TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Seorang pengusaha asal Tebo, Provinsi Jambi, bernama Dwi Hartono sedang menjadi pembicaraan.
Dia ditangkap Polda Metro Jaya karena diduga menjadi inisiator pembunuhan Kepala Cabang Perwakilan BRI Cempaka Putih, Jakarta Pusat, bernama Muhammad Ilham Pradipta.
Sebelum ditangkap atas kasusnya pembunuhan, sekira empat tahun lalu, 2021, Dwi Hartono sempat diwawancara Reporter Tribun Jambi.
Saat itu, sedang heboh bahwa Dwi Hartono membeli helikopter dan sedang membangun helipad di daerah asalnya, Desa Tirta Kencana (Sekarang bernama Desa Mekar Kencana), Kecamatan Rimbo Bujang, Kabupaten Tebo.
Beberapa fakta pun terungkap dari pengakuannya.
Berikut ini petikan wawancara eksklusif Tribunjambi.com dengan Dwi Hartono pada 2021:
Benarkah Mas Dwi Hartono membeli helikopter? Jarang-jarang ada pengusaha dari Jambi membeli helikopter. Bagaimana ceritanya?
Sebenarnya kemarin sudah indent (pesan), sudah mengurus perizinan dan segala macam.
Jadi, nanti setelah helipad yang di Rimbo Bujang unit 6 sudah siap, saya akan berkunjung ke kampung berikutnya biar bisa mendarat di Rimbo Bujang.
Lokasinya tepat di depan rumah orang tua, seluas dua hektare.
Mudah-mudahan teman-teman yang ada di Rimbo Bujang unit 6 bisa membebaskan lahannya.
Ngomong-ngomong, berapa uang yang dikeluarkan untuk membeli helikopter?
Relatif, Mas.
Jadi begini, saya itu berawal dari mimpi. Orang ketika punya mimpi harus bisa mengikhtiarkan diri.
Mimpi itu diikhtiarkan minimal di depan istri, anak, orang tua, dan keluarga besar.
Syukur-syukur kalau sudah berani di hadapan masyarakat luas.
Harapannya, dengan kita punya mimpi yang kita ikrarkan, alam semesta akan mendukung.
Teman-teman yang positif energinya akan mendukung untuk mendoakan kita, begitu.
Kemudian, mimpi yang kita ikhtiarkan itu juga kita potong menjadi kecil-kecil, Mas.
Potong kecil menjadi sebuah rencana yang terukur dan sistematis.
Dengan begitu, kemudian kita menjadi termotivasi, Mas.
Puji Tuhan alhamdulillah, hari ini setiap mimpi yang saya tulis, mimpi yang saya ikhtiarkan, selalu diberikan oleh Tuhan, Mas.
Ini juga yang sering saya sharing (bagikan) dengan teman-teman di sana. Kita tidak boleh membatasi diri. Kita tidak boleh salah memiliki mindset.
Pikiran seperti "saya tidak mampu", "saya bodoh", "saya bukan siapa-siapa", atau "saya tidak punya modal" itu harus disingkirkan dari pikiran kita, Mas.
Seharusnya diganti dengan optimisme: "Saya punya banyak kelebihan", "saya punya semangat yang bisa melakukan hal".
Seharusnya, punya mimpi apa pun alam semesta harus mendukung, Mas.
Kemudian, peluang dan potensi akhirnya akan mendekat. Apalagi kita potong kecil-kecil dan disusun dengan cara yang sistematis, Mas.
Akhirnya, bukan suatu hal yang sulit untuk kita wujudkan, begitu kira-kira, Mas.
Ini Heli City, ya, Mas?
Heli City itu vendor (penyedia jasa) penyewaan helikopter.
Kami ingin test flight (uji terbang) dan belajar untuk mengerti helikopter itu seperti apa, termasuk kita bisa terbang dengan sekian menit.
Kurang lebih kita ingin punya mobil lah, Mas.
Kalau kita ingin punya Pajero atau Alphard, minimal harus mengecek dulu, test drive dulu.
Kalau tidak, kita kurang PD (percaya diri), Mas.
Tipe apa, Mas, helikopternya?
