui pipa-pipa bawah tanah ke kebun petani. "Mutualisme banget kan," katanya.
Kalau hal ini dilakukan ia optimis udara akan bersih. "Sampai kiamat juga udara bakal bersih," katanya bersemangat.
Berbeda dengan Hamzah yang sudah mulai beraktivitas, Keyla (1,9) masih harus menginap di salah satu Rumah Sakit Swasta Jambi.
"Diare samo virus gara-gara asap," kata Koko, ayah Keyla.
Sudah sejak Senin Keyla harus merelakan jarum infus masuk ke pergelangan tangan kirinya. Semua ini berawal dari demam yang menyerang Keyla. Lalu apa saja yang dimakannya dimuntahkan dan mengalami mencret.
Ada pula Izza (3,5) yang terkena purpura henoch schein. Resi, ibu dari Izza menuturkan dokter mengatakan asal penyakit ini bisa dari konsumsi obat atau karena ISPA.
Penyakit ini katanya berawal dari Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA).
"Sebab Izza dakdo konsumsi obat," ungkapnya.
"Awalnya kena infeksi pernapasan karena asap. Terus ada virus yang masuk ke dalam tubuh dan bentuknya sama dengan sel di dalam darah. Jadi, sel-sel yang baik di tubuh juga dibaca sebagai virus dan dimakanlah sel yang mirip virus itu. Semacam kelainan sistem imun," terang Resi.
Dengan murung ia menjelaskan akibat yang mungkin bisa muncul karena penyakit ini. "Bisa sambung menyambung dari keluar bintik merah atau pecahnya pembuluh darah, terus kulit terlihat lebam dan membengkak. Selanjutnya ada radang sendi yang juga mengganggu ginjal, nah yang terakhir ini sayo takutnyo," ungkapnya.
Ia mengatakan penyakit ini hanya dapat muncul dari dua hal. "Antara ISPA atau dari vaksin, nah anak sayo dak ado di vaksin jadi penyebabnya otomatis karena ISPA dari abu asap," katanya.
Izzah mulai menampakkan gejala ini sejak Kamis. Namun, Juli baru merawat anak pertamanya ini Senin lalu. Cemas yang amat sangat menyelimutinya sampai saat ini.
Apalagi jenis penyakit ini terdengar mengerikan olehnya dan punya potensi menjadi penyakit kritis seperti gagal ginjal. Baginya harapan terbesar bahwa hal itu jangan sampai terjadi.
"Dak terbayang anak sekecil ini mengidap gagal ginjal," ungkapnya murung.
Kini Izza sudah membaik. "Namun, kemarin sempat mau timbul lagi sakitnya. Soalnya minggu kemarin semat main seharian di mall sambil nunggu ayahnya kerja," ungkapnya, pada Rabu (21/10)
Terkait tentang asap ini menurutnya pemerintah belum memiliki manajemen antisipasi. "Kan pemerintah itu punya perpanjangan tangan sampai ke desa," katanya. Melalui itu menurutnya pemerintah juga bisa mendeteksi potensi kebakaran.
"Tapi yo kembali lagi ke mental pejabatnyo sih," keluhnya.
Menurutnya tampak tak masuk akal ketika pemerintah menyuruh masyarakat berdoa tapi mereka sendiri melakukan dosa. Semisal dengan memberikan izin pembukaan lahan baru tanpa memerhatikan mekanisme pembukaan lahan tersebut.
Ia tahu Sumatera dan Kalimantan memiliki banyak gambut. "Tapi dulu dak ado tu bencana asap," katanya.
Irawan Anasta Putra selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Jambi (unja) mengatakan bahwa pemerintah sebaiknya mebuat program yang terencana untuk menghadapi asap yang selalu berulang ini, terutama Dinas Kesehatan.
“Masker tidak menyelesaikan masalah,” katanya.
Harus ada perencanaan program yang baik seperti misalnya edukasi terhadap masyarakat dan semacamnya. Sebab sangat banyak kerugian yang didatangkan oleh Asap ini.
Selaku spesialis anak ia mengatakan asap dapat saja menghambat sistem kerja otak anak. Meski pun harus melewati beberapa tahap untuk terjadi hal seperti itu. Anak-anak menurutnya merupakan kategori yang rentan setelah orang tua.
Menurutnya bisa saja muncul penyakit baru jika ini terus berulang.
“Di Afrika saja tiba-tiba ada ebola,” katanya.