Ramadan Mubarak

Kaya Tak Selalu Berkah

MENJADI orang kaya itu enak, dan selalu menarik untuk ditiru. Tetapi hati-hati.

Editor: Deddy Rachmawan

Komaruddin Hidayat
Guru Besar dan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

MENJADI orang kaya itu enak, dan selalu menarik untuk ditiru. Tetapi hati-hati. Tidak selalu orang kaya raya itu hidupnya berkah. Ketika kekayaan melimpah, godaannya juga ikut naik. Ketenteramannya bisa terusik justru, karena kekayaannya.
Terlebih lagi kalau kekayaan itu menyangkut harta warisan. Di dalam lingkungan masyarakat Jawa, tertanam pandangan bahwa harta warisan itu halal, namun panas. Kalau para ahli warisnya tak kuat iman dan tak hati-hati menerima warisan, yang muncul justru malapetaka. Muncul keretakan, bahkan permusuhan antarkeluarga.
Dalam alur cerita film-film koboi di Barat, sering terjadi perkelahian berebut harta karun. Pada mulanya mereka bersahabat ketika menelusuri jejak harta karun. Begitu harta karun telah ditemukan, biasanya antarmereka saling bunuh. Masing-masing pihak mengklaim dan menjadikan sebagai pemilik tunggal, karena dorongan nafsu keserakahan.
Perebutan harta karun itu sekarang mungkin menjelma jadi perebutan jabatan birokrasi dan Parpol. Karena dorongan nafsu serakah, rakus dan mental keropos, banyak pejabat tinggi negara dan Parpol lalu terjerat korupsi, dan berususan dengan penjara. Mental ini timbul akibat dimanjakan kemewahan materi oleh orangtua serta proses pendidikan yang salah.
Kebiasaan menyontek dan curang sewaktu ujian adalah awal pengenalan korupsi seorang anak yang bisa terbawa sampai tua. Mental selalu mencari jalan pintas, sekalipun melanggar aturan akan memudahkan timbulnya konflik di manapun. Fenomena mental lembek dan malas ini sudah lama jadi perhatian sebagian generasi muda di Amerika Serikat.
Tidak seperti generasi pendahulunya yang terbiasa hidup dengan kerja keras dan serba prihatin, generasi muda Amerika sekarang terlahir dan tumbuh dengan fasilitas hidup mewah, sehingga membuat daya juang mereka lemah.
Oleh karenanya, tidak mengherankan kalau di berbagai sekolah, perguruan tinggi ternama yang menjadi bintang kelas adalah warga pendatang, baik itu kulit hitam maupun orang Asia, khususnya Vietnam, Jepang atau China. Mengapa begitu? Satu sebabnya berkaitan psikologi orang miskin yang memiliki motivasi berprestasi jauh lebih besar dibanding mereka yang hidup serba berkecukupan dan selalu memperoleh proteksi dari orangtua mereka.
Berdasarkan pengamatan sementara, mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri atas dana beasiswa, prestasi akademik dan moralnya lebih baik dibanding mereka yang dibiayai orangtuanya sendiri. Mereka lebih tahan banting menghadapi kesulitan hidup dibanding mahasiswa yang datang dari keluarga kaya.
Tentu ini bukan merupakan formula umum, meskipun sulit dibantah kebenarannya. Problem rendahnya motivasi untuk berprestasi ini juga melanda para pelajar mahasiswa di Tanah Air yang datang dari keluarga pejabat tinggi dan tergolong kaya raya. Tak segan-segan orangtua membeli nilai kenaikan kelas atau kelulusan dalam ujian dari guru atau panitia ujian.
Sudah tentu jika krisis moral ini sudah diperkenalkan oleh orangtua sejak proses hulu kehidupan, maka sangat wajar jika krisis hilir yang muncul sulit dielakkan. Orangtua yang cinta keluarganya tentu tak mau membawa harta dan uang haram ke rumah. Setiap orang mesti menginginkan anaknya berkembang lebih baik dan maju dibanding dirinya.
Tetapi harus diingat, bahwa kebaikan dan kemajuan tak selalu berupa melimpahnya materi dan kenyamanan hidup. Hidup yang berkah justru membuahkan banyak amal saleh bagi diri dan orang banyak. Makanan dan harta haram yang dikonsumsi anak-anak kita akan mengundang syetan masuk aliran darah, sehingga mendorong mereka bertindak melawan kebenaran dan kebaikan.
Oleh karena itu, untuk membangun masyarakat sejahtera yang terbebas dari korupsi, mulailah mengonsumsi rezeki yang baik dan halal sehingga kita akan mewariskan generasi penerus yang unggul dan saleh. Ingat pesan Nabi Muhammad SAW, "Janganlah kamu buat orangtuamu menderita akibat perbuatanmu yang tidak terpuji semasa kamu tinggal di dunia."
Konsep hidup berkah ini sangat fundamental bagi orang yang beriman. Bekerja yang berkah adalah mereka yang produktif dan bermanfaat dalam kerjanya, halal penghasilannya, dan ketika berakhir tak mewariskan persoalan bagi diri, keluarga, dan institusi tempat kerjanya. Kita pantas merenung, mengapa banyak pejabat pemerintah yang ketika berkuasa hidup mewah, namun berakhir di penjara.
Ada lagi yang hidupnya mewah, namun dari hasil korupsi. Sungguh menyedihkan jika ada orang yang bangga dengan kekayaannya, tak lagi punya rasa malu diberitakan sebagai koruptor. Hidup macam apa yang akan dibanggakan di hadapan keluarga, masyarakat dan Tuhan, jika seseorang tak lagi malu mengambil hak yang bukan miliknya? (*)

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Meraih Hidup Bermakna

 

Meraih Energi Ilahi

 

Menjaga Hati

 

Kaya Tak Selalu Berkah

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved