Berita Viral

Rekam Jejak Soeharto Dibongkar Putri Gus Dur, Sebut Gelar Pahlawan Prematur, Banyak PR Belum Selesai

Sehari setelah penobatan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden RI kedua, Soeharto, perdebatan di ruang publik masih terus bergulir.

Penulis: Tommy Kurniawan | Editor: Tommy Kurniawan
ist
Rekam Jejak Soeharto Dibongkar Putri Gus Dur, Sebut Gelar Pahlawan Prematur, Banyak PR Belum Selesai 

TRIBUNJAMBI.COM – Sehari setelah penobatan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden RI kedua, Soeharto, perdebatan di ruang publik masih terus bergulir.

Kali ini, respons datang dari aktivis kemanusiaan sekaligus Direktur Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Qotrunnada Wahid. Putri sulung Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu secara terbuka mengkritisi pemberian gelar tersebut.

Sebagaimana diketahui, keputusan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto memunculkan pro-kontra di berbagai kalangan masyarakat.

Lantas bagaimana pandangan Alissa?

Gelar Dinilai Prematur

Ya, Alissa Wahid menegaskan bahwa gelar yang diberikan kepada Soeharto masih terlalu prematur, mengingat masih banyak “pekerjaan rumah” (PR) sejarah yang belum diselesaikan.

Ia menuturkan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional semestinya merujuk pada tiga kriteria fundamental yang bahkan termaktub dalam undang-undang.

Baca juga: Roy Suryo Cs Tersangka, PSI Minta Stop Tuduh Jokowi Kriminalisasi Hukum: Punya Hak Dilindungi

Baca juga: Modus, Motif Hingga Ancaman Hukuman Sindikat Penculik Bilqis di Makassar Dijual Rp80 Juta ke Jambi

Hal itu disampaikan Alissa Wahid ketika diwawancarai Tribunnews pada Senin (10/11/2025).

“Tiga hal mendasar seseorang dihargai sebagai pahlawan: pertama integritas moral, kedua kesediaan mengorbankan diri demi memperjuangkan integritas moral itu, dan ketiga perjuangannya untuk kepentingan rakyat banyak,” ujar Alissa.

Menurutnya, berdasarkan tiga kriteria tersebut, rekam jejak kepemimpinan Soeharto masih menyisakan banyak pertanyaan.

“Dari tiga hal itu, menurut kami masih banyak PR terkait Presiden Soeharto. Selama PR itu belum dibereskan, maka kita belum bisa menyebut beliau pahlawan nasional, karena ada banyak pihak yang menjadi korban kebijakan-kebijakan yang diambil Presiden Soeharto,” tegasnya.

Soal KKR yang Tak Pernah Dituntaskan

Alissa juga mengingatkan bahwa pada era Presiden BJ Habibie sempat digagas pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Komisi ini bahkan pernah dikirim ke Afrika Selatan untuk mempelajari model KKR yang dibentuk Nelson Mandela pasca-apartheid.

Menurut Alissa, model rekonsiliasi ala Mandela menekankan proses pengadilan dan pengakuan para pelaku pelanggaran HAM, sehingga para korban bisa mengakhiri luka sejarah dengan layak.

“Ketika kebenaran sudah muncul, keluarga korban diminta memaafkan. Itu yang membuat fase sejarah itu selesai,” paparnya.

Namun Alissa menyayangkan KKR di Indonesia justru terhenti pada masa pemerintahan Presiden Megawati.

“Ketika proses pengungkapan tidak ada, sementara catatan-catatan korban masih banyak, luka-luka lama itu belum pulih dan menjadi meradang. Itu PR bangsa yang belum selesai,” ujarnya.

Menurutnya, sebelum memberikan gelar Pahlawan Nasional, negara seharusnya menyelesaikan dulu proses klarifikasi sejarah dan menghadirkan keadilan bagi para korban.

“Itu yang harus diklarifikasi dulu,” pungkas Alissa.

Gus Mus Turut Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto

Penolakan terhadap gelar tersebut juga datang dari KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus.

Mustasyar PBNU itu menegaskan bahwa dirinya tidak setuju jika Soeharto diberi gelar Pahlawan Nasional.

“Saya ini orang yang paling tidak setuju kalau Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional,” tegas Gus Mus, dikutip dari NU Online.

Alasannya, banyak kiai dan warga Nahdlatul Ulama (NU) yang mengalami intimidasi dan perlakuan tidak adil selama masa Orde Baru.

“Banyak kiai dimasukkan sumur, papan nama NU tidak boleh dipasang, malah yang memasang dirobohkan bupati. Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri, keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar,” ujarnya.

Ia juga mengingat bagaimana Kiai Sahal Mahfudh disambangi pengurus Golkar Jawa Tengah yang memintanya menjadi penasihat partai, namun ditolak.

Menurut Gus Mus, masih banyak pejuang bangsa yang jasanya besar, tetapi keluarganya tidak pernah meminta gelar pahlawan agar amal mereka tidak ternodai riya.

“Banyak kiai yang dulu berjuang, tapi keluarganya enggak ingin mengajukan gelar. Supaya amalnya tidak berkurang di mata Allah,” katanya.

Gus Mus juga menyebut bila masih ada warga NU yang mendukung gelar ini, itu menunjukkan ketidaktahuan terhadap sejarah kelam Orde Baru.

“Orang NU kalau ada yang ikut-ikutan mengusulkan berarti tidak ngerti sejarah,” tegasnya.

Pengingat Pelengseran Soeharto: KKN Merajalela

M Praswad Nugraha, mantan penyidik senior KPK, juga mengingatkan bahwa pelengseran Soeharto pada 1998 terjadi akibat maraknya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Menurut Praswad, pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada sosok yang dilengserkan karena isu korupsi adalah ironi besar.

“Dari sudut pandang kampanye anti-korupsi, pemberian gelar ini sangat problematis,” katanya, Senin (10/11/2025).

Ia menilai tindakan ini menciptakan preseden buruk, terutama ketika Soeharto disandingkan dengan tokoh antikorupsi seperti Mohammad Hatta.

“Ini berbahaya karena bisa jadi preseden bahwa tak masalah terlibat skandal, selama punya kekuasaan maka skandal itu seakan terhapus,” jelasnya.

Praswad juga menyebut pemerintah seharusnya membaca gelombang penolakan publik yang selama ini muncul dan tidak mengambil kebijakan kontroversial hanya demi menyenangkan presiden.

Kritik dari IM57+ Institute: Pengaburan Sejarah Korupsi

IM57+ Institute, organisasi yang beranggotakan mantan pegawai KPK, menilai bahwa pemberian gelar ini merupakan bentuk pengaburan sejarah.

Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, menilai keputusan pemerintah sangat ironis karena pada saat yang sama negara masih berupaya memulihkan aset hasil kejahatan Soeharto.

“Di satu sisi aset kejahatan Soeharto sedang dipulihkan, di sisi lain statusnya justru ditegaskan sebagai pahlawan,” kata Lakso.

Ia memperingatkan bahwa gelar ini bisa menimbulkan konsekuensi hukum, termasuk soal apakah penelusuran aset Soeharto nantinya akan dianggap sebagai tindakan penistaan terhadap seorang pahlawan.

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved