Renungan Kristen

Renungan Harian Kristen Senin 12 Nov 2022 - Menjalani Hidup sebagai Seorang Anak

Bacaan ayat: Matius 6:9 (TB) Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu,

Editor: Suci Rahayu PK
ist
Ilustrasi renungan harian 

Renungan Harian Kristen Senin 12 Nov 2022 - Menjalani Hidup sebagai Seorang Anak

Bacaan ayat: Matius 6:9 (TB) Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu,

Oleh Pdt Feri Nugroho

Memahami secara mendalam tentang kehidupan beriman, maka kita menemukan bahwa kehidupan beriman terkait erat dengan relasi antara penyembah dengan sesembahan.

Dalam sejarah, relasi tersebut mengadopsi model relasi yang umum ada pada konteksnya. Paling awal, bermula dari kesadaran akan keterbatasan diri; maka manusia memahami untuk terhubung dengan sesembahan yang tidak terbatas, lebih kuat dan berkuasa.

Harapannya, hidupnya yang lemah dan tidak berdaya dapat mendapatkan pertolongan dari sesembahan yang kuat dan berkuasa.

Terciptalah relasi antara penyembah yang lemah untuk meminta pertolongan dari sesembahan yang kuat melalui ritual dan simbol. Ketika manusia dapat menghimpun kekuatan untuk menguasai yang lain, tercipta relasi tuan dengan hamba.

Tuan sebagai yang berkuasa dan hamba menjadi pihak yang dikuasai. Masa ini menciptakan budaya perbudakan.

Pola berimanpun berubah. Posisi sesembahan sebagai tuan dan penyembah sebagai hamba begitu dominan dalam sejarah. Pola ini menjadi pola umum yang paling mudah dipahami sehingga diserap hampir dalam semua kepercayaan dan keyakinan.

Pola ini memposisikan sesembahan sebagai yang suci dan kudus sementara penyembah pada posisi berdosa, kotor dan tidak layak bersentuhan dengan yang kudus. Perlu ritual penyucian agar terhubung dengan yang disembah.

Dalam pola relasi tuan - hamba, terdapat jurang yang memisahkan dan tidak terseberangi antara penyembah dengan sesembahan.

Doa menjadi ritual umum yang dilakukan untuk bisa terhubung dalam sebuah relasi antara penyembah dengan sesembahan.

Sangat unik ketika Yesus justru memperkenalkan pola yang berbeda, yaitu relasi bapa - anak. Pola ini sebenarnya sudah tersemat dalam sejarah karya penyelamatan Allah.

Dalam banyak kesempatan, Allah menyebut umat sebagai anak-Ku dan menyatakan diri-Nya sebagai Bapa-mu.

Oleh Yesus ditegaskan ulang dengan sebuah ajaran doa dengan menyebut Allah dengan sapaan, "Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu" Implikasi logis dari sapaan dan sebutan tersebut membuat para murid memahami posisinya di hadapan Allah sebagai anak.

Tentu pola ini tidak merujuk pada makna harafiah tentang hubungan biologis.

Pola relasi bapa - anak membawa para murid pada sebuah pemahaman tentang hubungan yang dekat dan akrab antara Bapa sebagai pencipta langit dan bumi, dengan manusia sebagai puncak ciptaan-Nya.

Memposisikan Allah sebagai Bapa, membawa pengharapan baru dalam kehidupan. Sang Bapa pasti mengasihi anak-anak-Nya. Ia akan selalu memelihara dan menjaga; bukan seperti satpam yang hanya karena tanggung jawab dan dibayar.

Namun seperti Bapa yang terus merangkul anak-Nya dalam kasih dan pengharapan.

Apa yang disampaikan Yesus menjadi penegasan yang sudah ada sejak masa Perjanjian Lama, bahwa Allah selalu menjadi Bapa bagi umat-Nya.

Doa Bapa Kami selalu dikumandangkan hingga hari ini. Pertanyaan pentingnya, apakah kita telah berlaku sebagai anak-anak-Nya yang taat?

Sudah seharusnya, setiap kali kita menyebut Allah dengan kata Bapa, selalu menjadi pengingat untuk berlaku sebagai anak-anak-Nya yang taat pada kehendak-Nya.

Bapa yang baik terkadang memakai rotan untuk mendisiplinkan anak-anaknya, demikian pula Allah ketika mendidik kita agar tetap taat. Berlaku lah sebagai anak yang taat! Amin

Renungan harian oleh Pdt Feri Nugroho, S.Th, GKSBS Palembang Siloam

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved