Berita Jambi
Karya Korban Kekerasan Seksual di Jambi Seolah 'Bersuara' dalam Pameran
Direktur Beranda Perempuan, Zubaidah menyampaikan melalui pameran ini pihaknya memberikan ruang untuk penyintas kekerasan seksual menyampaikan suarany
Penulis: Rara Khushshoh Azzahro | Editor: Rian Aidilfi Afriandi
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Dua anak yang masih memakai seragam sekolah, memasuki ruang pameran di Taman Budaya Jambi, Kamis (15/12/22).
Bersama ayahnya, anak-anak perempuan ini melihat benda dan tulisan yang dipajang di dalam ruangan tersebut.
Benda yang dimaksud bukanlah koleksi yang biasa dipamerkan di museum. Melainkan, karya para penyintas kekerasan seksual, yang salah satunya berupa lukisan.
Pakaian milik korban kekerasan seksual juga ditunjukkan di sana. Pakaian yang tergantung di dinding ini, bukanlah pakaian yang terbuka, tetapi baju perempuan yang cukup tertutup.
Di ruangan ini pula ada tulisan curahan korban kekerasan seksual. Mereka pun menceritakan bentuk kekerasan seksual yang menimbulkan trauma berat.
Benda-benda itulah yang dilihat dua anak perempuan tadi. Mereka pun melihat berita yang terpampang di sana, yang salah satunya berita tentang kematian dan kekerasan seksual yang dialami bocah perempuan berinisial KY (4). Hingga saat ini kasus tersebut belum selesai.
Pameran itu diadakan oleh Beranda Perempuan yang didukung Cinema UIN Sutha, Kompas selaku media partner, Go Nau, Forum Jurnalis Perempuan, Front Mahasiswa Nasional, Rambu House, Tribun, RRI, dan lainnya, hingga pada tanggal 16 Desember 2022. Para pengunjung silih berganti melihat pameran tersebut.
"Kita mendesain ruangan ini, sesuai dengan tata ruangnya. Kita memanfaatkan ruangan yang ada di sini. Baju korban terletak di sini, ada juga cerita korban. Terdapat cerita korban yang digantung, seperti kasusnya yang menggantung. Ada juga lukisan dan boneka milik korban," ujar Ivik Agustian, Ketua Cinema UIN Sutha.
Direktur Beranda Perempuan, Zubaidah menyampaikan melalui pameran ini pihaknya memberikan ruang untuk penyintas kekerasan seksual menyampaikan suaranya.
"Selama ini kita hanya melakukan aksi demo dan protes, tetapi ternyata ketika kita melakukan pendampingan dengan berkarya, itu bermanfaat bagi mereka," ujarnya.
Zubaidah berharap pengunjung pameran itu terdorong untuk memahami apa yang sudah dialami para penyintas kekerasan seksual.
"Jadi, ada sensitivitas dan memahami bahwa ternyata trauma yang dialami korban tidaklah ringan. Beberapa caption menjelaskan setiap malam korban harus berteriak," ungkapnya.
Beranda Perempuan pun melawan anggapan bahwa kekerasan seksual terjadi karena pakaian korban. "Kekerasan seksual itu memang karena keinginan dan motif pelaku," ujar dia.
Ia pun mengungkapkan bahwa norma yang tumbuh di tengah ada kalanya tidak mendukung korban. Tetapi, justru membuat korban semakin kesulitan untuk pulih dari traumanya.
"Ketika menjadi korban kekerasan seksual, yang dipersoalkan terkait kesucian. Sehingga ada pembatasan secara sosial bagi korban untuk berinteraksi," jelas dia.