TRIBUNJAMBI.COM - Baru setahun Qori (22) menikahi Baya (18). Pernikahan dua suku yang berbeda itu merupakan sebuah harmoni.
Qori tidak merasa banyak perubahan atau penolakan dari keluarga Baya yang merupakan anak perempuan dari Suku Anak Dalam atau Orang Rimba di Dusun Klukup, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Bungo.
Qori merasa diterima dengan tangan terbuka oleh rombongan Baya.
Baya sudah ikut masuk Islam bersama orang tuanya, karena itu Qori bisa menikahinya.
Qori mengatakan tidak ada upacara yang rumit.
Dia mengira-ngira rombongan Hari yang menjadi keluarga Baya sudah jarang menggunakan ritual pernikahan khas Orang Rimba.
“Biasa saja,” katanya.
Qori mengaku berasal dari Jawa dan ikut keluarganya bekerja di Bungo. Dia bekerja sebagai buruh bangunan.
Baca: Istri, Selingkuhan, Uang dan Kualat, Ahok Pernah Ungkapkan saat Wawancara
Baca: Ukuran Dada Cinta Laura Jadi Sasaran Komentar Hotman Paris, Dibalas Jawaban Santai
Baca: Tutorial Daftar Akun sscn.go.bkn.go.id, Cetak Kartu dan Foto CPNS 2018, Urutan Lengkap
Pada suatu ketika, dia punya pekerjaan di satu kawasan Kecamatan Pelepat. Bertemulah dia dengan Baya.
Mereka malu-malu bercengkerama satu sama lain.
Dalam suasana jatuh cinta mereka menikah.
Meskipun begitu, Qori tidak boleh membawa Baya ke luar pulau.
“Tidak boleh membawa anak mereka jauh-jauh. Nanti bisa dikucilkan. Kita juga harus tinggal dengan keluarganya,” kata Qori santai.
Qori juga berteman dengan rombongan Badai, rombongan Orang Rimba yang juga tinggal di lokasi itu.
Rombongan Badai lebih sering tinggal di hutan belakang perumahan di Dusun Klukup itu.
Rombongan Badai rata-rata menganut kepercayaan berdoa pada nenek moyang. Itu berbeda dengan rombongan Hari yang banyak memeluk Islam.
Pujiono selaku guru ngaji setempat, yang ditawari pemerintah untuk menjadi guru ngaji di perumahan itu, mengatakan dua rombongan saling menghormati.
“Menghormati pilihan masing-masing,” katanya.
“Orang tua mereka (rombongan Hari) ini kan banyak yang Islam. Tapi yang belum Islam yang sana (rombongan Badai). Istilahnya kamu-kamu dan aku-aku. Dak berani makso-makso (memaksa). Cuma istilahnya saling menghormati. Istilahnya aku menghormati kamu dan kamu menghormati kamu. Itu damai,” katanya.
Setiap maghrib mereka pun belajar mengaji di musala yang berukuran sekitar 7x6 meter, berbentuk persegi panjang dan berbahan asbes.
Beruntung tak seperti rumah asbes di kompleks itu pecah-pecah, musala ini masih terjaga.
Hanya musala dan rumah Pujiono, guru mengaji, yang diterangi lampu dari genset.
Mak Nur yang merupakan istri Tumenggung Hari mengatakan sudah empat tahun rombongannya banyak masuk Islam.
Sedangkan tinggal di perumahan SAD sudah tiga tahun.
Selama empat tahun itu mereka juga hidup berdampingan dengan rombongan Suku Anak Dalam atau orang Rimba rombongan lain.
Mak Nur mengatakan rombongan mereka ada 40 orang baik anak-anak, laki-laki dewasa dan perempuan dewasa.
Sedangkan rombongan Badai ada 20 orang. Rombongan Badai masih pindah-pindah, maksudnya kadang tinggal di rumah yang diberikan pemerintah.
Namun, tak jarang tidur di hutan belakang karena cuaca yang panas. Mereka memasang tenda untuk tidur di hutan.
Terkait agama rombongan Hari sudah banyak yang masuk Islam sebagian.
Sedangkan rombongan Badai belum ada. Namun, mereka tidak sibuk mengurusi agama satu dengan kepercayaan satunya.
Adanya tata hidup
Antropolog peneliti Orang Rimba di Jambi, Adi Prasetijo, mengatakan hal tersebut karena sinkretisme yang terjalin dalam tata hidup mereka.
Semua berawal dari tradisi agama lokal yang mereka bawa. Agama lokal atau animisme itu kebanyakan basisnya harmoni.
“Maksudnya harmoni dengan alam dan manusia. Bukan devoted seperti monoteis. Misalnya jika melakukan sesuatu harus izin spirit atau ruh-ruh leluhur supaya mengizinkan agar tidak diganggu. Intinya semua ada ruhnya dan harus dijaga keharmonisannya,” katanya, pada Senin (1/9).
Hal ini memandu Orang Rimba jika terjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan harmoni hidup mereka.
“Maka akan diadakan ritual untuk mengembalikan keharmonisan tersebut. Misalnya butuh disembelih kerbau, ayam hitam dan lainnya yang intinya mengembalikan keharmonisan itu,” ungkapnya.
Terkait konteks dengan sesama manusia ada hukum adat, Adi mengatakan manusia selain diberi sanksi ditetapkan tidak boleh melakukan hal-hal tertentu dan diberi denda adat untuk mengembalikan sesuatu pada orang yang dirugikan.
“Konteks seperti itu tidak ada di hukum positif,” katanya.
Adi mengatakan sebenarnya itu usaha untuk membuat hidup bersama-sama dan membuat damai sesama. Hal ini kemudian terbawa pada tata krama hidp Orang Rimba meski pun kemudian memeluk agama seperti Islam, Kristen dan agama-agama lainnya.
“Itu yang namanya sinkretisme. Agama luar dan kepercayaan lokal yang bercampur,” kata antropolog ini.
Menurut Adi, Orang Rimba biasa saja melihat orang yang berbeda dengan mereka. Mereka mementingkan harmoni.(Jaka Hendra Baittri)
Baca: Ngaku Ikut Challenge, 55 Siswi SMP di Pekanbaru Sayat Tangan Gara-gara Minuman Berenergi
Baca: Ajudan Ahok Sedih, Ini yang Bikin Bosnya Tak Mau Keluar Penjara Agustus 2018
Baca: Masjid Pindah 50 Meter, Ini Titik Terdahsyat Kerusakan Akibat Gempa Sulawesi Tengah