Advertorial

Menyetop Kecemasan Matematika, Orang Tua Jadi Sahabat Anak Belajar 

Tiga langkah dari program OTSAB berikut bisa dimulai dan diadopsi orang tua terlepas dari latar belakang berbeda. Strategi ini tidaklah rumit

Penulis: Tommy Kurniawan | Editor: Tommy Kurniawan
ist
Menyetop Kecemasan Matematika, Orang Tua Jadi Sahabat Anak Belajar  

Penulis: Theo Lubis, Field Technical Unit Coordinator – Tanoto Foundation

TRIBUNJAMBI.COM - Ketika jam belajar, seorang ibu merasa iba saat melihat anaknya bermuka cemberut dan menggerutu kebingungan.

Rupanya si bocah tengah kesusahan mengerjakan pekerjaan rumah (PR) matematika. Ibu itu pun langsung bergegas menghampiri si buah hati.

“Aduh, soal-soal ini memang susah sekali. Mama juga dulu benci,” ujarnya sambil menghela napas.

Karena tak tega, ibu itu pun langsung “membantu” si anak. Semua soal matematika itu turut dia kerjakan dan langsung terjawab.

Si anak pun tersenyum dan sang ibu merasa lega. Adegan yang seakan menunjukkan kasih sayang seorang ibu pada anaknya itu ternyata punya makna lain. Dampaknya pun panjang.

Sejak pertama kali dirilis pada 2021 hingga 2024, Rapor Pendidikan yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah selalu menunjukkan tren kenaikan positif.

Secara rata-rata untuk tahun 2024, lebih dari 66,34 persen untuk kemampuan minimum di numerasi.

Namun angka ini sungguh berbeda jauh dengan temuan Programme for International Student Assessment (PISA), sebuah penilaian internasional tiga tahunan terhadap kemampuan literasi, numerasi, dan sains siswa 15 tahun.

Hasil PISA 2022 menunjukkan bahwa “hanya” 23?ri siswa Indonesia yang mencapai level kompetensi dasar matematika. Angka ini hampir sepertiga dari capaian numerasi Rapor Pendidikan.

Secara keseluruhan, Indonesia berada di peringkat ke-70 dari 81 negara di survei PISA.

Kesenjangan angka tersebut menimbulkan pertanyaan: apakah “bantuan” kita sebagai orang tua ke anak turut berdampak pada kemampuan dasar mereka, khususnya pada aspek numerasi?

Jawabannya mungkin tersembunyi dalam sebuah fenomena psikologis yang agaknya menjadi “gunung es” seperti digambarkan dalam adegan seorang ibu yang membantu PR matematika anaknya tersebut.

Bahaya kecemasan matematika

Fenomena itu kerap disebut math anxiety atau kecemasan matematika. Bukan sekadar rasa tidak suka,  math anxiety menurut Richardson dan Suinn adalah perasaan tegang dan cemas yang mengganggu pemecahan masalah matematika dan menjadi respons emosional nyata yang mampu melumpuhkan kognisi hingga menyabotase kinerja otak kita.

Studi lain menemukan bahwa bagi individu dengan kecemasan matematika tinggi, sekadar mengantisipasi tugas matematika sudah cukup untuk mengaktifkan jaringan di otak yang terkait dengan respons terhadap rasa sakit fisik.

Singkatnya, math anxiety bisa berkembang menjadi fobia dan dapat menular. Artinya, saat orang tua merasakan kecemasan pada pelajaran tertentu, ia menularkan ketakutan itu pada sang anak.

Penularan antar generasi ini berlangsung tanpa niat jahat orang tua, persis seperti yang dilakukan si ibu ketika membantu anak mengerjakan PR soal matematika.

 Studi oleh Sian Beilock dan timnya menyimpulkan, ketika orang tua yang cemas matematika sering membantu anak mengerjakan tugas, anak-anak ini justru belajar lebih sedikit.

Alhasil, seperti diungkap jurnal Psychological Science, ketika orang tua mengalami kecemasan matematika dan teralu sering membantu anak dalam mengerjakan PR mereka, maka prestasi anak mereka justru menurun. Niat baik yang kita lakukan tanpa disadari justru bisa menjadi bumerang.

Namun angka-angka rendah di PISA yang turut disumbang kecemasan orang tua itu bukanlah sebuah takdir. Ia adalah sebuah undangan untuk turun tangan memperbaiki numerasi dan kemampuan pembelajaran lain anak-anak kita.

Kita sesungguhnya tak perlu cemas pada math anxiety atau kecemasan-kecemasan lain yang mengancam pembelajaran anak.

Sejumlah solusi telah ditawarkan, bahkan melalui metode sederhana tetapi terbukti efektif. Salah satunya adalah inisiatif program Orang Tua Sahabat Anak Belajar (OTSAB) yang digagas oleh Tanoto Foundation.

Belajar dari penerapannya pada masa krisis pandemi Covid-19, OTSAB  dijalankan sebagai laporan evaluasi independen terhadap pembelajaran anak. Seperti namanya, peran orang tua adalah sahabat sekaligus fasilitator yang memberikan kepercayaan diri pada anak untuk belajar.

Dengan begitu, intervensi orang tua yang berhasil bukanlah ceramah, melainkan dukungan praktis. Bukan juga bantuan langsung, melainkan mengondisikan anak untuk belajar dengan baik dan meraih hasil terbaik.

Orang tua menjadi sahabat belajar anak

Tiga langkah dari program OTSAB berikut bisa dimulai dan diadopsi orang tua terlepas dari latar belakang berbeda. Strategi ini tidaklah rumit dan bisa diterapkan kapan saja.

Hal yang dibutuhkan hanya kemauan orang tua untuk belajar dan menerapkan model yang telah terbukti.

Pertama, mengubah narasi dari “bakat” ke “usaha”. Langkah ini untuk memberi semangat pada anak bahwa yang diperlukan untuk memahami pembelajaran bukanlah bakat, sesuatu yang sudah ada dari bawaan lahir, melainkan berkat usaha atau kerja keras anak dalam belajar.

Orang tua juga dapat memberi ucapan seperti, "Papa suka sekali caramu tidak menyerah dan terus mencoba berbagai strategi!" dengan begitu, orang tua memberi apresiasi atas kerja keras atau proses belajar anak, tidak semata-mata melihat hasil atau nilai.

Kedua, orang tua mesti bisa menjadi “mitra bertualang, bukan polisi jawaban”. Alih-alih langsung memberi jawaban saat membantu mengerjakan PR, orang tua bisa mulai bertanya,

"Menurutmu, apa langkah pertama yang bisa kita coba?" ibarat rekan perjalanan, orang tua menjadi teman atau pendamping dalam proses pembelajaran. Strategi ini juga membuka ruang diskusi lebih luas.

Selanjutnya, orang tua dapat menjadikan pembelajaran secara lebih asyik dengan menemukan dan merayakan matematika di dunia nyata. Tunjukkan bahwa numerasi bukan soal di buku, tetapi alat untuk memahami dunia.

Mulai buka obrolan seputar topik jumlah dan harga buah di pasar, jumlah dan warna kendaraan  yang melintas di jalan dalam 10 menit dan berbagai studi sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Orang tua dapat menemukan “soal matematika” dari kehidupan sehari-hari dan cara ini sangat ampuh supaya anak tak mengalami math anxiety.

Sesuai evaluasi OTSAB, hasil program ini terukur. Terdapat peningkatan signifikan hingga 10 % , yakni dari 58 % menjadi 68?lam pemahaman orang tua bahwa setiap anak memerlukan cara pendampingan belajar yang unik.

Sebagai ilustrasi, setelah mengikuti OTSAB, seorang ibu dari Banyumas , Jawa Tengah, baru menyadari bahwa anaknya memiliki gaya belajar dengan pendekatan visual.

Ia kemudian membelikan spidol warna-warni untuk mendukung kreativitas anaknya dalam belajar. Laporan program tersebut juga menemukan bahwa orang tua dengan model pengasuhan disiplin dan membimbing cenderung mendapat manfaat paling optimal.

Meskipun pada awalnya OTSAB lebih fokus ke kemampuan literasi, prinsip dan filosofi  program ini selaras dengan filosofi Gerakan Numerasi Nasional (GNN). OTSAB dinilai mampu mendorong semangat belajar anak melalui metode yang efektif.

Metode ini mengubah interaksi yang terasa mengintimidasi menjadi percakapan santai. Pendekatan ini membuktikan orang tua mampu terlibat dan berperan signifikan dalam pembelajaran anak tanpa menularkan kecemasan-kecemasannya.

Menyetop kecemasan orang tua terhadap pembelajaran matematika atau pelajaran lain tampak sederhana, tetapi dampaknya besar karena memberi sumbangsih penting pada masa depan pendidikan Indonesia.  

Sebab setiap kali orang tua memilih mengubah rasa frustrasi menjadi napas kesabaran serta ucapan motivasi saat pembelajaran, dari sana seorang anak melangkah percaya diri dalam belajar dan meraih hasil terbaiknya.

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved