VIDEO Akademisi Universitas Jambi, Dr Tedjo Sukmono: Hampir Semua Jenis Ikan Ada di Jambi

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TRIBUNJAMBI.COM - Diberkati wilayah yang terdiri dari dataran rendah hingga dataran tinggi, Provinsi Jambi memiliki beragam jenis ikan. Akademisi Universitas Jambi, Dr Tedjo Sukmono memaparkan iktiologi yang ada di Jambi berdasarkan pengalaman dan penelitian yang pernah dilakukan dalam wawancara bersama Tribun Jambi, yang dapat dibaca dalam petikan-petikan berikut.

Tribun: Berdasarkan pengalaman meriset iktiofauna, kondisi terkininya seperti apa?

Tedjo: Kita harus bangga Indonesia kaya ikan air tawar. Berdasarkan data yang ada, lebih dari 900 ikan air tawar hidup di berbagai tempat, ada yang di perairan gambut, danau, dan ada juga yang di sungai, termasuk di muara sungai yang mendekati laut.
Data tentang ikan ini hanya sedikit yang bisa mengakses, karena kita hanya menghafal ikan yang kita konsumsi. Banyak ikan yang belum populer di kalangan masyarakat.

Tribun: Apa yang mesti kita lakukan untuk menyelamatkan iktiofauna ini?

Tedjo: Ada konsep "ikan lestari, masyarakat sejahtera". Dalam menangkap ikan kita perlu memperhatikan flora dan fauna, tidak menggunakan bahan peledak, tidak menggunakan bahan beracun, tidak menangkap lebih, dan tetap menjaga habitatnya.
Kendala kita adalah, tidak semua ikan di sungai ini bisa dikembangkan. Permasalahan lainnya adalah, sebelum dikembangkan kita perlu mendata ikan apa saja yang ada di sungai ini. Ini memang tidak mudah, karena kita harus keluar-masuk hutan, pedalaman yang banyak airnya tapi jarang orang masuk. Di sana potensi besar kita menemukan spesies baru, new record.
Saya pernah menemukan di Kalimantan, di Jambi tidak ada. Tapi ternyata setelah saya telusuri di Tebo ternyata ada. Misalnya, saya temukan ikan rasbora kalbarensis ditemukan di Kalbar, ternyata di Jambi ada--itu namanya new record. Saya yakin banyak sekali new record yang bisa kita temukan di sini, karena banyak sekali daerah yang belum kita eksplorasi.
Prinsipnya, di habitat yang berbeda terdapat jenis ikan yang berbeda.

Tribun: Dari 900 spesies ikan, paling banyak jenis ikan berada di wilayah mana?

Tedjo: Sebagian besar itu di Sunda Land, paparan Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Jawa, juga sebagian Sulawesi, karena spot ikan air tawar itu di sungai-sungai besar. Di Sumatera ada Sungai Musi, Sungai Batanghari, Sungai Siak, itu kan sungai-sungai besar.
Di Jambi unik, punya dataran tinggi dan dataran rendah, hampir semua jenis ikan itu ada. Di Jambi ada Danau Gunung Tujuh, itu tertinggi di Asia Tenggara. Di sana ada jenis rasbora. Ada Danau Kerinci juga banyak ikannya, di sana airnya bening dan deras, seperti ikan semah. Turun terus sampai ke Sungai Batanghari yang punya spot yang besar. Di sana bisa hidup giant fish, ikan-ikan yang bisa tumbuh besar, seperti ikan tapah yang bisa mencapai 80 kilogram.

Tribun: Ikan paling kecil ternyata juga ada di Jambi. Bisa Bapak jelaskan mengenai ikan tersebut?

Tedjo: Ikan terkecil di dunia ada di Jambi, pertama kali ditemukan orang luar, kemudian kita teliti memang ada. Itu kita sebut paedocypris progenetica. Habitatnya di seperti gambut, di air tenang. Tapi, ukuran kurang dari 0,8-1 sentimeter, ikan itu sudah bertelur. Artinya ikan itu sudah masuk usia dewasa. Orang menyebutnya smallest fish in the world.

Tribun: Bagaimana kondisi ikan air tawar dengan adanya pencemaran lingkungan yang ada di Jambi?

Tedjo: Itu tantangan terbesar. Kita tidak bisa menutup mata. Sebenarnya butuh data seri berdurasi tertentu. Contoh, saya meneliti ikan di Danau Kerinci, tahun 1995 ada 25 jenis, sekarang tinggal 12 jenis lagi. Itu bisa disamakan dengan ikan di Sungai Batanghari. Kalau dulu setiap banjir ada istilah ikan mudik, yang naik ke atas dan mudah ditangkap orang-orang. Sekarang kita bandingkan, masih banyak tidak ikan mudik? Dulu nelayan di sekitaran Sungai Batanghari itu mudah menangkap ikan, namun sekarang susah. Sayangnya data statistik yang berseri itu tidak ada.

Namun saya yakin dengan banyaknya penambangan emas, galian C, pengerusakan terhadap habitat, berpengaruh terhadap ikan di Batanghari.
Terakhir, tiga tahun lalu menyusur Sungai Batanghari, mendapatkan 70 spesies. Padahal tahun 1990, masih ada sekitar 280 spesies. Menyusut bukan berarti hilang semuanya, tapi bisa jadi kurang lama atau alat tangkapnya kurang lengkap.

Tribun: Selain pencemaran, apa yang menjadi faktor kualitas air tawar itu terus berkurang?

Tedjo: Di iktiologi (ilmu tentang ikan), ada beberapa komponen yang membuat ikan berkurang. Yang pertama adalah kerusakan habitat. Di situ ada intervensi kegiatan manusia, misalnya ada penambangan yang mengakibatkan kualitas air berubah yang berdampak pada ikan. Kedua penangkapan lebih, pada ikan-ikan yang punya nilai ekonomi tinggi. Contoh, tahun 1990, masih mudah ditemukan ikan arwana, ikan botia, karena overfishing, harganya tinggi, banyak diburu, sekarang bisa hilang.

Faktor lain adalah fragmentasi habitat. Tingkat kerusakan hutan di Jambi itu lumayan. Secara tidak langsung, sungai adalah indikator kesehatan hutan, karena ketika hutan itu gundul material tanah masuk ke sungai. Sungai akan dangkal dan melebar karena abrasi. Pendangkalan ini menyebabkan naiknya suhu air, dan menurunkan kadar oksigen, sehingga hanya beberapa spesies yang masih bertahan. Ada juga faktor menangkap dengan bahan peledak, setrum, dan racun.

Tribun: Kekayaan ikan tawar di Jambi belum banyak dieksplor, diangkat ke permukaan untuk kesejahteraan masyarakat. Bagaimana Bapak sebagai iktiolog melihat potensi ini dan mengomunikasikan kepada masyarakat dan pemangku kebijakan?

Tedjo: Di Jambi ada beberapa pedagang ikan hias alam. Mereka mengirim ke Jakarta, Bogor, bahkan Singapura. Sudah ada pedagangnya, bahkan sudah ada pekerja-pekerja yang mengumpulkan dari berbagai tempat. Tapi belum ada yang secara khusus menangkarkan ikan-ikan khas Jambi.

Misalnya, di lahan gambut ada sekitar 100 spesies ikan dan ada beberapa yang berpotensi sebagai ikan hias. Misalnya, gurami cokelat, seluang sri gunting dan jenis seluang lainnya, ikan tilan, yang sangat eksotik jadi ikan di akuarium. Di lahan gambut juga jadi habitat ikan toman, ikan betok, sampai ikan cupang.

Sekarang bagaimana bisa terkoneksi dengan pembeli. Tapi di Jambi ini terkenal dengan pemasok ikan hias alam, terutama ikan Sumatra, ikan botia, dan beberapa jenis udang.

Tribun: Bagaimana mengangkat potensi ikan air tawar ini untuk mengopimalkan wisata?

Tedjo: Ada konsep bussines tourism. Kalau di laut konsepnya bisa snorkeling atau diving, di danau dengan spot mancing. Kita bisa dengan cara membuat display ikan air tawar di sekitar geopark, dengan membuat habitat buatan dan membuat narasi.

Tribun: Perlu tidak aturan hukum yang mendukung konservasi di masyarakat?

Tedjo: Ini yang masih sering disalah kaprah. Ada dua istilah penebaran benih. Ada yang namanya introduksi, dan ada yang namanya restocking. Intorudksi, misalnya, bukan habitat ikan patin tapi dimasukkan ikan patin, itu banyak potensi gagalnya, juga bisa menjadi pesaing atau ancaman ikan-ikan di sana. Saran saya, jika hendak menebar benih, melihat dulu jenis ikan apa yang ada di sana, itu namanya restocking. Tingkat keberhasilannya lebih tinggi, ikan sudah adaptasi dengan kondisi habitatnya, makan alamnya sudah ada, dan ikan tidak menjadi kompetitor bagi ikan-ikan lain.

Ada juga namanya alliance spesies, memasukkan ikan yang belum ada di sungai itu, bisa didatangkan dengan sengaja atau datang tidak sengaja karena lepas. Misalnya, contoh kasus di Danau Kerinci yang banyak eceng gondok, dimasukkanlah ikan louhan gesper yang makan eceng gondok. Yang terjadi adalah, banyak ikan yang justru kehilangan habitat. Ternyata juga, ikan louhan ini tidak hanya makan eceng gondok, tapi juga makan 15 tanaman air yang lain, padahal itu sangat penting bagi ikan, selain feeding area (tempat mencari makan), tempat memijah, juga tempat memelihara larva. Ikan perlu tempat untuk melempar telurnya.

Tribun: Apa yang ingin Bapak sampaikan kepada pemerintah dengan bekal penelitian dan pengalaman yang ada?

Tedjo: Pemerintah di Provinsi Jambi sudah baik upaya konservasinya, karena dia konsentrasi ke lubuk larangan yang merupakan kearifan lokal yang dibina oleh dinas atau instansi terkait, dan itu adalah spot ikan kita. Memang secara langsung pemanfaatannya berkala, tidak bisa dipancing tiap hari, tapi itu sebagai salah satu suaka perikanan yang sangat bagus.

Dalam ilmu pengetahuan, kita tidak bisa berdiri sendiri, harus terkoneksi dengan bidang-bidang yang lain. Sebenarnya potensi ikan kita sangat besar, tapi yang bisa dikembangkan masih sangat besar. Ini PR besar bagi instansi terkait agar bisa dikembangkan. Misalnya, ikan gabus, ikan toman, itu belum bisa dipijahkan, tapi kalau lihat di sungai anak-anaknya banyak. Ada sesuatu yang belum pas, itulah tantangannya bagaimana kita bisa mengangkat ikan di Jambi ke internasional.

Tribun: Demi masa depan keragaman ikan air tawar di Indonesia dan di Jambi, apa yang mesti diperhatikan?

Tedjo: Ikan lestari, masyarakat sejahtera. Itu kuncinya. Untuk sumber daya ikan tetap terjaga, maka kita harus melakukan penangkapan dengan terbatas, tidak merusak habitat, dan harus menggunakan penangkapan yang ramah lingkungan.

https://www.youtube.com/watch?v=7rTEKiBRnO0

Berita Terkini