Dampak Kebijakan Imigran yang Misahkan Anak-anak dari Orangtuanya: 'Stres Beracun'

Para dokter telah lama mengetahui bahwa pemisahan keluarga serta kejadian traumatis lainnya dapat membahayakan kesejahteraan mental anak-anak.

Editor: Teguh Suprayitno
national geographic
Anak-anak imigran di pusat penahanan di McAllen, Texas. 

TRIBUNJAMBI.COM - Para dokter telah lama mengetahui bahwa pemisahan keluarga serta kejadian traumatis lainnya dapat membahayakan kesejahteraan mental anak-anak.

Penelitian terbaru menjelaskan bagaimana hal itu bisa terjadi: kesulitan penyesuaian di awal dapat menyebabkan perubahan di otak dan ‘stres beracun’ – mengakibatkan masalah fisik dan mental dalam jangka panjang.

Kebijakan imigrasi ‘tanpa toleransi’ yang dikeluarkan oleh pemerintahan Donald Trump telah memisahkan 2.300 anak dari orangtuanya. Pemerintah AS lalu mengirim anak-anak ini ke rumah penampungan dan panti asuhan di seluruh negeri.

Beberapa ahli khawatir, kebijakan tersebut dapat memengaruhi kesehatan anak-anak imigran. Mengapa begitu?

Baca: Besuk Kiamat, Inisiatif Pemkot Surakarta Percepat Dokumen Kematian

Respons stres

Stres merupakan respons normal terhadap situasi yang menantang atau mengancam. Ini memicu tubuh mengaktifkan mode fight or flight. Hormon dan senyawa stres yang dikeluarkan akan meningkatkan denyut jantung, tekanan darah, kesigapan, dan level energi.

Ketika ‘ancaman’ terjadi – sebagai hasil dari perang, kemiskinan, bencana alam, dan kekerasan – sistem stres akan terus aktif. Memicu kecemasan, gangguan perilaku, sakit perut, kurang tidur, dan gejala fisik lainnya.

Di sini lah, peran keluarga amat penting. Menurut peneliti, kontak dengan orangtua yang penuh kasih, dapat membantu anak-anak mengatasi stres sehingga itu tidak menyebabkan masalah jangka panjang.

Apa itu ‘stres beracun’?

Para ilmuwan yakin, stres menerus pada anak – terutama ketika tidak ada orangtua yang membantu mereka mengatasinya – dapat membuat hormon stres semakin ‘membara’.

Jika dibiarkan, ini akan memengaruhi fisik mereka. Meningkatkan risiko penyakit jantung, diabetes, dan masalah kesehatan lainnya.

Beberapa penelitian juga menyatakan bahwa stres berkelanjutan akan mengubah struktur otak di wilayah yang memengaruhi emosi dan mengatur perilaku kita. 

Baca: Koin Iblis, Ilmu Hitam Hingga Tipuan Arkeologi yang Rumit

Charles Nelson, ahli saraf dari Harvard University, mengatakan, anak-anak di bawah tiga tahun dengan  perkembangan otak yang sangat pesat adalah yang paling berisiko terhadap ‘stres beracun’ ini.

Bagaimana dengan anak-anak imigran?

Anak-anak dari Amerika Tengah yang tiba dengan keluarga mereka di perbatasan AS, sudah mengalami trauma saat meninggalkan rumah. Dan mereka harus mendapat trauma tambahan lagi dari perjalanan yang sulit menuju utara.

Halaman
12
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved