Ternyata, banyak orang belum mengetahui bahwa saat Ahok BTP keluar penjara nanti, masih bisa terkena kasus lain.
TRIBUNJAMBI.COM - Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok BTP akan bebas pada 24 Januari 2019. Sederet agenda telah menunggu setelah dia berada di luar penjara.
Ahok BTP telah mendapat undangan menjadi pembicara di luar negeri, hadir di acara-acara televisi, dan banyak lagi. Bahkan mantan Gubernur DKI Jakarta itu kabarnya telah dilirik partai politik.
Saat ini, BTP menjalani masa hukuman dalam kasus penodaan agama. Dia berada di Rutan Mako Brimob.
Ternyata, banyak orang belum mengetahui bahwa saat Ahok BTP keluar penjara nanti, masih bisa 'terkena' kasus lain.
Melansir dari artikel Wartakotalive berjudul "Usai Bebas Ahok Masih Bisa Diproses Hukum Kasus Pembelian Lahan, Ini Analisa Hukumnya", Ahok masih bisa dijerat kasus pembelian lahan RS Sumber Waras.
Kasus ini pernah mencuat saat BTP masih menjabat.
Baca Juga:
Cathy Sharon Pakai Pakaian Dalam Dijual di Prostitusi Online, Kakak Julie Estelle Lapor Polisi
Secara Mengejutkan Bintang Film Dewasa Cantik Ini Bertobat, Ternyata Hanya Lantaran Hal Ini
Gunung Agung Erupsi Akibatkan Hujan Abu di Bali, Kejadian Sekitar 4 Menit, Ini Daerah yang Kena
Rahasia di Balik Kekuatan Super Kopassus, Ular Kobra jadi Mainan lalu Minum Darahnya
Ibu dan Anak Berjibaku Adu Kuat dengan Ular Piton, Teriak-teriak Minta Tolong ke Warga
Baca: Bagaimana Cara Kerja Prostitusi Online Artis? Mucikari ES Buka-bukaan Seleb yang Tawarkan Diri
Bahkan Ahok BTP pernah diperiksa KPK akibat kasus itu walau akhirnya KPK tak melanjutkan kasus itu karena dianggap tak ada tindak pidana dalam kasus tersebut.
Mari kita lihat kronologi pembelian lahan RS Sumber Waras :
1. Pada 14 November 2013, PT Ciputra Karya Utama melakukan ikatan jual beli lahan dengan Yayasan Kesehatan Sumber Waras. Saat itu, nilai jual objek pajak (NJOP) sebesar Rp 12,195 juta.
Sumber Waras menjual lahan seluas 36.441 meter persegi di atas NJOP yakni sebesar Rp 15,500 juta meter persegi atau setara dengan Rp 564 miliar.
Ciputra menyetujui harga tersebut dan membayar Rp 50 miliar sebagai down payment. Namun hingga 3 Maret 2014, Ciputra tak juga bisa memenuhi syarat kontrak yakni membangun kawasan apartemen yang direncanakannya.
2. Sekitar Mei 2014, tersiar kabar Pemprov DKI berencana membeli sebagian lahan Sumber Waras. Direktur Utama RS Sumber Waras Abraham Tedjanegara segera menemui Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok untuk membicarakan rencana pembelian lahan tersebut.
Setelah disepakati bersama, pada 17 Desember 2014, terjadi penandatangan kontrak antara Pemprov DKI dengan Yayasan Sumber Waras.
NJOP lahan tersebut pada tahun 2014 sebesar Rp 20,755 juta.
Pemprov DKI membeli lahan seluas 36,441 meter persegi dengan harga NJOP tanpa penambahan atau setara dengan Rp 755 miliar. Namun, pembayaran tidak segera dilakukan karena terkendala proses administratif.
Baru pada 31 Desember 2014, Pemprov DKI melakukan transaksi pembayaran melalui Bank DKI sekitar pukul 19.00.
Pihak RS Sumber Waras mengatakan tidak ada pemberitahuan oleh Pemprov DKI terkait transfer yang dilakukan.
Pembayaraan diketahui sudah lunas ketika pihak RS Sumber Waras memeriksa jumlah saldo pada 5 Januari 2015.
Gunung Agung Erupsi Akibatkan Hujan Abu di Bali, Kejadian Sekitar 4 Menit, Ini Daerah yang Kena
Ramalan Kesehatan & Karir Zodiak Jumat 11 Januari 2019 - Zodiak Ini Waspada Kesehatan Virgo Ambisius
Kronologi Rutan Solo Ricuh, Massa Gedor Mobil Tahanan yang Diparkir di Depan Rutan
3. Pemprov DKI Jakarta melunasi pembayaran lahan Sumber Waras karena Pada 9 Desember 2014, secara resmi terjadi pembatalan kontrak antara RS Sumber Waras dengan Ciputra.
Kontrak itu batal karena Ciputra tidak bisa memenuhi persyaratan yang ada. Pada tanggal tersebut juga dikembalikan DP sebesar Rp 50 miliar yang sebelumnya diberikan oleh Ciputra.
4. Dalam perjanjian tersebut, RS Sumber Waras harus mengosongkan lahan seluas 36.441 meter yang sudah dibeli Pemprov DKI. RS Sumber Waras harus mengosongkan lahan dua tahun setelah pembayaran diterima atau pada 31 Desember 2017.
5. Lahan seluas 36.441 meter persegi, sebelumnya digunakan oleh RS Sumber Waras sebagai poliklinik, ruang perawatan, klinik spesialis, ICU, ICCU, Apotek, Akademi Keperawatan , dan asrama.
Lalu bagaimanakah peran Ahok dalam pembelian lahan RS Sumber Waras? Inilah selengkapnya dikutip dari kompas.com :
- Pada 12 Mei 2014, Basuki yang masih menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur itu pertama kali menyampaikan niatnya membangun RS khusus kanker dan jantung kepada media.
Saat itu, Basuki ingin membangun rumah sakit untuk membantu RS Kanker Dharmais dan Harapan Kita yang pasiennya membeludak.
Bahkan, saat itu, Pemerintah Provinsi DKI mengaku telah mempersiapkan anggaran sebesar Rp 1,5 triliun untuk pembelian lahan RS Sumber Waras.
Rencananya, lahan RS Sumber Waras akan dibeli melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2014.
Pembangunan RS itu juga dilakukan untuk mengubah rencana komersialisasi lahan yang dilakukan oleh PT Ciputra Karya Utama.
Perusahaan itu ingin mengubah peruntukan lahan RS Sumber Waras menjadi mal.
- Pada 16 Juni 2014, pihak RS Sumber Waras menyatakan lahan tersebut tidak dijual karena sudah terikat kerja sama dengan PT Ciputra Karya Utama.
- Juni 2014, Dinas Kesehatan DKI merekomendasi Basuki untuk tidak membangun RS di lahan RS Sumber Waras. Adapun lahan yang sebenarnya disediakan berada di Jalan Kesehatan, Jakarta Pusat, bersebelahan dengan Kantor Dinas Kesehatan dan di Jalan Sunter Permai Raya, Jakarta Utara, yang kini menjadi lokasi Gedung Ambulance Gawat Darurat.
Sedianya, lahan di Jalan Kesehatan untuk RS jantung dan di Jalan Sunter Permai Raya untuk RS kanker. Surat tersebut menyebut, lahan RS Sumber Waras tidak dijual.
- Pada 27 Juni 2014, pihak RS Sumber Waras bersurat kepada Pemprov DKI dan menyatakan bersedia menjual lahan tersebut.
Mereka pun memasang harga nilai jual obyek pajak (NJOP) sekitar Rp 20 juta untuk lahan tersebut. NJOP tersebut sama dengan sebagian lahan milik RS Sumber Waras lainnya yang dikelola oleh Yayasan Sumber Waras yang memiliki akses ke Jalan Kyai Tapa.
Sementara itu, lahan yang ditawarkan kepada Pemprov DKI berada di bagian belakang dekat Jalan Tomang Utara, Jakarta Barat.
- Pada 7 Juli 2014, pihak RS Sumber Waras kembali bersurat kepada Pemprov DKI.
- Pada 8 Juli 2014, Basuki mendisposisikan surat tersebut kepada Andi Baso Mappapoleonro yang saat itu menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DKI untuk mempersiapkan anggaran senilai Rp 20 juta tanpa proses negosiasi.
- Pada 14 November 2014, Dinas Kesehatan DKI mengeluarkan kajian terhadap lahan RS Sumber Waras.
