Wawancara Eksklusif Tribun Jambi

Transkrip Lengkap Pandangan Walhi Jambi Atas UU Cipta Kerja: Proses Tertutup & Isu Kerusakan LH

Penulis: Mareza Sutan AJ
Editor: Nani Rachmaini
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi. Suasana unjuk rasa tolak RUU Cipta Kerja Omnibus Law yang dilangsungkan di simpang tiga Gejayan Yogyakarta, Senin (9/3/2020).

Pandangan Walhi Jambi terhadap Pengesahan RUU Cipta Kerja, Proses yang Dilalui Tidak Melibatkan Partisipasi Publik

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Pengesahan RUU Cipta Lapangan Kerja atau juga dikenal dengan Omnibus Law pada Senin (5/10/2020) lalu memantik reaksi dari berbagai kalangan.

Tidak terkecuali bagi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).

Di Jambi, Walhi ikut turun dan tergabung dalam kelompok masyarakat lainnya dalam menyuarakan penolakan terhadap RUU Cilaka ini.

Direktur Eksekutif Walhi Jambi, Rudiansyah menilai, Omnibus Law akan memberi dampak negatif di sektor lingkungan.

Berikut petikan wawancara Tribun bersama Rudiansyah pada Kamis (8/10/2020).

Tribun: Walhi lantang bersuara menolak UU Omnibus Law Cipta Kerja, memang ada apa dengan UU ini dalam kaitannya dengan lingkungan?

Rudiansyah, Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi (TRIBUNJAMBI/MAREZA SUTAN)

Rudiansyah: Satu di antara konteks yang tidak terpisahkan dari RUU Cipta Kerja ini adalah isu lingkungan hidup.

Kita menggarisbawahi bahwa, isu lingkungan hidup, itu sebenarnya isu yang sangat krusial di dalam perlindungan dan kepastian hak-hak warga negara Indonesia untuk mendapatkan sumber-sumber kehidupan yang layak, sehat, dan pasti.

Begitu juga dengan sumber kehidupan makhluk hidup lainnya.

Tetapi di dalam undang-undang Cipta Kerja ini, jelas menghilangkan semangat menjaga lingkungan hidup itu.

Tribun: Apakah pasal pertanggungjawaban mutlak perusahaan dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup semakin diredupkan?

Bagaimana Walhi menanggapi hal ini?

Rudiansyah: Ya, misalnya, di dalam undang-undang Cipta Kerja ini, secara tegas menghapus izin lingkungan sebagai syarat mutlak penerbitan izin usaha.

Ini berarti permasalahan konteks terhadap situasi sumber daya di Indonesia itu mengalami situasi yang sangat mengkhawatirkan.

Pertanggungjawaban mutlak (strict liability) korporasi, apa bila melakukan terjadi kerusakan lingkungan, itu ditiadakan.

Ini yang harus menjadi perhatian bersama bahwa, ruang-ruang untuk kita memastikan kondisi lingkungan hidup mau pun partisipasi publik juga dihilangkan.

Tribun: Apakah strict liability yang dihilangkan akan menjadi masalah dalam upaya pemeliharaan lingkungan?

Rudiansyah: Menurut kami, ini mencederai hati nurani rakyat. Ini fase pengkhiatan negara terhadap rakyat Indonesia.

Karena apa? Dalam situasi lingkungan hidup yang sudah kritis ini, upaya pemeliharaan lingkungan semakin dipersulit.

Tribun: Sebelum adanya omnibus law, bagaimana pertanggungjawaban perusahaan terhadap lingkungannya?

Rudiansyah: Merujuk UU 32 2009, itu tegas, apabila terjadinya kerusakan lingkungan hidup dalam satu kawasan, atau yang sudah diberikan izin, secara otomatis perisahaan itu harus bertanggung jawab, baik perdata mau pin pidana.

Namun pada kenyataannya, dengan aturan yang tegas saja, masih banyak perusahaan tidak melakukan pertanggungjawaban terhadap lingkungannya, apa lagi ini sekarang semakin dilonggarkan.

Tribun: Dengan aturan yang dilonggarkan, apakah ada potensi eksploitasi sumber daya alam yang besar-besaran?

Rudiansyah: Sudah pasti. Jika rancangan undang-undang ini disahkan, ruang-ruang investasi akan masuk, ruang-ruang deforestasi terbuka lebar.

Kerusakan lingkungan itu pasti akan makin tinggi.

Bahkan kriminalisasi terhadap petani juga sangat tinggi.

Tribun: Bagaimana potensi kerusakan lingkungan di kawasan gambut?

Dengan adanya Omnibus Law, bagaimana baik masyarakat pemerintah, mau pun pemilik kewenangan menjaga kawasan gambut tersebut?

Rudiansyah: Sebelum RUU Cipta Kerja disahkan, kita bisa melihat, masih sedikit perusahaan yang mampu menjaga kawasan gambut.

Hampir setiap tahun kebakaran hutan terjadi.

Padahal, dalam Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang sektor Kehutanan, setiap provinsi harus menyisakan kawasan hutan minimal 30 persen.

Sekarang itu dihapuskan.

Artinya, ruang untuk berekspansi atau mengeksploitasi itu akan terbuka lebar. Situasi gambut dalam kondisi sangat kritis.

Dalam catatan Walhi, baik berdasarkan pengolahan data spasial mau pun nonspasial, Jambi ini situasi gambutnya, dari total sekitar 700.000 hektare, 70 persen itu sudah mengalami situasi yang kritis.

Karena apa? Alih fungsinya sangat besar.

Situasi gambut sekarang saja sulit dipulihkan, karena yang diberi wewenang terhadap gambut ini tidak menjalankan fungsinya dengan baik.

Dengan adanya UU Omnibus Law ini, upaya menjaga keutuhan gambutnya menjadi kendor lagi, karena upaya hukum terkait tanggung jawab mutlak itu dikaburkan.

Tribun: Analisis dampak lingkungan (Amdal) juga banyak dibahas dan jadi perhatian.

Seperti apa dalam UU Cipta Kerja ini? Kalau dulu tanpa amdal maka tidak keluar izin lingkungan.

Rudiansyah: Dalam UU PPLH, proses menerbitkan izin usaha itu, harus melakukan pembuatan izin lingkungan.

Komponen dalam izin lingkunhan itu, salah satunya amdal.

Di dalam RUU Cipta Kerja, Amdal itu ditiadakan.

Hanya ada konteks persetujuan lingkungan.

Dengan adanya amdal saja selama ini tidak maksimal dalam proses pemeliharaan lingkungan, apa lagi persetujuan lingkungan saja.

Tribun: Sejauh ini, apa ada catatan Walhi terkait permasalahan terkait Amdal, sebelum pengesahan RUU Cipta Kerja?

Rudiansyah: Kami mencatat dari sisi bencana ekologisnya. Dari catatan Walhi, setiap tahun permasalahan dari segi ekologis ini terus meningkat 10-15 persen.

Kalau kita lihat, proses awal perusahaan mendapatkan izin dari pemerintah itu tidak dilakukan dengan baik.

Misalnya, usaha apa yang mereka lakukan, dampak apa yang terjadi di masyarakat, termasuk benefit apa yang akan diterima masyarakat.

Sehingga, dampak yang terjadi, Jambi mengalami bencana ekologis.

Tribun: Di Jambi, bencana ekologis yang paling sering terjadi apa saja?

Rudiansyah: Yang setiap tahun terjadi itu karhutla. Artinya, polusi udara di Jambi, itu berdampak pada kesehatan masyarakat.

Kualitas lingkungan hidup, air itu menjadi masalah masyarakat. Kebanyakan itu terjadi di wilayah gambut.

Selain itu, kualitas lingkungan yang tidak baik akibat alih fungsi kawasan dan aktivitas ilegal yang tidak memiliki korelasi dengan upaya pemeliharaan lingkungan juga menjadi problem bagi masyarakat di kawasan lain.

Sehingga, bencana ekologis yang disebabkan kerusakan lingkungam terus terjadi, baik itu banjir, longsor, mau pun kebakaran hutan dan lahan.

Tribun: Apakah aktivitas ilegal akan semakin marak terjadi?

Rudiansyah: Yang kami khawatirkan, justru aktivitas yang sebelumnya ilegal, justru memperoleh izin.

Alasannya, karena dengan adanya omnibus law, proses perizinan dipermudah.

Tribun: Kondisi tutupan hutan di Provinsi Jambi terus berkurang.

Apakah UU Cipta Kerja akan mempercepat rencana pembukaan sejumlah jalan, termasuk di kawasan taman nasional, sehingga mengurangi tutupan hutan?

Rudiansyah: Batasan 30 persen dalam undang-undang nomor 41 tahun 1999 jelas ada, namun dalam omnibus law ini tidak ada lagi.

Yang menjadi celakanya di sini.

Artinya, upaya mempertahankan fungsi hutan sebelumnya, kini tidak ada lagi.

Bisa saja taman nasional dialihfungsikan, walaupun persyaratan di taman nasional cukup tinggi.

Tribun: Bagaimana gejolak yang terjadi di internal Walhi atas keluarnya UU Ciptaker ini?

Bagaimana penolakan yang dilakukan semasa RUU, dan apa rencana selanjutnya?

Rudiansyah: Sikap Walhi secara organisasi dari 28 provinsi dan satu Walhi Nasional, sepakat menolak.

Kami mengecam pengesahan RUU Cipta Kerja ini, karena proses pengesahan merupakan proses yang inkonsistusional dan tidak demokratis, karena proses yang dilalui tidak pernah melibatkan partisipasi publik.

Padahal, konstitusi mengatakan, setiap undang-undang yang dibuat harus bermanfaat untuk kepentingan rakyat.

Tribun: Analisis Walhi, siapa yang paling diuntungkan dalam RUU Cipta Kerja ini?
Rudiansyah: Jelas, ini karpet merah bagi invetasi.

Yang paling diuntungkan di sini adalah para investor, karena syarat-syarat ketat di dalam aspek lingkungan hidup, aspek partisipasi publik, diturunkan kualitasnya.

Bahkan, ada beberapa pasal itu dikaburkan dan dihilangkan seakan-akan investor tidak memiliki hambatan lagi dalam melakukan usaha.

(Tribunjambi.com/ Mareza Sutan A J)

Berita Terkini