TRIBUNJAMBI.COM - Gunung Merapi mengeluarkan letusan freatik pada Jumat (11/05/2018) pagi.
Letusan freatik sendiri menunjukkan adanya pemanasan air di bawah permukaan.
Air ini kemudian menjadi uap yang membuat tekanan dan volume uap di dalam gunung meningkat dan menyebabkan letusan yang berupa asap putih.
Meski begitu, letusan ini tak diperkirakan oleh banyak warga Yogyakarta dan sekitarnya.
Alasannya adalah tidak ada tanda-tanda erupsi seperti gempa vulkanik yang mendahului fenomena ini.
Ini menjadi tanda tanya besar bagi sebagian masyarakat. Apakah memang lazim letusan freatik Gunung Merapi meski tanpa gempa vulkanik pendahulunya?
Menurut Wiwit Suryanto, ahli geofisika dari Universitas Gadjah Mada (UGM) fenomena letusan freatik tanpa ada tanda-tanda sebelumnya pada gunung berapi merupakan hal yang lazim.
Itu karena hingga saat ini, letusan freatik pada gunung api masih sulit diidentifikasi tanda-tandanya.
"Ini berbeda dengan erupsi karena adanya pelepasan magma dari dalam gunung api, tanda-tanda fisikanya terlihat jelas, misal dengan kenaikan jumlah gempa vulkanik, deformasi (perubahan bentuk tubuh gunung), kandungan gas dan sebagainya," ungkap Wiwit kepada Kompas.com melalui pesan singkat pada Jumat (11/05/2018).
Menurut Wiwit, sebenarnya letusan freatik pada Gunung Merapi telah beberapa kali terjadi semenjak letusan besar pada 2010.
Wiwit juga mencontohkan letusan freatik yang terjadi di Jepang
"Jepang sendiri yang jauh lebih maju teknologi monitoring gunungapinya juga belum mampu melihat tanda-tanda sebelum erupsi phreatic, misal di Gunung Ontake tahun 2014 bahkan membawa puluhan korban jiwa," ujar Wiwit.
"Saya dua tahun lalu juga sempat mampir ke Gunung Hakone di Jepang yang pada 2015 meletus freatik juga hampir tidak ada tanda-tanda fisika sebelumnya (sebelum meletus freatik)," kisahnya.
Wiwit juga mengatakan, saat ini upaya mendeteksi tanda-tanda letusan freatik sedang dilakukan oleh para ahli gunung api.
"Di antaranya dengan memasang instrumen monitoring yang lebih sensitif, memanfaatkan data penginderaan jauh dari satelit, dan lainnya," kata Wiwit.
Menyoal letusan freatik sendiri, menurut Wiwit, ini sebenarnya adalah salah satu tipe erupsi gunung api.
"Hanya biasanya kalau di Indonesia erupsi merupakan istilah untuk magmatic eruption," tambah Wiwit. (*)
Surono Tak Percaya Tak Ada Tanda-tanda
Jumat (11/05/2018) pagi, Gunung Merapi meletus freatik.
Hal ini tidak diperkirakan oleh banyak pihak karena dianggap tidak ada tanda-tanda yang terlihat terkait letusan tersebut.
Dihubungi melalui sambungan telepon pada Jumat (11/05/2018), Surono, ahli vulkanologi yang juga dikenal sebagai 'Sang Juru Kunci' memberikan komentar.
"Sebetulnya semua kejadian alam, apakah itu terkait letusan gunung api, gempa bumi, tanah longsor, hujan pasti ada tanda-tandanya," ujarnya.
Ahli vulkanologi ini juga menggambarkan bahwa tidak mungkin terik matahari kemudian tiba-tiba hujan lebat atau gerimis
"Kecil kemungkinan terjadi, bahkan hampir tidak mungkin," ujarnya.
"Secara ilmu pengetahuan maupun religi, Tuhan Maha Adil memberikan tanda-tanda kejadian alam. Pasti ada," tegasnya.
Menurutnya, masalah yang muncul sebenarnya, kita bisa membaca tanda-tanda tersebut atau tidak.
Surono mengisahkan perubahan Merapi pada tahun 2010.
"Merapi sebelum 2010, kan Merapi jika meletus membentuk kubah lava di puncaknya," kisah Surono.
Tapi pada 2010, Merapi meletus tanpa ada kubah lavanya.
"Nah, pasti akan bisa berbeda tanda-tandanya. Tidak bisa sebagai patokan seperti dulu," ujarnya.
"Namun pada dasarnya, seperti yang dituliskan pada hukum-hukum ilmu pengetahuan alam, banyak ditulis berdasarkan kondisi empiris alam," sambungnya.
Dia mencontohkan hukum Newton yang ditulis ketika apel jatuh ke bumi.
"Kan hukum itu ditulis setelah apel jatuh ke bumi, bukan hukum ditulis baru apel jatuh ke bumi," ujarnya.
"Dalam suatu hukum alam yang disebut termodinamika, akhir suatu proses, dalam hal ini letusan gunung api, itu merupakan akhir dari suatu proses kegiatan," katanya.
"Bahwa akhir dari suatu proses dari kejadian alam itu bergantung pada proses saat ini, tidak harus sama dengan masa lalu," sambung Surono.
2010 dulu, ketika berbicara dengan masyarakat, Surono mendapat info bahwa Merapi akan meletus jika terlihat api diam.
Namun, pada 2010, Surono justru mengatakan mungkin api diam tidak akan terlihat tapi langsung meletus.
Apa yang dibicarakan Surono terbukti. Tanpa terlihat api diam, Merapi meletus.
Sama seperti kondisi yang sekarang ini, bahwa pasti ada tanda-tanda (letusan) sekecil apapun," katanya.
"Oleh karena itu, ada ahli gunung api. Kenapa? Karena kalau hanya dari pengalaman kita hanya perlu pengamat saja," katanya.
"Ahli vulkanologi diperlukan untuk mengantisipasi perubahan-perubahan," sambungnya.
Menurutnya, ahli mempunyai dasar pengetahuan yang kuat untuk bisa mengantisipasi perubahan-perubahan tersebut.
"Alam itu jujur, misalnya Merapi meletus freatik ya freatik benar. Tidak pura-pura freatik, magmatik, atau freomagmatik," katanya.
"Nah, kita berani jujur atau tidak bahwa ada tanda-tanda seperti ini. Kejujuran inilah yang bisa mendidik masyarakat," sambungnya.
Freatik atau Magmatik? Ketika ditanya apa jenis letusan Merapi hari ini, Surono menyebut masalahnya kini bukan pada jenis letusan.
Menurutnya, jenis letusan telah selesai pada para ahli yang mengkaji letusan Merapi hari ini.
"Sekarang yang menjadi penting bukan lagi freatik atau magmatik, yang penting adalah bagaimana masyarakat," katanya.
"Sebetulnya ada peringatan dini seperti normal, waspada, siaga, dan awas," imbuhnya.
Peringatan dini ini, menurut Surono, bukan untuk meramalkan kapan dan seberapa besar letusan gunung api.
Melainkan, peringatan dini tersebut adalah tingkat aktivitas gunung api yang merupakan hak masyarakat untuk mengetahuinya dan harus bagaimana mengantisipasi peringatan tersebut.
Surono menganalogikan peringatan dini ini sebagai sinyal kereta.
"Kereta mau lewat aja sinyal pasti dibuka. Sinyal dibuka pasti ada kereta mau lewat, hati-hatilah," ujarnya.
"Kalau sinyalnya tidak dibuka dan keretanya tidak lewat, ya kita tidak bisa mengharapkan kereta itu lewat dan orang-orang akan minggir," imbuhnya.
"Tetapi jika sinyal keretanya tidak dibuka, ujug-ujug kereta nyelonong, saya tidak tahu apakah keretanya yang salah atau masinisnya yang salah, atau yang bikin aturan yang salah."
Inilah, menurutnya, yang perlu dipahami, sesiap apapun masyarakat menghadapi bahaya, tetapi mereka tetap berhak diberitahu tentang ancaman dan langkah antisipasi.
Surono menegaskan subyek dari mitigasi sebenarnya adalah bagaimana masyarakat secara dini mendapat informasi ancaman bahaya dan cara mengantisipasi.