Hasil kajiannya, lahan RS Sumber Waras memenuhi beberapa syarat kelaikan, yakni tanahnya siap pakai, bebas banjir, akses jalan besar, jangkauan luas, dan luas lahan yang lebih dari 2.500 meter persegi.
- Pada 10 Desember 2014, Pemprov DKI resmi menunjuk lokasi pembelian lahan.
- Pada 11 Desember 2014, pihak Yayasan Kesehatan Sumber Waras membatalkan perjanjian dengan PT Ciputra Karya Utama. Kemudian, mereka beralih kerja sama dengan Pemprov DKI.
- Pada 15 Desember 2014, Bendahara Umum Pemprov DKI mentransfer uang senilai Rp 800 miliar ke Dinas Kesehatan DKI Jakarta untuk membeli lahan tersebut.
- Pada 30 Desember 2014, Dinas Kesehatan DKI membayar lahan kepada RS Sumber Waras dalam bentuk cek.
- Pada 31 Desember 2014, cek tersebut pun dicairkan oleh pihak RS Sumber Waras.
- Pada 6 Juli 2015, di dalam sidang paripurna, BPK melaporkan laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK terhadap laporan keuangan Pemprov DKI tahun anggaran 2014.
Pemprov DKI mendapat opini wajar dengan pengecualian (WDP) terhadap laporan keuangan tahun 2014. BPK mendapatkan 70 temuan dalam laporan keuangan daerah senilai Rp 2,16 triliun.
Temuan itu terdiri dari program yang berindikasi kerugian daerah senilai Rp 442 miliar dan berpotensi merugikan daerah sebanyak Rp 1,71 triliun.
Lalu, kekurangan penerimaan daerah senilai Rp 3,23 miliar, belanja administrasi sebanyak Rp 469 juta, dan pemborosan senilai Rp 3,04 miliar.
BPK lantas menyoroti beberapa temuan yang wajib menjadi perhatian Pemprov DKI.
Salah satunya pengadaan tanah RS Sumber Waras di Jakarta Barat yang tidak melewati proses pengadaan memadai.
Indikasi kerugiannya sebesar Rp 191 miliar.
BPK juga menilai lahan tersebut tidak memenuhi lima syarat yang dikeluarkan Dinas Kesehatan DKI.
BPK menilai lahan itu tidak siap bangun karena banyak bangunan merupakan daerah banjir dan tidak ada jalan besar.
Menurut BPK, lahan yang dibeli Pemprov DKI NJOP-nya sekitar Rp 7 juta. Namun, kenyataannya DKI malah membayar NJOP sebesar Rp 20 juta.
Hal ini dinilai BPK merupakan NJOP tanah di bagian depan, yang masih menjadi milik pihak Rumah Sakit Sumber Waras.
- Pada 10 September 2015, Basuki mengakui awal niat Pemprov DKI membeli lahan RS Sumber Waras karena ada sejumlah pekerja RS tersebut yang berdemo di depan Balai Kota.
Mereka mengadu karena hendak di-PHK dan RS akan diubah menjadi mal. Basuki geram dan berencana membeli lahan tersebut.
Saat itu, Basuki belum bertemu pihak RS Sumber Waras, tetapi pemberitaan sudah menyebutkan Pemprov DKI membeli lahan RS Sumber Waras.
- Pada 16 September 2015, Basuki mengungkapkan alasan pembelian lahan RS Sumber Waras ketika paripurna penyampaian pandangan fraksi atas laporan pertanggungjawaban (LPJ) APBD 2014.
Basuki menjelaskan, pengadaan RS Sumber Waras itu merupakan kesepakatan bersama antara eksekutif dan legislatif pada Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) 2014.
Dalam pelaksanaan program itu, Basuki menjelaskan, Pemprov DKI melakukan pengadaan lahan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 beserta turunannya dengan nilai harga tanah sesuai NJOP tahun 2014.
Nilai transaksi sudah termasuk nilai bangunan dan seluruh biaya administrasi, atau dengan kata lain Pemprov DKI tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan lainnya.
Penetapan NJOP berdasarkan zonasi sebagai satu hamparan tanah (satu nomor obyek pajak menghadap Jalan Kyai Tapa) yang ditetapkan sejak tahun 1994 sesuai database yang diserahkan oleh Kementerian Keuangan Cq Dirjen Pajak.
Adapun total pembelian lahan yang dikeluarkan oleh Pemprov DKI Jakarta sesuai dengan NJOP, yakni Rp 755 miliar, dengan berbagai keuntungan karena tidak harus membayar biaya ada administrasi lainnya.
Selain itu, bukti formal sertifikat hak guna bangunan (HGB) atas lahan tersebut menyatakan alamat Jalan Kyai Tapa. Sesuai dengan hasil appraisal, nilai pasar lahan tersebut per 15 November 2014 Rp 904 miliar. Artinya, kata Basuki, nilai pembelian Pemprov DKI Jakarta jauh di bawah harga pasar.
- Pada 28 Oktober 2015, Basuki menyampaikan perpanjangan waktu audit investigasi kasus pembelian lahan RS Sumber Waras oleh BPK.
Perpanjangan waktu audit itu merupakan permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari 60 hari ditambah 20 hari, menjadi total waktu audit investigasi selama 80 hari.
- Pada 23 November 2015, BPK memeriksa Basuki selama sembilan jam.
Basuki yang selama ini kerap bersuara lantang dan mempertanyakan kredibilitas BPK justru mendapat banyak pelajaran.
Kini, Basuki mengakui sistem penganggaran Pemprov DKI yang buruk. Ia menyerahkan kasus tersebut kepada BPK dan KPK.
Tak Ada Pidana
Namun terkait kasus itu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan tidak menemukan adanya tindak pidana korupsi dalam kasus pembelian lahan milik Rumah Sakit (RS) Sumber Waras, Jakarta Barat, oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Bahkan dilansir kompas.com bahwa Ahok berujar terima kasih dan menganggap KPK telah bekerja secara professional.
Dalam temuan BPK kasus Sumber Waras dinilai Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tidak berdasar karena terpatok dengan nilai jual obyek pajak (NJOP) 2013.
Sedangkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membeli lahan pada 2014. Dokumen pelepasan hak lahan dari Yayasan Kesehatan Sumber Waras ditandatangani pada 17 Desember 2014.
Hal ini lah yang menjadi polemik soal audit pembelian lahan RS Sumber Waras antara BPK dengan Ahok kian memanas.
Bahkan Ahok menyebut audit BPK ngaco hingga akhirnya menyebabkan kedua belah pihak saling serang dengan argumen masing-masing.
"Penyidik kami tidak menemukan perbuatan melawan hukum," kata Ketua KPK Agus Rahardjo.
Empat pimpinan KPK lainnya ikut hadir dalam rapat dengan Komisi III DPR kemarin. Antara lain, Alexander Marwata, Saut Situmorang, Laode Muhammad Syarif, dan Basaria Panjaitan.
Agus menjelaskan, pihaknya sudah mengundang ahli untuk memberikan keterangan seputar kasus tersebut.
Di antaranya ahli dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia.
"Mereka menyandingkan temuan-temuan," kata Agus.
Tanggapan-tanggapan
Berikut tanggapan sejumlah pihak terkait hasil penyelidikan KPK bahwa tidak ditemukan adanya tindak pidana korupsi dalam pembelian sebagian lahan RS Sumber Waras.
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Febri Hendri:
KPK sudah benar bahwa tidak ada perbuatan melawan hukum atau indikasi korupsi dalam pembelian lahan Sumber Waras.
Mungkin ada sedikit pelanggaran prosedur dalam pembelian lahan Sumber Waras. Namun hal tersebut belum bersifat administratif dan bukan pidana.
Kerugian Negara juga tidak terjadi karena didasarkan pada NJOP tahun transaksi
Pakar Hukum Tatanegara, Irmanputra Sidin:
KPK sudah tepat, kalau tidak ditemukan unsur pidana yang esensi dari sebuah pengelolaan negara yang menimbulkan kerugian negara.
Yusril Ihza Mahendra:
Saya tidak bisa menilai, biarkan serahkan kepada KPK. Kalau saya mengomentari enggak enak saya. Karena kita kan sama-sama berniat maju ke Pilgub DKI.
Saya menahan dirilah untuk komentar seperti itu.
Politikus PDI Perjuangan, Junimart Girsang:
Saya tidak percaya bahwa KPK mengatakan tidak perlu hasil audit BPK. Ada informasi bahwa menurut KPK hasil audit BPK bukan merupakan bukti yang cukup.
Selama ini padahal ahli dari BPK dan BPKP.
Haji Lulung:
Doa saya selama ini terkabul berarti. Kalau Ahok tidak kena kasus Sumber Waras. Saya sudah yakin dari awal akan seperti ini. Tapi audit investigasi itu harus dibuka.
Bagaimana transaksinya, nomenklaturnya seperti apa? Tapi saya juga yakin publik sudah menduga akan seperti ini.
Ahok itu best of the best se-Indonesia. Didukung Pak Jokowi, didukung Golkar, sudah paling bagus lah dia.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah bisa kasus ini dilaporkan kembali ke aparat penegah hukum selai KPK?
Jawabannya Ahok masih sangat terbuka untuk dilaporkan kembali terkait kasus ini. Artinya kasus pembelian lahan RS Sumber Waras masih bisa dibuka kembali oleh aparat penegak hukum lain seperti Kejaksaan ataupun kepolisian.
Kenapa begitu? Hal itu lantaran kasus RS Sumber Waras belum pernah menjalani proses persidangan.
Artinya kasus pembelian lahan RS Sumber Waras tak dapat dikenakan asa Ne bis in idem.
Dikutip dari hukumonline.com, secara umum pengertian ne bis in idem menurut Hukumpedia adalah asas hukum yang melarang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan kalau sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya. Asas ne bis in idem ini berlaku secara umum untuk semua ranah hukum.
Dalam hukum pidana nasional di Indonesia, asas ne bis in idem ini dapat kita temui dalam Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yaitu seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang telah mendapat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Asas ne bis in idem ini berlaku dalam hal seseorang telah mendapat putusan bebas (vrijspraak), lepas (onstlag van alle rechtsvolging) atau pemidanaan (veroordeling) (lihat Pasal 75 ayat [2] KUHP).
Selain itu, dalam ranah hukum perdata, asas ne bis in idem ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1917Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (”KUHPerdata”), apabila putusan yang dijatuhkan pengadilan bersifat positif (menolak untuk mengabulkan), kemudian putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, maka dalam putusan melekat ne bis in idem. Oleh karena itu, terhadap kasus dan pihak yang sama, tidak boleh diajukan untuk kedua kalinya (dikutip dari buku “Hukum Acara Perdata”, M. Yahya Harahap, S.H., hal. 42)
Terkait dengan pengujian undang-undang, dapat juga kita temui dalam Pasal 60 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2011 yaitu Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusiditerapkan pula asas ne bis in idem yaitu terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
Pelaksanaan asas ne bis in idem ini ditegaskan pula dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang Berkaitan dengan Asas Nebis In Idem.
Dalam surat edaran tersebut Ketua Mahkamah Agung pada waktu itu, Bagir Manan, mengimbau para ketua pengadilan untuk dapat melaksanakan asas ne bis in idem dengan baik demi kepastian bagi pencari keadilan dengan menghindari adanya putusan yang berbeda.
Jadi, suatu gugatan atau tuntutan dapat dinyatakan ne bis in idem dalam hal telah ada putusan berkekuatan hukum tetap sebelumnya yang memutus perkara yang sama, dengan pihak yang sama, pada waktu dan tempat kejadian yang sama (tempus dan locus delicti-nya sama) dan putusan tersebut telah memberikan putusan bebas (vrijspraak), lepas (onstlag van alle rechtsvolging) atau pemidanaan (veroordeling) terhadap orang yang dituntut itu.
(Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul "Usai Bebas Ahok Masih Bisa Diproses Hukum Kasus Pembelian Lahan, Ini Analisa Hukumnya" Penulis: Theo Yonathan Simon Laturiuw)
IKUTI KAMI DI INSTAGRAM:
Sinyal Ahok Lari ke PDIP Menguat, Ini Daftar Rencana Besar yang Bakal Bungkam Lawan Politik
Ternyata Segini Biaya Sewa Jet Pribadi, Ustaz Arifin Ilham Berobat ke Malaysia Naik Pesawat Pribadi
Kumpulan Lowongan Kerja BUMN Pendaftaran Januari 2019 untuk SMA s/d S-1, Ini Link dan Syarat
Beredar Video Detik-detik Penggerebekan Oknum Dosen Ngamar dengan Mahasiswi Cantik Terekam Kamera
Pasukan Elite AS Angkat Tangan saat Disuruh Makan Durian, Kopassus Vs Green Berrets