Kredit Macet
Kredit Macet BPR di Jambi Lewati Batas
Rasio kredit macet atau biasa disebut Non Performing Loan (NPL) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Jambi meningkat drastis.
Penulis: hendri dede | Editor: Deddy Rachmawan
Laporan wartawan Tribun Jambi, Hendri Dede Putra
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Rasio kredit macet atau biasa disebut Non Performing Loan (NPL) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Jambi meningkat drastis.
Dari catatan kantor Bank Indonesia (BI) Provinsi Jambi NPL BPR melonjak dari level 5,01 persen menjadi 5,96 persen di triwulan III 2013, angka ini sudah melewati batasan BI sebesar 5 persen. Ini dialami separuh dari 16 BPR yang ada di Provinsi Jambi.
Ketua Persatuan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), P Hasuruan Manik, mengatakan, naiknya NPL sesuai dengan kondisi eksternal BPR.
Kenaikan ini juga dipengaruhi tingkat inflasi yang naik signifikan dari pengaruh kenaikan harga BBM dan momen setelah Lebaran. Selain itu juga dipengaruhi harga TBS kelapa sawit dan karet yang masih terpuruk, serta produksi menurun Juni sampai September 2013.
"Kita melihat Juni-September 2013 harga komoditas menurun, terjadi inflasi, BBM naik. Jadi para debitur kesulitan untuk bayar kewajibannya, maka berdampak pada NPL, tapi ini sifatnya temporer. Proyeksi akhir Desember 2013 dapat ditekan kembali menurun di bawah 2 %," katanya kepada Tribun, Rabu (30/10).
Kepala unit pengawas perbankan BI Jambi, Farid Faletehan mengatakan BI Jambi telah melakukan pengawasan dan memberikan surat teguran kepada sejumlah BPR.
Menurutnya sejauh ini belum ada sanksi khusus yang diberikan langsung terhadap BPR yang mengalami kredit macet. BI sudah mengevaluasi dan melakukan konsolidasi dengan memanggil BPR ke kantor BI dan membina mereka.
"Ketegasan dari perbankan, kita mengimbau agar menjaga likuiditas, penyaluran lebih selektif dipilih yang benar-benar produktif," katanya.
Farid bersama Humas BI Jambi, Ihsan mengatakan BPR harus berupaya menyelesaikan kredit macet, dengan melakukan actionplan penyelesaiaan kredit bermasalah, apalagi sebagian besar penyaluran kredit BPR merupakan kredit konsumtif.
"Intinya memang pasti ada sedikit penurunan di sektor BPR, tapi tetap jadi pengawasan BI. BPR harus menyelesaikan utang yang bermasalah, apakah dengan restrukturisasi, negosiasi kembali antar BPR dengan debitur, atau cara lainnya. Jadi restrukturisasi salah satu upaya untuk memperbaiki NPL, tapi debiturnya dipilih dan sudah ada ketentuannya," katanya.
Data yang disampaikan BI Jambi terhadap kinerja BPR Jambi, untuk penyaluran kredit BPR Jambi Triwulan III 2013 sebesar Rp 554,2 miliar.
Dengan total aset yang dimiliki BPR sebesar Rp 760 miliar, jumlah penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) Rp 551,3 miliar dan LDR 102,93 persen. "Angka nominal kredit macetnya bisa diketahui dari jumlah kredit yang disalurkan dikalikan dengan NPL," kata Ihsan, Humas BI Jambi.
Bank umum sama saja
Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Provinsi Jambi mencatat kinerja perbankan triwulan III 2013 mengalami peningkatan dibanding trwiulan sebelumnya.
Namun dari sisi risiko perkembangan non performing loan (NPL) perbankan meningkat, sehingga BI meminta perbankan untuk menjaga likuiditas.
Farid mengatakan pertumbuhan aset di triwulan III 2013 meningkat sebesar 2,53 persen. Aset triwulan II sebesar Rp 27,8 triliun saat ini menjadi Rp 28,5 triliun.
Kenaikan juga terlihat dari penyaluran kredit yang meningkat 4,11 persen, dari Rp 22,2 triliun menjadi Rp 23,1 triliun. Dengan penggunakan kredit yang paling besar yakni kredit konsumsi 42,92 persen, kredit modal kerja 32,21 persen, dan kredit investasi 24,86 persen.
"Kondisi ekonomi yang cenderung melambat, bank harus menjaga likuiditas dan hati-hati menyalurkan kredit," tegas Farid.
Imbauan itu juga seiring terus NPL yang terus meningkat. Catatan Kantor Perwakilan BI Provinsi Jambi angka NPL bank umum sebesar 2,25 persen dari sebelumnya 1,9 persen.
Sementara itu, perolehan dana pihak ketiga (DPK) yang naik 1.91 persen, dari Rp 19.15 triliun menjadi Rp 19.52 trilun. DPK didominasi oleh simpanan deposito/tabungan sebesar Rp 10,1 triliun, simpanan giro Rp 3,7 triliun, simpanan berjangka Rp 5,7 triliun.