Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) memang telah lewat. Tapi perbincangannya, utamanya di pusat kekuasaan masih terjadi. Penyebabnya apalagi kalau bukan karut marut PPDB, khususnya sistem zonasi.
Sistem zonasi diadakan sesungguhnya membawa ruh yang positif, yakni pemerataan kualitas pendidikan. Kita tahu, untuk waktu yang lama kita dicekoki, lebih tepatnya dikotomi, dengan sekolah unggul.
Maka kemudian yang terjadi adalah, guru-guru terbaik ditugaskan di sana. Perhatian pemerintah hingga swasta-swasta menggelontorkan CSR, program ke sekolah-sekolah unggul yang sejatinya suah berlimpah banyak fasilitas.
Keberadaan sekolah unggul tentu sejatinya positif. Tapi ketika terjadi ketimpangan kualitas antarsekolah, inilah yang jadi masalah.
Nah, mindset sekolah unggul inilah yang masih tertanam di banyak orang tua juga siswa. Parahnya, sekolah-sekolah yang kadung "berpredikat nonunggul" tak mampu pula memperlihatkan kualitasnya.
Maka kemudian yang terjadi adalah, semua tetap berlomba-lomba untuk masuk ke sekolah unggul. Sementara untuk masuk ke sana, ada jalur zonasi, prestasi dan afirmasi.
Di jalur sistem zonasi inilah banyak yang mencoba bermain. Yang jamak dilakukan adalah, mengubah kartu keluarga.
Baca juga: Seorang Kepala Sekolah Bernama Evif Menangis Lihat Ruangan, Tak Ada Siswa Baru Daftar PPDB
Baca juga: 4 Sekolah di Kota Jambi Merger Gara-gara Kekurangan Siswa Pada PPDB 2023
Sudah jadi rahasia umum, banyak orang tua yang kemudian menitipkan anaknya kepada keluarga atau orang yang secara domisili dekat dengan lokasi sekolah yang jadi incaran.
Walhasil, ada pula yang rumahnya secara zonasi masuk, justru tak diterima.
Pekerjaan rumah pemerintah adalah membenahi kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan harus merata. Bukan hanya secara wilayah, tapi juga tiap-tiap sekolah.
Guru-guru berkualitas jangan hanya ditempatkan di sekolah-sekolah yang kadung dilabeli unggul.
Pemerintah harus mulai menimbang plus minus PPDB kali ini dan benar-benar menjadikan perhatian. Sembari itu, yang tak kalah penting bagaimana agar kualitas pendidikan tidak terpusat di satu sekolah saja. (*)