Ki Hajar Dewantara Kritik Sistem Pendidikan Barat

Beberapa waktu yang lalu istri saya sedang ngobrol di salah satu grup media sosial, salah satu temannya

Editor: rida
Ki Hadjar Dewantara (kiri) dan saat bersama dengan tokoh pergerakan Indonesia lainnya yang tergabung dalam tiga serangkai yakni Ernest Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. (idi.wikipedia.org) 

TRIBUNJAMBI.COM- Beberapa waktu yang lalu istri saya sedang ngobrol di salah satu grup media sosial, salah satu temannya saat diskusi mempromosikan “sekolah Montessori”.

Mungkin kita sudah sama-sama tahu, banyak sekali PAUD, TK, ataupun SD yang berlabel “Montessori”.

Montessori diambil dari nama seorang ahli pendidikan dari seorang ahli pendidikan Italia bernama Dr. Maria Tecla Artemisia Montessori (1870-1952).

Dia yang mengembangkan metode pendidikan sesuai namanya, metode Montessori.

Menurut teman istri saya, Ki Hajar saja muridnya Montessori.

Apakah benar demikian?

Pada 1922, Soewardi Soerjaningrat resmi banting setir dari aktivis politik menjadi aktivis pendidikan dan kemudian mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara.

Soewardi sendiri mulai tertarik dan belajar mengenai sistem pendidikan kolonial ketika dibuang ke negeri Belanda pada 1913.

Ketika di Belanda dia memperoleh ijazah guru dan mengambil bagian dalam suatu diskusi pada Kongres Pendidikan Kolonial, disana pertama kali dia mengusulkan pendidikan nasional bagi orang-orang Indonesia.

Setelah kembali ke Hindia Belanda pada 1919, sebagai pengelola majalah Persatuan Hindia, dan sebagai sekretaris National Indische Partij (NIP), versi baru dari Indische Partij masih menulis artikel-artikel politik yang radikal dan provokatif menyerang pemerintah.

Karena nggak kapok-kapok, akhirnya Soewardi di tangkap lagi, dipenjarakan plus dihukum kerja paksa pada 1920, bukan hanya itu NIP juga dilarang dan dibubarkan ada 1922.

Pada tahun yang sama Soewardi, atau sekarang Ki Hajar dibebaskan dan mendirikan Sekolah Taman Siswa.

Mungkin dia melihat bahwa perlawanan non-kooperatif yang frontal di bawah represi Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg Stirum, yang kemudian diganti oleh Dirk Fock pada 1921 tidak terlalu efektif, dan dia mencari cara perlawanan yang lain, yaitu melalui pendidikan.

Sejak didirikan, Sekolah Taman Siswa menolak keras uang bantuan pemerintah, sehingga tidak bisa dengan mudah disetir oleh pemerintah.

Sejak itu artikel-artikelnya yang tersebar di berbagai media mulai menyoroti masalah pendidikan.

Halaman
123
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved