Pemilu 2024
Ketika Politisi Tak Hiraukan Suara Suku Anak Dalam di Pemilu 2024
KPU Tanjung Jabung Barat sudah mengantisipasi untuk pendistribusian Tempat Pemungutan Suara(TPS) diwilayah yang sulit dijangkau ataupun akses jalan
Penulis: Rara Khushshoh Azzahro | Editor: Suci Rahayu PK
Matahari siang itu sedang terik di tengah musim penghujan. Amira, 20 tahun, yang baru pulang dari pasar tradisional mampir ke Ghumah Belajo - Rumah Belajar-, duduk bersantai karena melihat beberapa anak kecil bermain di bangunan papan papan tempat belajar, membaca atau sekadar berkumpul bagi kelompok suku anak dalam (SAD).
Sri Bungo, 24 tahun, yang sama-sama baru dari pasar pun segera menyusul Amira. Obrolan yang semula membicarakan harga ikan dan cumi-cumi beralih ke sembako yang suka diberikan calon legislatif (caleg). Apalagi sekarang tahun politik yang kerap jadi musim para caleg memberi “umpan” kepada calon pemilih.
Amin, 21 tahun, yang juga sudah berada di situ tertarik dan ikut nimbrung dengan obrolan Amira dan Sri Bungo. Mereka merupakan tiga di antara Orang Rimba atau masyarakat suku Anak dalam (SAD) yang tinggal di Kampung Pasir Putih, Dusun Dwi Karya Bakti, Kecamatan Pelepat, Kabupaten Muaro Bungo. Dalam obrolannya mereka mengeluhkan janji-janji Caleg yang “gentayangan” di dusunnya pada tahun politik.
Mereka sudah lama meninggalkan hutan. Sejak zaman para induk masih melajang, hidup berdampingan bersama masyarakat lokal, berumah papan sebagai pemukiman SAD, dan telah memiliki kartu tanda penduduk (KTP).
Amira mengaku baru kali ini ikut pemilihan umum (pemilu), padahal usianya lebih dari data yang tertera di KTP. Itu karena dahulu dia baru memiliki akta kelahiran ketika hendak masuk sekolah dasar. Karena pemahaman yang kurang, para induk bersama tetua tidak pernah menandai hari kelahiran mereka. Petugas pencatatan sipil akhirnya mendata usia kelahiran mereka dengan menandai hari pertama masuk sekolah dasar.
Sepengetahuan Amira, caleg yang datang mensosialisasikan diri bisa dihitung pakai jari. Hanya ada satu nama masing-masing caleg dari DPR tingkat kabupaten, provinsi hingga RI Republik Indonesia yang masuk ke pemukiman mereka.
Ampira pun ragu bila para caleg itu menjadikan mereka bagian dari prioritas dalam visi misinya, atau justru hanya sebuah iming-iming belaka.
“Nggak apal orang-orang (caleg). Ada yang bantu kami kalau kami kegiatan, kasih sembako. Suruh milih dio biar katonyo dibikinin jalan lah, dikasih duet. Tapi kadang-kadang itu tidak ditepati. Tidak ada yang janji mau kasih pendidikan, kesehatan,” kata Amira.
Ada caleg yang bahkan pada musim pemilu sebelumnya sangup mendekatkan diri dan berbaur dengan SAD untuk mendapatkan perhatian dan simpati. Jurus caleg tersebut ternyata jitu, kedekatan yang dibangun secara emosional membuat sebagian besar dari SAD di sana secara terang-terangan mengaku akan memilih caleg tersebut.
Sama seperti Amira, Sri Bungo juga memiliki argumennya sendiri. Ketika ditanya persoalan perhatian caleg terutama bantuan seperti peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) untuk SAD, Sri Bungo mengaku tidak ada bantuan semacam itu dari para caleg baru maupun yang sudah pernah menduduki kursi di dewan.
“Pas di pemiluhan kagi serah aku nak milih mano. Coblos-coblos bae. Selamo ini ado orang (caleg) janji nak ngasih lah. Tapi cuma mulut aja, cuma janji yang dibuatnya. Ditunggu-tunggu ndak ada, cuma janji. Makanya yang menurut kami baik kerasa itu kami coblos,” kata Sri Bungo dengan nada menggebu.
Sedangkan Amin yang memiliki pendengaran terbatas cukup kesulitan mendengarkan penjelasan dari orang lain kalau lawan bicaranya tidak berteriak dengan lantang. Amin mengaku kesulitan memahami debat calon presiden dan calon wakil presiden dari pertama.
Dengan begitu ketika ada caleg yang datang pun akan sulit dimengerti apa yang disampaikannya untuk SAD. Amin hanya bisa berharap dari kawan sesama SAD untuk menjelaskan kembali maksud caleg tersebut. Sayangnya Amin kurang paham menyikapi tahun pemilu Ketika dimintai pandangannya.
“Dak tau nak milih siapo, dak tau jugo muko orangnyo. Kenal (caleg) yang datang ke sini, milih dio lah. Presiden wajah-wajah tu tau, tapi dak tau nak milih siapo,” kata Sri Bungo soal pandangan politiknya.
Sementara Amin masih bingung ingin memilih calon presiden sebagai pemimpinnya dengan kriteria yang bagaimana. “Tapi sayo dak biso milih besok karena KTP sayo hilang,” kata Amin.
Amin tidak tahu bagaimana sebaiknya tetap bisa menyalurkan hak suaranya bila KTP hilang, namun ia mendapat informasi KTP hilang harus diurus agar bisa kembali mendapatkan hak pilih sebagai warga negara. Dia tidak tahu-menahu dan malu menyelesaikan masalahnya ini. Permasalahan Amin baru disadari ketika perbincangan dimulai di Ghumah Belajo siang itu.

Desi, Sekretaris Dusun Dwi Karya Bakti mengatakan, warga lokal telah saling berbaur SAD, mereka hidup berdampingan dari tahun 1970-an. Menurutnya tentu kedekatan mereka berdampak pada kemudahan administrasi kependudukan untuk SAD yang difasilitasi pemerintah dusun.
“Pencetakan data kependudukan bagi SAD ke dinas terkait pun dimasukkan dalam program kerja pemerintah dusun,” kata Desi.
Iron Syahroni, Ketua KPU Provinsi Jambi menyebut data SAD di Provinsi Jambi yang sudah diterimanya sebanyak 1.991 orang yang tersebar di Kabupaten Merangin 489 orang, Kabupaten Batanghari 317 orang, Kabupaten Tebo 297 orang, Kabupaten Sarolangun 738 orang, dan Kabupaten Bungo 150 orang. Dengan rincian laki-laki 1.017 orang, sisanya perempuan.
“Kita masih menerima data SAD dari kabupaten lain. Untuk SAD pendataan mereka sudah kita lakukan sama seperti masyarakat lainnya. Mereka menetap, maka kita minta petugas kita dari bawah yaitu PPS itu untuk mendata terkait dengan pemutakhiran data pemilih, kita sudah minta petugas kita untuk turun mengecek, mendata termasuk SAD ini,” kata Iron.
Klaimnya terhadap sosialisasi pemilu, pendidikan politik ke SAD sebagai kelompok marginal sudah dilakukan secara maksimal dalam lima kabupaten melalui petugas PPS. Cara melakukan sosialisasi dan pendidikan politik katanya harus pakai pendekatan secara khusus.
Tetapi sayangnya, menurut informasi dari Azzahra, anggota panitia pemungutan suara (PPS) di Pelepat, data pilah yang spesifik untuk suara SAD di aplikasi yang dibuat oleh KPU RI tidak tertera. Data pilah masyarakat SAD tercampur dengan masyarakat umum. Padahal di lapangan petugas mengklaim telah melakukan pendataan secara terperinci.
“Percampuran data pada aplikasi itu berpotensi membuat evaluasi KPU dan Bawaslu terhadap hak pilih SAD ke depannya sulit. Mereka tidak bisa memilah data SAD, menganalisa kebutuhan, pendidikannya, dan poin lain yang krusial,” kata Azzahra.
Wein Arifin, Ketua Bawaslu Provinsi Jambi menyebutkan pendataan SAD memang harus rutin dievaluasi, SAD yang dianggap masih memiliki keterbatasan komunikasi perlu treatment khusus saat sosialisasi dilakukan oleh PPS. Terutama saat pemilu, SAD perlu tahu kapan mereka dapat mulai menggunakan hak pilihnya, dan harus tertera pendataan bagi SAD di website sistem informasi data pemilih (Sidalih).
“Kalau di Sidalih itu memang tidak ada template varian suku anak dalam, sama seperti warga negara yang lain. Tapi di KPU kabupaten/kota kami menginventarisir di mana lokasi yang ada suku anak dalam dengan mengecek DPT dalam suatu wilayah, ada berapa SAD. Kita melihat dari lokasi tinggal,” kata Wein.
Pola yang terbangun saat pemilu sampai hari ini di mata Muhammad Azim, Fasilitator Lapangan SAD dari Pundi Sumatra, selalu terulang. Deretan para caleg yang tidak mensosialisasikan visi misi dan edukasi politiknya seolah tidak peduli dengan suara SAD.
“Mungkin juga mereka merasa kesulitan merebut hati SAD. Karena mereka berpotensi hanya memilih nama caleg yang pernah membantu atau sekadar hadir di pemukiman SAD,” kata Azim.
Sementara itu, Wenny Ira Dharmasati, Akademisi dari Universitas Nurdin Hamzah Jambi menilai SAD hidup pragmatis yang mana caleg RI sampai dengan Tingkat kabupaten juga mendekati mereka melalui cara pragmatis. Memberi bantuan sembako atau uang pada SAD adalah satu di antara bentuk pendekatan pragmatis para Caleg. Sehingga itu menjadi “bargaining power” atau kekuatan melobi caleg saat mendekati SAD jelang pemilu. Tetapi Wenny mengatakan upaya pragmatis itu bukan satu-satunya cara caleg untuk melakukan pendekatan.
“Menggunakan strategi lain untuk melakukan pendekatan melalui kepala suku. caleg-caleg lain itu punya peluang yang sama untuk masuk ke komunitas mereka. Ambil lah, ini peluang yang menjual. Ini kan yang belum dilirik orang,” kata Wenny soal peluang suara SAD.
Tetapi Wenny menegaskan dari sisi etika perlu diperbaiki. Karena cara pragmatis pun perlu dimasukkan upaya membuat proses hidup SAD menjadi lebih baik. Apabila caleg RI, provinsi hingga kabupaten menjabat apa yang diperjuangkan untuk masyarakat adat ini.
“SAD jangan hanya dijadikan komoditas suara setiap lima tahunan,” tegas Wenny.
Heru Kustanto, Ketua DPW Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak mengkhususkan setiap caleg mereka untuk turun spesifik ke kelompok tertentu atau dengan cara tertentu. Mereka cenderung mengarahkan secara garis besar visinya membangun masyarakat.
Sosialisasi secara langsung diberikan keleluasaan ke masing-masing caleg untuk berinovasi teknisnya, terutama ke daerah-daerah yang terdapat SAD di sana.
“Kami di wilayah hanya memberi arahan-arahan kepada pengurus di kabupaten/kota untuk merangkul semua warga negara, termasuk suku anak dalam ini yang termasuk ke wilayah mereka yang ada di kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jambi. Sehingga mereka dapat memberikan edukasi dari partai, terus terkait pemilu juga,” kata Heru.
Namun stigma buruk masih terus-menerus menghinggapi SAD, mereka kerap dianggap liar dan tidak berpendidikan. Padahal SAD sudah sering mendapat program pemberdayaan dari sejumlah NGO seperti yang dilakukan Pundi Sumatra.
Banyak dari kelompok SAD yang sudah berbaur dengan warga desa, walaupun itu juga karena mereka makin terusir dari ruang hidup mereka di hutan. Saat ini, beberapa kader SAD sudah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. seperti yang dilakoni Juliana.
Juliana, 22 tahun, merupakan mahasiswa semester 5 di Universitas Muhammadiyah Jambi. Bahkan kini ia direkrut menjadi anggota KPPS mewakili kader-kader SAD.
“Ini pertamo kali kami nyoblos. Jadi kami waktu bimtek diajarin panitia yang benar dan salah tu. Terus warga sini (SAD) banyak yang nanyo caro coblosnyo yang benar. Jadi kami ajarin lah caro yang benar,” kata Juli sembari mengiyakan kalau dirinya sudah punya pilihan saat hari pencoblosan nanti. (Tribunjambi.com/ Rara Khushshoh Azzahro)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.