Sajian Menu Tongseng Anjing Kenapa Sangat Laku di Yogyakarta? Saat Ditelusuri ini Penyebabnya

Konon jika seseorang mengkonsumsi sengsu akan mendapatkan tambahan stamina sehingga siap bekerja keras kembali.

Editor: Andreas Eko Prasetyo
warung penjual sengsu di Yogya 

TRIBUNJAMBI.COM - Sejumlah penambang pasir di Sungai Progo, Sleman Yogyakarta,  harus bekerja keras  seharian untuk menghasilkan uang sekitar Rp100.000 sehari.

Apalagi jika Sungai Progo yang di masa Perang Diponegoro (1825-1830) pernah digunakan untuk sarana pertahanan terakhir di sebelah barat Yogyakarta itu sedang banjir.

Para penambang pasir tradisional harus masuk ke air, lalu membongkar batu-batuan untuk kemudian mengambil pasirnya menggunakan sekop pendek yang dinamai senggrong.

Pasir yang dikumpulkan di pinggiran sungai lalu diangkut truk untuk  kemudian dibawa kepada para pengepul pasir.

Demi menopang stamina tubuh yang harus bekerja keras seharian itu, para penambang pasir lokal ternyata biasa mengkomsumsi menu berupa ‘jamu’ yang memiliki nama khas ‘sengsu’.

Kosa kata menu  ‘sengsu’ memang sudah akrab di telinga masyarakat Yogyakarta  baik bagi mereka yang suka mengkonsumsinya maupun yang tidak sama sekali.

Kata ‘sengsu’ berarti ‘tongseng asu’ atau arti harafiahnya dalam Bahasa Indonesia adalah masakan daging anjing yang dimasak seperti rica-rica.

Konon jika seseorang mengkonsumsi sengsu akan mendapatkan tambahan stamina sehingga siap bekerja keras kembali.

Demi menyamarkan kata sengsu yang di telinga warga Yogyakarta terkesan kasar,  para penjual sengsu yang para pelanggannya rata-rata harus antre kerap memberi nama menu dagangannya sebagai ‘mendo prucul’.

Baca: Suara Keras dan Goncangan, Belum Setahun, Proyek Irigasi di Pungut Hilir Puluhan Meter Ambruk

Arti mendo prucul yang merupakan bahasa Jawa halus adalah ‘kambing yang bisa cepat berlari’. Jika diasosiakan terhadap jenis binatang yang dimaksud adalah anjing itu sendiri.

Tapi dalam gurauan khas Yogyakarta, anjing juga sering disebut sebagai ‘wedus balap’ mengacu kepada anjing yang jika sedang lari ‘bisa ngebut seperti motor balap’.

Namun ada juga penjual yang menggunakan nama yang  mungkin dimaksudkan lucu dan agar menarik konsumennya, yakni dengan nama ‘sate guguk’ atau malah tongseng ‘scooby doo’.

Sejauh pengamatan penulis menu sengsu di Yogyakarta masih mudah ditemui dan biasanya dijual di warung tenda perempatan jalan, pinggir persawahan berupa bangunan  rumah dari anyaman bambu, pinggiran desa yang ditumbuhi pepohonan rimbun, dan tempat ‘remang-remang’ lainnya.

Ciri khas warung penjual sengsu adalah dijual saat petang tiba dan untuk pencahayaan sekaligus  ‘penanda’ sebagai penjual sengsu, penjualnya sengaja menggunakan penerangan lampu minyak.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved