LIPUTAN KHUSUS

Petani Karet Jambi Tak Panen 3 Tahun Terakhir, Alih Profesi ke Sopir dan Buruh, 4 Pabrik Terdampak

Padahal, angka yang diharapkan petani untuk bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yaitu Rp12.000 per kilogram

|
Penulis: tribunjambi | Editor: Duanto AS
TRIBUN JAMBI
Petani karet di Muara Bulian saat menyadap kebun karetnya. 

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Selama tiga tahun, kebun karet itu dibiarkan saja, tidak dipanen.

Petani karet Jambi banyak beralih profesi menjadi buruh tani sawit, sopir batu bara dan penambang emas.

Kondisi itulah yang saat ini terjadi di kalangan petani/pekebun karet di Provinsi Jambi, Minggu (18/6).

Harga karet yang tidak sesuai harapan, membuat Andika (36), pemilik kebun karet seluas 2 hektare di Desa Bukit Kemang, Kecamatan Tanah Tumbuh, Kabupaten Bungo, tidak lagi menugaskan penyadap untuk memanen pohon karetnya sejak tiga tahun terakhir.

Itu lantaran harga karet getah di Provinsi Jambi, khususnya di Kabupaten Bungo, tidak kunjung naik.

Harga karet hanya bertahan di Rp8.000-Rp9.000 per kilogram.

Padahal, angka yang diharapkan petani untuk bisa memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yaitu Rp12.000 per kilogram.

Andika bercerita harga karet sudah lama tidak mengalami perubahan. Itu yang membuat kebun karet miliknya tidak lagi disadap dan rencananya akan diubah jadi kebun kelapa sawit.

"Sayo berencana memang mau beralih ke kelapa sawit, cuma masih berproses, tidak langsung ditumbangkan semua pohon. Rencananya mau ditanam di antara pohon karet, setelah sawit besar baru ditumbangkan," tutur Andika pada Tribun Jambi.

Rencana mengubah kebun karet ke kebun kelapa sawit, sudah mulai dilakukan Andika secara bertahap.

Setidaknya satu tahun lalu, dia sudah menyelipkan bibit kelapa sawit di antara karet seluas 1 hektare.

"Ada yang sudah ditanam sejak tahun lalu, ada yang belum ditanam. Masih sayang mau ditumbangkan semua, karena sebenarnya karetnya itu masih bagus," ujarnya.

Dia menerangkan, bila pohon karet miliknya disadap dalam satu kali timbang satu minggu, bisa mendapatkan uang mencapai Rp900 ribu rupiah, belum termasuk upah penyadap dan tauke.

"Tapi kebun sayo sudah tidak ado yang motong (menyadap) karet, jadi tidak menghasilkan tidak sesuai dengan harga keperluan sehari-hari. Dan para penyadap jadi malas mau kerja memilih cari kerjo lain," terangnya.

Andika menjelaskan, sebenarnya ada dua sebab yang membuat petani ataupun pemilik pohon karet ogah-ogahan memanen.

Pertama, karena harga getah karet yang murah, membuat petani dan pemilik lahan beralih menanam sawit.

Kedua, tidak adanya bantuan pemerintah untuk peremajaan pohon karet, padahal kelapa sawit mendapatkan dana dari pemerintah untuk peremajaan.

"Untuk peremajaan karet ini tidak ada yang dikucurkan oleh pemerintah. Tapi kalau sawit, pemerintah memberikan kucuran dana untuk peremajaan. Jadi faktor itulah membuat warga beralih ke kelapa sawit," tuturnya.

Beralih profesi

Petani karet Jambi banyak beralih profesi menjadi buruh tani sawit. Itu imbas harga karet stagnan dan tidak menguntungkan petani/pekebun karet dalam kurun tiga tahun terakhir.

Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Agus Rizal, menyebut sebagian besar petani karet meninggalkan profesinya.

Selain menjadi buruh sawit, mereka beralih menjadi sopir angkutan batu bara dan penambang emas.

"Mereka ganti profesi beralasan. Pertama, soal harga karet tak kunjung membaik. Kedua, penghasilan lebih baik menjadi buruh sawit. Jika dibandingkan antara sawit dan karet, lebih berpenghasilan sawit yang cepat dapat uang," kata Agus via pesan WhatsApp, Minggu (18/6/2023).

Agus mengungkapkan harga karet di tingkat petani Rp7.000 per kilogram dan tingkat pabrik Rp9.000 per kilogram.

"Dijual di tingkat petani Rp7.000 per kg. Kalau dia jadi buruh sawit, itu bisa dapat Rp200 ribu penghasilannya per hari," katanya .

Akibat kondisi yang tidak menguntungkan secara ekonomi, akhirnya mereka lebih memilih bekerja menjadi pemanen sawit dibanding nyadap (deres) karet.

Empat pabrik terdampak

Imbas dari peralihan profesi dan tidak lagi memanen karet itu, sejumlah pabrik kekurangan bahan baku untuk beroperasi.

Bahkan ada pabrik yang meredup alias tidak beroperasi dan melakukan pengurangan karyawan.

Tercatat, empat dari 11 pabrik karet di Provinsi Jambi terkendala pasokan bahan baku. Akhirnya, manajemen pabrik melakukan pengurangan karyawan.

"Ada PT Angkasa Raya, PT Jambi Waras, PT Remco, PT Batanghari Tembesi dan PT Kocktong," kata Agus Rizal

"Satu yang tutup total. Tapi yang empat sudah mulai mengurangi karyawan dan ada yang tutup sementara,” tambahnya.

Agus memaparkan, pabrik yang berhenti operasional yaitu PT Angkasa Raya. Sedangkan PT Batanghari Tembesi sudah tidak berjalan, tapi masih ada kemungkinan jalan lagi. "Untuk pastinya akan kami inventarisasi ulang," ujarnya.

Sisa lahan masyarakat

Di sisi lain, Dinas Perkebunan Provinsi Jambi juga mencatat adanya peralihan kebun karet menjadi kebun sawit.

"Pada 2023, peralihan dari kebun karet ke kebun sawit hanya mencapai 200 sampa-300 hektare," katanya.

"Kemungkinan, peralihan perkebunan tersebut akan bertambah terus," lanjutnya.

Saat ini, sisa lahan karet milik masyarakat sekira 659 ribu hektare. Lahan paling luas ada di Kabupaten Batanghari, Merangin, Muara Bungo, Sarolangun dan lainnya. 

Langkah Kemitraan

Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Agus Rizal, mengatakan pemprov telah berupaya membentuk Pemasaran Bahan Olah Karet Bersih (UPPB) guna memfasilitiasi kemitraan dengan pihak pabrik.

"Kita sudah coba mengusahakan dengan membuat kelompok melalui UPPB supaya bisa bermitra dengan pabrik. Tapi, harganya tak pernah naik, sementara petani kita kan sudah ada kebun sawit juga," ucapnya.

Sebaiknya koordinasi

Ketua DPRD Provinsi Jambi, Edi Purwanto, mengatakan sejauh ini belum ada peranan pemerintah dalam menyusun konsep strategis soal harga karet Jambi.

Edi menyebut pemprov dan dinas terkait harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Di sisi lain, DPRD provinsi komisi terkait akan melakukan diskusi bersama pemerintah.

"Kita Jambi ini masuk sebagai penghasil karet di Indonesia, namun jika kondisi ini terus dibiarkan, tentu ada semacam peralihan atau transisi komoditas. Namun di sisi lain masih banyak masyarakat yang bertahan dengan mengutamakan karet sebagai sumber mata pencaharian,"ujarnya.

"Maka kita minta pemerintah daerah mencari solusinya dan berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Harga karet di Jambi pernah pada angka Rp20 ribu per kilogram, namun sekarang jauh merosot. Ini perlu dicari juga persoalan dari hulu dan hilirnya," tambahnya.

Edi Purwanto juga meminta peranan pemerintah serta mengoptimalkan karet di masyarakat dalam hal kualitas.

"Ini juga menjadi persoalan, karena biasanya kualitas karet juga mempengaruhi nilai jual. Ini kita minta peran pemerintah dalam membimbing petani sebagai hulunya menghasilkan kualitas karet yang bagus beriringan dengan mencari solusi jangka pendek untuk meningkatkan harga jual di petani," pungkasnya. 

Intervensi dan Kualitas

Pemerhati Masalah Ekonomi Jambi, Pantun Bukit, mengatakan beberapa waktu terakhir, harga karet di Provinsi Jambi selalu kalah dari harga penjualan kelapa sawit.

Fenomena yang belum terselesaikan sampai kini, sebenarnya menjadi tanda tanya, karena seolah lebih menguntungkan menjadi petani sawit daripada petani karet.

Ada struktur pasar yang berbeda antara karet dan sawit.

Karet memiliki struktur pasar yang monopsoni.

Banyak penjual, tetapi pembelinya justru lebih sedikit.

Itu dengan bukti sedikitnya pabrik karet yang ada di Provinsi Jambi.

Ketidakseimbangan tersebut membuat ketidakuntungan terjadi di kalangan petani (pekebun; red).

Harga yang terjadi pada karet menjadi sering stabil, bahkan di bawah biaya produksi.

Sedangkan sawit yang harganya selalu lebih tinggi dari karet, memiliki banyak pabrik kelapa sawit (PKS).

Apalagi sawit bisa jadi 150 produk dengan struktur pasar yang cukup tinggi.

Karet masih punya terkendala harga rendah dibanding kelapa sawit, di antaranya karena kualitas.

Banyak yang menjual dengan memasukkan berbagai macam campuran di dalamnya.

Seperti cetakan getah karet yang diisi tanah, plastik, hingga batu, sering ditemui dan berdampak ke harga jadi rendah.

Buruknya kualitas ini perlu diberantas, mulai dari petani/pekebun yang akan menjualnya.

Mereka layak mendapatkan edukasi sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas harga.

Sebenarnya, kedua komoditas utama di Provinsi Jambi ini bisa sama-sama memiliki harga yang baik.

Di sinilah peran pemerintah dalam memperbaiki keseimbangan keduanya.

Intervensi kebijakan hanya ada di pemerintah kepada berbagai pihak.

Apabila intervensi berjalan, harusnya bisa menguntungkan petani sebagai masyarakatnya.

Di sisi lain, intervensi kepada para pemilik pabrik yang jumlahnya sedikit, juga diperlukan agar pemerintah bisa menyejahterakan pekebun. (can/caw/sul/cin)

Baca juga: Perasaan Aryo Dkk Deg-degan Melewati Pohon Bolong saat Pendakian Gunung Kerinci, Ternyata

Baca juga: Kisah 50 Tahun Tak Dapat Aliran Listrik, Warga Geragai Tanjabtim Pakai Teplok, Diesel, Tenaga Surya

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved