LIPUTAN KHUSUS

Hidup-Mati Petani Karet di Kawasan Penyangga TN Bukit Tiga Puluh Tebo, di Antara Sawit dan Gajah

Tunidi memiliki alasan kuat. Dia sudah mengetahui risiko konflik gajah dan manusia akan terjadi bila ikut menanam bibit kelapa sawit.

|
Penulis: Rifani Halim | Editor: Duanto AS
Tribun Jambi/Rifani Halim
Petani kopi di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo,Tunidi, menunjukkan hasil panen kopi. Dia dan beberapa petani memilih bertani kopi dan karet guna menghindari konflik dengan gajah 

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Seratusan batang kopi milik Tunidi (38) di kawasan Penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), Desa Semambu, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, terlihat berjejer rapi.

Tanaman itu berada di antara pepohonan rindang karet berusia 10 tahun di tanah seluas dua hektare.

Sembari membawa ember hitam berukuran sedang, Tunidi ke sana ke mari, memilih biji kopi terbaik dari 95 batang kopi yang ditanamnya dua tahun silam. 

Warna merah pekat hingga kuning kemerahan dipetiknya perlahan, sembari membersihkan pohon kopi setinggi 1,5 meter.

Pohon itu hampir setinggi badan Tunidi.

Panen itu merupakan kali kedua bagi Tunidi setelah menerapkan agroforesty antara kopi dan karet di lahan miliknya. 

Tunidi mengumpulkan biji kopi dalam jumlah yang banyak, lalu menjemurnya. 

Setelah kering, dia menggiling lalu menjualnya kepada tengkulak kopi di sekitar Kecamatan Sumay.

"Ini baru dua kali panen. Belum diperjualbelikan, masih dalam proses. (kopi) yang kering juga masih ada di rumah, belum digiling juga," tutur petani karet dan kopi itu saat dikunjungi Tribun Jambi di kebunnya, 19 Desember 2024 lalu.

Pola yang Unik

Cara Tunidi bertani kopi ini unik. Cara itu untuk menghindari hama.

Awal mula, Tunidi menanam bibit pohon kopi bibit liberika. 

Setelah pohon tumbuh, dia memotong pertengahan pohon, lalu menyambungnya dengan pohon kopi robusta.

"Liberika itu di bawah tahan dengan jamur akar putih yang menjadi hama, makanya saya sambung dengan pohon kopi robusta. Hasilnya jadi kopi robusta, karena liberika tahan dengan jamur. Hasilnya lebih tahan dari hama," jelas Tunidi.

Kopi di Antara Potensi Konflik Gajah-Manusia

Tunidi dan sebagian warga masih bertahan di tengah arus perubahan pola petani karet yang beralih menanam kelapa sawit. 

Petani karet di kawasan kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo.
Petani karet di kawasan kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo. (Tribun Jambi/Rifani Halim)

Arus besar petani yang berubah jadi menanam kelapa sawit, tidak terlalu dihiraukannya. 

Tunidi memiliki alasan kuat.

Dia sudah mengetahui risiko konflik gajah dan manusia akan terjadi bila ikut menanam bibit kelapa sawit.

"Hamanya (sawit) gajah, karena tidak mau dengan pohon karet dan pohon kopi, beda dengan yang lain tidak mau nyentuh, cuma lewat. Selama ini (tanaman karet dan kopi) tidak pernah disasar gajah, karena gajah tidak suka dengan tanam kopi dan karet,” ujarnya.

Baca juga: Jalan Pintas Mahasiswa di Jambi Garap Skripsi Pakai AI, Lagi Tren Hemat Waktu dan Lebih Praktis

Menurut Tunidi, sebagian petani kini mulai menanam kopi seperti dirinya. 

Alasannya, sebab menanam bibit kelapa sawit di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tiga Puluh yang merupakan habitat gajah, akan mengundang kedatangan gajah mendekat permukiman warga.

“Kalau sawit kesukaan gajah. Saya ajak kawan-kawan menanam kopi yang tergabung dalam kelompok tani Harapan Jaya. Ke depan akan menanam kopi agar penghasilan meningkat, karena 1 kilogram kopi di sini Rp50.000, itu yang biji,” kata Tunidi.

A Haris (60), mertua Tunidi yang juga petani, mengatakan penanaman pohon karet ini mengurangi interaksi negatif antara gajah dan manusia. 

Sebab gajah tidak terlalu menyukai tanaman karet, terutama yang sudah dipotong.

Itu berbanding terbalik dengan kelapa sawit yang menjadi kesukaan gajah. 

“Saya masuk tahun 2011, gajah  tidak ada pilihan, dia akan tetap menyerang karet. Tapi tahun 2012, 2013 banyak pendatang masuk, dia (pendatang) menanam sawit, sekarang gajah sudah tidak mau lagi makan karet, makanya kita bertahan. Kan disampaikan bahwa kita harus hidup berdampingan dengan satwa yang dilindungi dan sedangkan kita menanam sawit itukan memang makanan dia. Saat ini saya belum ada menanam sawit satu pun,” kata Haris.

Kendala dan Trik Mengatasi

Haris dan kelompoknya menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan produktivitas karet mereka. 

Satu di antara kendala utama bertanam karet, adalah serangan jamur akar putih yang menyerang akar pohon karet.

Jamur mengakibatkan penurunan drastis produksi getah. 

Berbagai upaya telah dicoba Haris, termasuk penggunaan garam sebagai alternatif.

Namun, metode itu membawa masalah baru.

"Tanah menjadi keras, dan cacing tanah yang membantu menyuburkan justru mati," ujar Haris.  

Satu di antara solusi yang dikembangkan adalah menanam jahe merah di sekitar pohon karet. 

Tanaman ini dipercaya memiliki kemampuan alami untuk mengurangi serangan jamur akar putih.

"Jahe lebih ramah lingkungan. Mudah-mudahan ini bisa menjadi solusi jangka panjang," harap Haris.

Usaha Lepas dari Tengkulak

Jika sebelumnya, petani karet di Tebo bergantung pada tengkulak. Kini mereka menjual langsung ke pabrik.

Hal itu sebagai upaya mendapatkan harga yang lebih menguntungkan.

"Dalam seminggu, saya bisa menghasilkan sekitar 98 kilogram karet dengan harga yang lebih adil. Pendapatan ini cukup untuk menutupi biaya operasional," jelas Haris, petani karet yang tetap semangat bekerja di usia 60 tahun.

Salah satu langkah strategis yang membantu petani karet adalah pembentukan Unit Pengelolaan dan Pemasaran Bersama (UPPB).

Melalui UPPB, petani diajarkan keterampilan finansial dan strategi pemasaran yang efisien, didukung oleh program pelatihan seperti Sekolah Lapang dan Kelompok Belajar Agroforestry (KBA).

Pendekatan ini mendorong petani memastikan kualitas, kontinuitas, dan volume produksi bahan olahan karet (Bokar) agar dapat bersaing di pasar dengan lebih baik.

Kepala Desa Semambu, Toni, menilai gelombang perkebunan kelapa sawit menyebabkan petani karet mulai beralih ke pohon kelapa sawit.

Menurutnya, sedari awal warga Desa Semambu merupakan petani karet

Sehubungan masuknya komoditas lain ke desa, salah satunya perkebunan kelapa sawit, ditambah banyaknya perusahaan perkebunan tinggal beberapa petani karet yang bertahan.

“Namun kami tetap berupaya bagaimana meningkatkan hasil dari pada warga yang bertani karet untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya, dengan menggembangkan UPPB untuk meningkatkan kualitas petani dan bagaimana nanti kita bersama Bumdes bisa menampung hasil karet dari petani dengan harga jual yang cukup,” kata Toni. (rifani halim)

Baca juga: Menelusuri Bisnis BBM Ilegal di Kota Jambi, Eks Bos Penyalur Dapat Lebih dari Rp100 Juta per Bulan

Baca juga: Gadai Mobil Hasil Kejahatan ke Suku Anak Dalam Jambi, Puluhan Kendaraan Diparkir di Kebun Sawit

 

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved