Pilpres 2024
Presiden Jokowi Didesak Cabut Pernyataan Kepala Negara Boleh Memihak dan Kampanye, Ini Aturannya
Presiden Jokowi didesak untuk mencabut pernyataan yang menyatakan bahwa kepala negara boleh berkampanye dan memihak di Pilpres 2024.
Penulis: Darwin Sijabat | Editor: Darwin Sijabat
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti sebut seluruh pejabat negara melanggar prinsip keadilan dalam pemilu kita berasaskan Langsung Umum Bebas Rahasia, Jujur, dan Adil, (Luber dan Jurdil) bila aktif berkampanye, sebagaimana diamanatkan Pasal 22E UUD 1945.
TRIBUNJAMBI.COM - Presiden Jokowi didesak untuk mencabut pernyataan yang menyatakan bahwa kepala negara boleh berkampanye dan memihak di Pilpres 2024.
Desakan itu datang dari para Pembelajar dan Pegiat Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS).
Mereka mengkritik pernyataan Jokowi mengenai presiden boleh berkampanye.
Hal itu seperti yang disampaikan perwakilan CALS sekaligus Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti.
Dia menilai, pernyataan Jokowi bertentangan dengan pernyataan-pernyataan presiden sebelumnya.
Sebelumnya Presiden Jokowi menyatakan bahwa akan netral dan meminta seluruh jajarannya netral.
Seperti diketahui, putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024.
Baca juga: Jokowi Menuai Kritik Soal Pernyataan Presiden Boleh Kampanye
Baca juga: Kabar Gempa Hari Ini Rabu 24 Januari 2024: Getarkan Sulteng, Ini Datanya
Baca juga: Prabowo Gibran Ditantang Mundur dari Jabatannya Mengikuti Mahfud MD yang Mundur dari Menko Polhukam
"Perubahan sikap ini membuktikan dengan semakin jelas betapa pentingnya larangan politik dinasti dan nepotisme dalam pemilihan umum. Tak mudah bagi Jokowi untuk netral ketika anaknya berlaga dalam pemilihan presiden," kata Bivitri, dalam keterangannya, pada Rabu (24/1/2024).
Padahal, Bivitri menjelaskan, harus disadari seluruh pejabat negara melanggar prinsip keadilan dalam pemilu kita berasaskan Langsung Umum Bebas Rahasia, Jujur, dan Adil, (Luber dan Jurdil) bila aktif berkampanye, sebagaimana diamanatkan Pasal 22E UUD 1945.
Sebab, ia mengatakan, pejabat negara (presiden, menteri, kepala-kepala daerah), akan bisa mempengaruhi keadilan Pemilu melalui dua hal.
Yakni fasilitas, seperti kebijakan, anggaran, dan dukungan administrasi serta protokoler pejabat serta pengaruh sebagai pemegang kekuasaan akan memengaruhi netralitas birokrasi dan mengarahkan pemilih.
Bivitri menilai, keberpihakan presiden dan pejabat negara lainnya bisa mengarah pada pelanggaran dengan dimensi Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
"Perlu dibedakan antara 'berpolitik' dan 'berkampanye'. Presiden berhak berpolitik, tetapi ia tidak diperbolehkan untuk berkampanye," ungkapnya.
Baca juga: Pengamat Soal Jokowi Sebut Kepala Negara Boleh Memihak & Kampanye: Daripada Diam-diam Seolah Netral
Menurutnya, perdebatan bisa dilakukan terhadap bunyi norma pasal-pasal dalam pemilu. Namun, UU Pemilu harus pertama-tama diletakkan dalam konteks asas-asas pemilu dalam UUD 1945, yaitu Luber Jurdil dengan penekanan pada aspek keadilan.
UU Pemilu mengandung banyak kelemahan karena selain proses legislasi mengandung kepentingan politik, norma hukum juga akan dibuat berdasarkan kasus empirik.
Sedangkan, tambahnya, nepotisme dan politik dinasti yang demikian parah serta 'cawe-cawe' politik yang dilakukan tanpa etik dan rasa malu, baru terjadi pada masa pemerintahan Jokowi.
"Pernyataan Jokowi yang seakan memberi landasan hukum bagi sesuatu yang sebenarnya tidak etik dan melanggar asas keadilan dalam Pemilu sesungguhnya juga merupakan tindakan inkonstitusional karena melanggar asas Pemilu yang diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 " jelasnya.
Lebih lanjut, kata Bivitri, seharusnya sebagai presiden, Jokowi harus membiarkan semua berproses sesuai aturan main yang ada, tanpa perlu membuat pernyataan yang membenarkan perilaku yang melanggar etik dan hukum.
"Biarkan lembaga-lembaga yang berwenang menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang, presiden tidak patut membuatkan justifikasi apapun, termasuk bagi dirinya sendiri," ucapnya.
Bivitri menuturkan, kepatutan atau perbuatan yang tercela yang dilakukan oleh presiden berbeda dengan yang dilakukan oleh warga negara biasa.
Baca juga: Kunci Jawaban Informatika Kelas 10 Halaman 103, Langkah Scraping
"Presiden dan semua pejabat negara harus diletakkan dalam konteks jabatannya. Sikap yang ditunjukkan oleh Presiden Jokowi tidak sesuai dengan tujuan pendidikan politik yang bertanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 267 ayat (2) UU Pemilu," tutur Bivitri.
Oleh karena itu, para pegiat hukum yang tergabung dalam CALS menyampaikan beberapa tuntutan, di antaranya yakni:
1. Presiden Jokowi untuk mencabut pernyataannya tentang kebolehan berkampanye dan memperhatikan kepatutan dalam semua tindakan dan ucapannya, dengan mengingat kapasitas jabatannya sebagai presiden.
2. Presiden Jokowi untuk menghentikan semua tindakan jabatan dirinya maupun menteri-menterinya, yang telah dilakukan selama ini yang berdampak menguntungkan pasangan calon presiden.
3. Bawaslu menjalankan tugasnya dengan baik dan bersiap-siap untuk menelaah dan memperjelas indikasi kecurangan yang bersifat TSM untuk mengantisipasi sengketa pemilu dan sengketa hasil pemilihan umum.
4. Mahkamah Konstitusi mulai melakukan telaah mengenai perannya dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilu nanti, dalam kaitannya dengan kecurangan yang bersifat TSM, dengan melihat konteks penyalahgunaan jabatan (berikut kebijakan dan anggaran) yang semakin terlihat indikasinya pada Pemilu 2024 ini.
5. DPR RI mengajukan hak interpelasi dan hak angket kepada Presiden untuk menginvestigasi keterlibatan Presiden dan penggunaan kekuasaan Presiden dalam pemenangan salah satu kandidat pada Pemilu 2024.
6. Seluruh penyelenggara negara (presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota) untuk tidak berlindung di balik pasal-pasal dan mengesampingkan etik. Mundur dari jabatan jauh lebih etis dan terhormat dalam situasi politik yang sangat tidak demokratis hari-hati ini.
Sementara itu, mereka juga menyampaikan, peraturan perundang-undangan yang dilanggar akibat Presiden berkampanye untuk Pemilu:
1. Pasal 267 ayat (1) UU Pemilu
2. Pasal 281 UU Pemilu
3. Pasal 280 UU Pemilu
4. Pasal 281 UU Pemilu
5. Pasal 282 UU Pemilu
6. Pasal 299 UU Pemilu
7. Pasal 42 ayat (1) dan Pasal 43 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
8. Pasal 5 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik, Bersih dan Bebas KKN
9. TAP MPR No. VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa
10. Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pelanggaran Pemilu Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) (vide Putusan MK Nomor 41/PHPU.D-VI/2008, Putusan MK Nomor 190/PHPU.D-VIII/2010, Putusan MK Nomor 45/PHPU.D-VIII/2010, dst.)
Simak berita terbaru Tribunjambi.com di Google News
Baca juga: Kunci Jawaban Tema 5 Kelas 2 Halaman 163, Mengerjakan Soal Matematika
Baca juga: Jadwal Acara NET TV Hari ini Kamis 25 Januari 2024: Drakor Now We Are Breaking Up dan 86
Baca juga: Kunci Jawaban Tema 5 Kelas 2 Halaman 161, Membaca Puisi
Baca juga: Jadwal Acara SCTV Hari ini Kamis 25 Januari 2024: Sinetron Bidadari Surgamu dan Dia yang Kau Pilih
Artikel ini diolah dari Tribunnews.com
Presiden Jokowi
Gibran Rakabuming Raka
Prabowo Subianto
kepala negara
kampanye
Pilpres 2024
Tribunjambi.com
Luhut Beri Pesan ke Prabowo Subianto: Jangan Bawa Orang Toxic ke Pemerintahan Anda, akan Merugikan |
![]() |
---|
Surya Paloh dan Prabowo Subianto Sepakat Kerja Sama: untuk Kepentingan Rakyat Indonesia |
![]() |
---|
Senyum Anies Baswedan Dikomentari Prabowo Subianto: Berat Sekali |
![]() |
---|
Prabowo Subianto Sambangi Kantor DPP PKB, Disambut Muhaimin Iskandar |
![]() |
---|
Harta Kekayaan Gibran Rakabuming Raka yang Ditetapkan sebagai Wakil Presiden Terpilih |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.