Perbedaan Mencolok Kopassus dan Atiteror Polisi, Doktrin Berbanding Terbalik saat Tumpas Kejahatan
Pelaksanakan operasi antiteror pasukan khusus TNI dan Polri sebenarnya memiliki perbedaan mencolok, apa saja itu?
Perbedaan Mencolok Kopassus dan Atiteror Polisi, Doktrin yang Berbanding Terbalik saat Tumpas Kejahatan
TRIBUNJAMBI.COM - Pelaksanakan operasi antiteror pasukan khusus TNI dan Polri sebenarnya memiliki perbedaan mencolok, meski keduanya tetap mengedepankan pendekatan persuasif yang menjunjung HAM.
Operasi antiteror TNI lebih mencerminkan aksi ‘pukul dulu urusan belakangan’, sementara operasi antiteror Polri cenderung berdoktrin ‘pahami dulu urusannya baru dipukul’.
Artinya dalam operasi antiteror pasukan khusus TNI cenderung melakukan pencegahan, penindakan cepat, dan tidak begitu memikirkan pengembangan kasus terorisme yang sedang ditangani.

Oleh karena itu dalam melaksanakan operasi antiteror seperti yang pernah dilakukan Kopassus saat membebaskan sandera pesawat Garuda Indonesia ‘Woyla’ di Thailand (1981), perintahnya jelas.
Perintahnya yaitu habisi teroris bersenjata dan selamatkan sandera dengan cara apa pun.
Baca: Penampakan Genangan Air dan Lubang Jalan yang Bikin Truk Terguling di Jujuhan, Patah As
Baca: Lulus CPNS Namun Pilih Mengundurkan Diri, Ternyata Ini Alasan Guru dan Dokter Ahli di Jambi
Baca: Jadwal Liga Champions Malam Ini, Liverpool Vs Bayern Munchen dan Lyon Vs Barcelona Babak 16 Besar
Baca: Arumi Bachsin Keguguran, Emil Dardak Sebutkan Gejala Ini Pada Istrinya
Tidak ada perintah menangkap teroris hidup-hidup untuk kepentingan penyelidikan atau pengusutan lebih lanjut.
Sedangkan pasukan khusus antiteror Polri cenderung bertindak ketika ada kejadian dan saat melakukan tindakan selalu diupayakan menangkap teroris hidup-hidup demi kepentingan pengembangan kasus.
Maka dengan doktrin dalam operasi antiteror yang berbeda itu, penanganan yang dilakukan oleh pasukan khusus polisi jika dipandang dari sisi militer terkesan terlalu lama dan ‘bertele-tele’.
Aparat kepolisian seperti anggota Densus 88 yang memiliki kesan menyeramkan, tugas utamanya memang untuk menegakkan hukum dan setelah tersangka menjalani hukumannya, ia bisa kembali ke kehidupan normal.

Oleh karena itu dalam operasi antiterornya anggota Densus 88 juga harus melakukan tindakan secara ‘tegas dan terukur’ seperti polisi pada umumnya.
Jika teroris sudah menyerah, ya ditangkap. Jika teroris melawan dengan senjata, ya dilawan dengan senjata.
Tapi sesungguhnya pasukan antiteror TNI juga bertugas menegakkan hukum negara, terutama hukum kedaulatan NKRI dari ancaman bangsa lain termasuk teroris bersenjata.
Namun karena sifat operasional pasukan khusus TNI yang memiliki watak ‘tegas dan menghancurkan ’ serta ‘pukul dulu urusan belakangan’ terkesan ‘mengerikan’, membuat parlemen RI untuk mengesahkan revisi UU penanggulangan terorisme yang melibatkan TNI malah jadi ragu-ragu.
Padahal berdasar fakta ancaman terorisme di Indonesia membutuhkan kerja sama semua pihak dan bukan hanya tugas aparat kepolisian saja.
Baca: Pascapemblokiran Jalan karena Tak Terima Putusan Pengadilan, Begini Aktivitas Warga Seleman Kerinci
Baca: Bakal Ada Media Center di Kodim Sarko, Gelar Coffe Morning Bersama Insan Pers
Baca: Ferdinand Hutahaean Beberkan Kericuhan Saat Debat Pilpres 2019 Jokowi vs Prabowo Subianto
Baca: UPDATE Aktivitas Gunung Merapi, Terjadi 4 Kali Gempa Hari Ini, Awan Panas dan 1 Kali Guguran Lava
- Kronologi Pembebasan Sandera pesawat Garuda Indonesia ‘Woyla’ di Thailand (1981)