Ini tipe Bell berapa gitu, ya, Mas.
Saya googling (cari di Google) harganya Rp20 miliar lebih, Mas?
Sekitar 20 miliar, Mas. Tadi kalau Mas tanya harganya berapa, ya relatif.
Kita mau tipe yang seperti apa, mau jenisnya seperti apa, mau seat-nya (kursinya) berapa.
Yang jelas, harga 10 M juga ada, 20 M juga ada, 100 miliar juga ada, Mas, tergantung tipe.
Tadi Mas Dwi cerita tentang helipad, ya. Apa rencana terkait mempersiapkan helipad di depan rumah orang tua, Mas?
Jadi begini, saya besar di sana, Mas.
Dari kecil orang tua saya awal mulanya transmigran (peserta transmigrasi) dari Malang, Jawa Tengah.
Sempat transmigrasi ke Palembang, di Lahat kalau tidak salah, di SP 4. Di kampung itu saya lahir di sana, Mas.
Sekitar 6 tahun, saya pindah ke Rimbo Bujang, Jambi.
Saya cukup berkesan lah. Walaupun SMP kelas 3 pindah lagi ke Jawa, Ambarawa.
Sekali lagi, Rimbo Bujang adalah tempat asal kita.
Cukup berkesan, meninggalkan banyak cerita. Bahkan orang tua, kakak kandung, serta ipar masih tinggal di Rimbo Bujang.
Ke depannya, harapannya ketika ada helipad di sana, akses kita lebih cepat, lebih mudah.
Nantinya kita turun ke sana langsung ke Rimbo Bujang, tidak setahun atau 2 tahun sekali, bisa jadi setiap bulan, Mas.
Dan harapannya saya bisa membuka lapangan pekerjaan di sana, begitu, Mas.
Kalau kita cuma turun setahun sekali, bagaimana mungkin kita punya cukup waktu yang panjang?
Dengan kunjungan yang lebih rutin, kita punya akses yang mudah.
Jadi, harapannya kalau ingin sewaktu-waktu turun, bisa turun di depan rumah orang tua.
Terakhir pulang ke Rimbo Bujang kapan, ya, Mas?
Kemarin bulan September, kebetulan adik menikah. Sekalian lah kita mencoba untuk pembebasan lahan untuk helipad itu.
Mas, kalau saya baca berita itu, sempat berada pada titik terbawah akhirnya bisa mencapai ke titik sekarang. Cerita ini bisa diceritain ke Tribunners, Mas, Tribun Jambi, sehingga bisa menyerap inspirasinya, Mas?
Jadi begini, Mas, sekitar tahun 2012, usaha saya sempat bangkrut dan meninggalkan utang miliaran.
Itu kalau boleh tahu, usahanya apa, ya, Mas?
Usahanya masih remeh-temeh (kecil), Mas. Game online, warnet, PS 2. Kemudian ada coffee shop, kemudian ada juga warteg.
Itu semua tidak terkontrol dan SDM (sumber daya manusia)-nya kurang. Kurang kita pantau, ada beberapa yang bermasalah dikarenakan dikorupsi dengan manajemen yang kurang.
Singkat cerita, akhirnya tutup.
Sampai kita punya utang macam-macam. Bahkan mobil pun tidak punya, rumah pun tidak punya, bahkan motor pun diambil sama leasing, Mas.
Sampai di titik terendah itu, kita ingin mengontrak rumah senilai 10 juta dalam satu tahun.
Saya minta uang sama bapak, orang tua saya ditolak, Mas.
Bapak waktu itu bilang begini: "Kamu katanya pintar dari kecil, kamu sekolahnya juara terus. Kenapa kamu sekarang tidak bisa survive (bertahan hidup)?
Buktikan sama papa kamu bisa maju dan berkembang. Mulai hari ini, papa tidak akan pernah bantu kamu, silakan mikir sendiri."
Itu sampai sekarang kalimat yang menjadi sebuah pecutan (cambuk), Mas.
Saat itu sudah berkeluarga, ya, Mas?
Sudah, Mas. Lagi kencang-kencangnya, anak itu butuh susu kaleng, Mas.
Karena yang masih kecil itu umurnya kurang lebih 6 bulan lah. Kemudian yang pertama kurang lebih 2 tahun lah.
Artinya Mas menyikapi dengan positif, ya?
Rasa sedih itu ada. Sempat kaget, sedih. Tetapi saya mengambil kesimpulan, orang tua ini sedang menggembleng saya.
Orang tua memberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang. Saya simpulkan seperti itu.
Saya dibeginikan (diperlakukan seperti itu). Bahasa orang Jawa sana, disapih dilepeh, tidak boleh nenen lagi, atau tidak boleh manja lagi dan bergantung sama orang tua.
Akhirnya, saya listing (mencatat) semua relasi.
Saya catat satu per satu saya punya teman siapa saja yang mungkin saya bisa manfaatkan dalam hal positif.
Singkat ceritanya, Mas, saya punya teman yang punya klinik kecantikan, Mas. Cuma satu cabang saat itu.
Saya minta tolong sama dia, "Bro, boleh enggak klinik kamu ini saya franchise-kan?"
Jadi begini, "Bro, jika ada orang yang ingin membuka klinik kecantikan tetapi dia tidak paham caranya, biar saya yang mengkonsepkan."
Padahal saya belum punya pengalaman men-franchise-kan, Mas.
Saya modal nekat saja, Mas.
Pada waktu itu, saya harus berpikir kreatif. "Kalau ada investor datang, kamu bilang bahwa klinik ini punya kita berdua, ya."
Kita ada MoU (nota kesepahaman) dulu, Mas.
Pada waktu itu, bukan niat untuk menipu, Mas.
Berbohong dalam hal positif saya pikir tidak jadi masalah, Mas.
Jika ada investor yang datang, sekian persen untuk saya, sekian persen untuk teman saya, Mas.
Jadi waktu itu teman Mas Dwi welcome, ya, dengan tawaran Mas?
Welcome, Mas. Karena dia tahu saya ini punya kelebihan, Mas.
Saya ini orang yang tidak punya malu. Saya punya skill (kemampuan) negosiasi, Mas.
Dan saya dikenalkan sebagai teman yang cukup kreatif melihat peluang. Makanya teman ini percaya sama saya, Mas.
Singkat cerita lah, Mas, saya dapat uang 2 miliar dari hasil profit klinik kecantikan tersebut.
Berapa banyak yang bekerja sama waktu itu, Mas?
Kurang lebih 22 cabang, Mas. Di Sumatra itu ada di Palembang.
Walaupun sekarang klinik tersebut sudah banyak yang bangkrut juga, tapi masih ada yang bertahan juga, Mas.
Itulah awalnya saya bangkit ketika saya tidak punya apa-apa, Mas.
Sering saya katakan kepada teman-teman saya di Rimbo Bujang, kalau ingin sukses, jangan batasi diri kita dengan siapa pun. Ubahlah mindset kita.
Jangan pernah mengatakan, "Saya tidak punya modal", "Saya tidak punya skill", "Saya tidak sekolah", "Saya tidak punya teman", "tidak punya jaringan". Itulah yang keliru, Mas.
Dari segi finansial, Mas Dwi sudah bebas, ya. Mas Dwi punya kampung halaman di Tebo. Apa punya niat untuk menjadi orang nomor satu di Tebo, Mas?
Ini pertanyaan yang sering dilontarkan ke saya, Mas. Bahkan ada juga yang mau bertemu saya di Jakarta untuk persoalan itu.
Sampai hari ini, saya belum tertarik untuk berpolitik, Mas.
Saya masih memaksimalkan diri saya, kapasitas diri, dan manfaat diri agar ke depannya bisa bermanfaat untuk orang banyak.
Saya masih asyik di dunia usaha, Mas. Untuk sekarang, saya masih fokus di dunia usaha, Mas. (Tribun Jambi/Sopianto)
Baca juga: Sosok Dwi Hartono versi Pak Kades, Pengusaha Tebo Jambi Otak Pembunuhan Kacab BRI Cempaka Putih
Baca juga: Pembunuhan Kacab Bank BUMN Diduga Terkait Kredit Fiktif Rp13M, Pengusaha Jambi Jadi Otaknya