Penculikan Anak

Fakta Orang Rimba Jambi, di Balik Tudingan Penampungan Penculikan Bilqis Anak Makassar

Antropolog dari Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Robert Aritonang, memaparkan fakta tentang Suku Anak Dalam di Jambi

Penulis: asto s | Editor: asto s
Tribun Jambi
SUKU ANAK DALAM - Antropolog dari Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Robert Aritonang (kiri) saat bersama Jurnalis Tribun Jambi (kanan) di kantor KKI Warsi, Selasa (12/11/2025). KKI Warsi merupakan lembaga yang concern dalam isu konservasi lingkungan dan komunitas adat, termasuk di antaranya Suku Anak Dalam. 

Orang Rimba memiliki mobilitas tinggi. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain sambil membawa seluruh keluarga dan perlengkapan hidupnya.

Sedangkan Batin Sembilan dan Talang Mamak, biasanya berpindah untuk mencari sumber penghidupan, tetapi memiliki pangkalan tetap, semacam dusun di dalam hutan.

Tribun Jambi:
Apakah pola hidup berpindah itu masih dijalankan hingga sekarang?

Robert Aritonang:
Masih, meskipun semakin sulit. 

Dalam budaya mereka dikenal istilah melangun, yaitu berpindah tempat setiap kali ada anggota kelompok yang meninggal. 

Mereka meninggalkan lokasi itu karena dianggap tabu untuk tinggal di tempat kematian.

Selain itu, ada juga merayau, yaitu berpindah karena alasan ekonomi. Misalnya saat musim buah jernang atau mencari satwa tertentu. 

Namun kondisi ini dulu bisa dilakukan karena hutan masih luas. 

Sekarang, ketika hutan sudah banyak berubah menjadi perkebunan, cara hidup seperti itu makin sulit.

Tribun Jambi:
Berapa jumlah populasi Orang Rimba saat ini dan di mana mereka tersebar?

Robert Aritonang:
Populasi mereka sekitar 5.500 jiwa yang tersebar di lima kabupaten, yaitu Batanghari, Sarolangun, Merangin, Tebo, dan Bungo. 

Sekitar 40 persen masih hidup di kawasan hutan, sementara 60 persen lainnya sudah tidak berhutan dan tinggal di sekitar perkebunan atau permukiman.

Tribun Jambi:
Termasuk kelompok (Sikar) yang disebut-sebut dalam kasus (penculikan anak Bilqis Ramadhany) di Merangin itu?

Robert Aritonang:
Ya, betul. Kelompok Sikar itu dulunya hidup di hutan, tetapi kini tinggal di sekitar areal perkebunan sawit PT SAL, hanya sekitar 500 meter dari pabrik. 

Dulu, wilayah itu adalah hutan, pada tahun 1980-an, namun kini sudah menjadi kawasan perkebunan.

Sumber: Tribun Jambi
Halaman 2/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved