TRIBUNJAMBI.COM - Rasa senang mendadak terlihat dari sejumlah masyarakat di Kecamatan Nipah Panjang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur ketika hujan lebat mengguyur desa mereka, Minggu (1/7/2018).
Begitulah, kondisi di sana selama berpuluh-puluh tahun.
Persoalan ketersediaan air bersih tak kunjung tertangani tuntas.
Walhasil, hingga kini air hujan menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan air bersih mereka.
"Kalau air hujan untuk minum, kalau air laut atau air (sungai) Batanghari Cuma bisa untuk mencuci, karena warnanya cokelat," kata Pardianti warga RT 02 Kelurahan Nipah Panjang I.
Butuh perjuangan ekstra dan uang tak sedikit bila mereka ingin mendapatkan air bersih.
Selain menunggu turunnya hujan, cara lain adalah membeli air galon, mencari hingga ke hulu sungai, atau membuat sumur bor yang dananya tidak sedikit.
Baca: Didorong Duet JK-AHY di Pilpres 2019, Begini Jawaban Jusuf Kalla, Kader Demokrat Bocorkan Reaksi SBY
Pardianti mengaku jika musim kemarau dirinya mau tak mau harus membeli air galon dengan harga Rp 10 ribu per galon.
"Kalau lagi dak ado yang jual, nitip samo orang belinyo pakai perahu," ungkapnya saat ditemui Tribunjambi.com.
"Kalau musim kemarau susah nyari air, mulai pening nyari air di mano. Biaklah kami listrik dibatasi daripado air bersih susah nyarinyo," ujarnya.
Sama halnya dikatakan Marta, warga setempat. Sejak pemekaran Tanjung Jabung, keluarganya tak pernah lagi mendapatkan air bersih.
"Dulu ado (PDAM), cuma sudah dak ngalir lagi. Pakai air hujan atau air sungai lah ni, baju putih pada coklat semua," katanya.
Baca: Ant-Man and The Wasp Diputar Mulai Hari Ini, Sebelum ke Bioskop Tonton Dulu 3 Film Marvel Ini
Untuk mengambil air hujan, Marta menampung air yang jatuh dari atap rumahnya.
Air itu dialiri melalui pipa dan ditampung dengan bak mandi.
"Tapi tunggu sekitar 15 menit, kalau langsung ditampung air hujanyo pasti kotor, karena atap berdebu dan banyak pasir," jelasnya.
Melihat situasi ini terus memprihatinkan, Marta berharap pemerintah memberikan solusi.
Minimal, kata dia, adalah bantuan air bersih khususnya saat musim kemarau.
"Kalau hujan senang nian kami rasonyo, air biso dapat minimal untuk duo tigo hari ke depan," tambah Marta.
Terpisah, Lurah Nipah Panjang I Wazri saat dikonfirmasi, Senin (2/7) mengakui bahwa saat ini masyarakatnya masih bergantung dengan air hujan dan air Sungai Batanghari karena belum ada ketersediaan air bersih.
Baca: PT Taspen - Lowongan Kerja BUMN, Mulai 5 Juli 2018, Jurusan yang Dibutuhkan dan Cara Mendaftarnya
"Air PDAM belum ngalir ke sini, kapasitas air katonyo belum mencukupi makonyo masih banyak yang belum dapat air bersih," katanya.
Menurutnya, di Kelurahan Nipah Panjang II sebagian sudah teraliri. Tapi, sambungnya, untuk yang di pinggiran laut banyak yang belum.
Wazri bilang setidaknya ada 1.100 Kepala Keluarga (KK) yang kini masih bergantung dengan air hujan untuk memenuhi kebutuhan harian.
"Kalau air sungai untuk mandi sama cuci baju saja, karena airnya tidak bagus untuk dikonsumsi," ungkapnya.
Beruntung, Warzi mengatakan bahwa saat ini kondisi air Sungai Batanghari tak bercampur dengan air laut.
"Biasanya bercampur air laut kalau sudah musim kemarau. Kalau sudah bercampur dak biso digunakan," tuturnya.
Warzi mengaku bahwa pihaknya sudah berulang kali mengajukan keluhan ini kepada Pemkab Tanjab Timur dan Pemprov Jambi, namun nyatanya belum membuahkan hasil.
"Ya meskipun masyarakat diuntungkan dengan adanya penjualan air galon, tapi kalau beli terus kasihan mereka. Kalau tidak mereka mandi air asin," ujarnya.
Menurutnya, perlu satu hingga dua tower dengan kapasitas besar dari PDAM untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di dua kelurahan di sana dengan total sekitar 3.000 KK.
"Kalau bisa buat sumur bor satu. Tapi dengan kedalaman sampai 300 meter baru bisa dapat air bersih. Kalau masih di bawah tu tetap saja airnya kotor," tuturnya.