Kuota BBM Subsidi Terancam Jebol, Hanya Cukup Sampai Bulan Oktober 2022
Pemerintah kini tengah mempertimbangkan untuk melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Sebab saat ini harga minyak
TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - Pemerintah kini tengah mempertimbangkan untuk melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi. Sebab saat ini harga minyak dunia mengalami fluktuasi dan berada di level yang cukup tinggi. Ditambah lagi, kuota BBM subsidi yang disalurkan Pertamina kian tipis.
Hal tersebut berdampak kepada anggaran subsidi energi, khususnya BBM yang meningkat tajam, dan berpotensi rawan jebol. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan polemik terkait wacana naiknya harga BBM subsidi.
Menkeu mewanti-wanti volume solar dan pertalite akan membeludak pada akhir tahun. Kuota saat ini untuk solar 15,1 juta kiloliter sementara kapasitas konsumsi 1,5 juta per bulan. Diprediksi akan habis pada bulan Oktober tahun ini.
Untuk pertalite lanjut Menkeu kuotanya yang sebesar 23,05 juta liter akan habis juga pada bulan Oktober 2022. Menkeu mengungkapkan sebagian besar anggaran subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis pertalite dan solar dinikmati oleh orang kaya. Hanya sedikit dari anggaran BBM subsidi itu yang dinikmati oleh orang miskin.
Dari anggaran subsidi dan kompensasi energi yang ditetapkan sebesar Rp502,4 triliun, mencakup alokasi untuk Pertalite sebesar Rp93 triliun dan alokasi untuk Solar sebesar Rp143 triliun. Sayangnya, anggaran pertalite dan solar itu malah lebih banyak dinikmati oleh orang kaya.
Sebab banyak orang dengan daya ekonomi yang mampu lebih memilih mengkonsumsi BBM bersubsidi. "Solar dalam hal ini dari Rp143 triliun itu sebanyak 89 persen atau Rp 127 triliunnya yang menikmati adalah dunia usaha dan orang kaya," ujar Sri Mulyani saat konferensi pers di kantornya, Jumat(26/8).
Begitu pula dengan Pertalite, dari anggaran Rp 93 triliun yang dialokasikan untuk biaya kompensasi, sekitar Rp 83 triliun dinikmati oleh orang kaya. Artinya hanya sedikit masyarakat miskin yang mendapat subsidi dan kompensasi energi.
"Dari total Pertalite yang kita subsidi itu Rp83 triliunnya dinikmati 30 persen terkaya," katanya.
Oleh sebab itu, pemerintah saat ini tengah berupaya untuk membuat kebijakan yang mendorong konsumsi pertalite dan solar bisa tepat sasaran. Terlebih anggaran subsidi dan kompensasi energi bisa bertambah Rp 198 triliun jika tidak ada kebijakan pengendalian dari pemerintah.
Menurut Menkeu, Pemerintah membutuhkan tambahan anggaran Rp198 triliun jika tidak menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi Pertalite dan Solar.
Kondisi itu akan semakin memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena harus menanggung bengkaknya anggaran subsidi BBM tersebut. "Duitnya sudah disediakan Rp 502 triliun, tapi habis. Pertanyaannya 'ibu mau nambah (anggaran subsidi BBM) atau enggak?' Kalau nambah dari mana anggarannya? Suruh ngutang?," kata Sri Mulyani. Ia juga menjelaskan, saat ini alokasi untuk anggaran subsidi dan kompensasi energi pada tahun 2022 dipatok sebesar Rp 502,4 triliun. Nilai itu sudah membengkak dari anggaran semula yang hanya sebesar Rp 152,1 triliun.
Penambahan itu dilakukan untuk menahan kenaikan harga energi di masyarakat imbas lonjakan harga komoditas global. Namun, kini tren harga minyak mentah masih terus menunjukkan kenaikan, apalagi kurs rupiah mengalami depresiasi terhadap dollar AS. Di sisi lain, konsumsi pertalite dan solar juga diperkirakan melebihi kuota yang ditetapkan.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sudah selayaknya dilakukan untuk mengurangi beban APBN. Anggaran subsidi BBM bisa dialihkan untuk pembangunan sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan.
"Bahasanya bukan kenaikan, tapi lebih kepada mengurangi beban subsidi yang harus pemerintah bayarkan kepada badan usaha. Saya kira hal ini perlu dilakukan untuk menyelamatkan beban keuangan negara. Di mana beban kompensasi yang harus dibayarkan kepada badan usaha sangat luar biasa besar, kurang lebih Rp502 triliun," kata Mamit.
Menurut dia, jika tidak ada pengurangan subsidi bisa dipastikan beban keuangan negara semakin berat. Dia memperkirakan jika tidak ada pembatasan atau ruang fiskal yang cukup kuat untuk APBN, akan dibutuhkan kurang lebih Rp65 triliun untuk menambah beban subsidi BBM dan kompensasi sampai akhir tahun ini.
"Di mana penambahan kuota untuk Pertalite kurang lebih 5 juta kiloliter dan solar subsidi kurang lebih 1,5 juta kiloliter. Dengan adanya pengurangan beban subsidi ini, maka bisa dipastikan akan sangat membantu keuangan negara," tegas Mamit.
Mamit mengatakan, sudahi membakar APBN di jalan. Uang negara seharusnya bisa dialihkan untuk hal yang produktif di sektor lain yang membutuhkan, seperti pendidikan dan kesehatan. Jika negara bisa mengalihkan Rp100 triliun dari subsidi BBM ke sektor pendidikan dan kesehatan, dampaknya akan luar biasa.
"Berapa banyak siswa SD sampai SMA yang mendapatkan beasiswa. Setiap siswa mendapatkan Rp12 juta selama satu tahun, maka akan ada 8,3 juta siswa yang akan mendapatkan beasiswa selama satu tahun," ujar dia.
Untuk pembangunan sekolah yang biayanya Rp2,5 miliar, maka akan ada 40 ribu sekolah yang bisa dibangun. Kalau untuk pembangunan puskesmas senilai Rp5 miliar, maka akan ada 20 ribu puskesmas terbangun.
"Itu kalau kita bisa melakukan penghematan Rp100 triliun. Bayangkan kalau kita bisa menghemat lebih besar lagi. Jadi menurut saya lebih baik untuk hal produktif dan bisa meningkatkan perekonomian masyarakat," kata Mamit.