Sri Mulyani Yakin Indonesia Tidak Krisis, Berkah Harga Komoditas Rasio Utang Turun 13 Persen
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak menampik bahwa sebanyak 60 negara berada di posisi sangat rentan. Perang antara Rusia dan Ukraina
TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tidak menampik bahwa sebanyak 60 negara berada di posisi sangat rentan. Perang antara Rusia dan Ukraina hingga kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) menjadi pemicu krisis keuangan.
"Banyak negara berpenghasilan rendah dalam risiko yang sangat mengerikan atau mendekati krisis keuangan. Oleh karena itu dunia perlu merespon," jelas Sri Mulyani dalam UI International Conference on G20.
Bendahara Negara ini menjelaskan pemicunya akibat krisis pangan dan krisis energi sehingga berdampak pada lonjakan inflasi. Kondisi fiskal yang terjepit membuat negara berpenghasilan rendah tidak mampu menahan rasio utang.
"Beberapa negara rasio utang sudah di atas 60 persen bahkan ada yang 80 persen, lalu 100 persenterhadap PDB. Untuk negara yang berpenghasilan rendah dan rentan situasinya menjadi tidak berkelanjutan," tuturnya.
Ketika AS menaikkan suku bunga acuan, maka yang terjadi adalah capital outflow.
Sri Mulyani menyebut dampak dari situasi tersebut adalah perlambatan perekonomian dan kondisi yang dinamakan stagflasi.
“Indonesia berada dalam posisi yang cukup baik. Kasus covid-19 yang terkendali dan pemulihan ekonomi yang berlanjut menjadi modal yang kuat,” ucapnya.
Ditambah dengan durian runtuh dari lonjakan harga komoditas internasional yang mendorong penerimaan negara meningkat drastis.
Menkeu menerangkan dana tambahan tersebut digunakan untuk menahan lonjakan inflasi akibat kenaikan harga energi dan pangan serta mengurangi rencana penerbitan surat utang.
"Dengan penerimaan yang kuat dari commodity boom, rasio utang kita terhadap PDB sebenarnya telah turun 13 persen,” ujar Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan sebanyak 60 negara di dunia sedang menghadapi tekanan dampak dari pandemi Covid-19 dan krisis ekonomi global.
Jokowi menekankan pernyataannya tersebut berdasarkan perhitungan organisasi bank dunia, dana moneter dunia (IMF), dan PBB.
"Saya diberitahu angka-angkanya, ngeri kita. Bank dunia menyampaikan, IMF menyampaikan, UN PBB menyampaikan.
Terakhir baru kemarin, saya mendapatkan informasi, 60 negara akan ambruk ekonominya, 42 dipastikan sudah menuju ke sana," ujar Jokowi saat Rakernas PDI-P di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Selasa (21/6) dua hari lalu.
Menurutnya, tingginya jumlah negara yang kemungkinan kolaps akan sulit dibantu oleh lembaga-lembaga internasional. Jokowi mewanti-wanti agar Indonesia senantiasa berjaga-jaga, hati-hati, dan meningkatkan kewaspadaan.
"Siapa yang mau membantu mereka kalau sudah 42 negara dan betul mencapai 60 negara, kita ga ngerti apa yang harus kita lakukan," tegasnya.
Presiden menegaskan bahwa Indonesia saat ini tidak berada pada posisi normal. Dia mengingatkan, apabila krisis keuangan masuk ke krisis pangan, lalu masuk ke krisis energi kondisinya akan semakin mengerikan.
"Sudah 1,2,3 negara mengalami itu. Tidak punya cadangan devisa, tidak bisa beli BBM, tidak bisa beli pangan, tidak bisa impor pangan karena pangannya, energinya, impor semuanya," jelas Jokowi.
Kondisi semakin sulit, kata Jokowi, ketika negara terjebak kepada pinjaman utang yang sangat tinggi dengan debt ratio yang terlalu tinggi. Pemerintah Indonesia sampai sekarang pun masih mensubsidi harga sejumlah komoditas seperti BBM Pertalite seharga Rp 7.650 per liter dan Pertamax seharga Rp 12.000 per liter.
“Hati-hati ini bukan harga sebenernya. Ini adalah harga yang kita subsidi. Dan subsidinya besar sekali. Saya berikan perbandingan saja Singapura harga bensin sudah Rp 31.000, di Jerman harga bensin juga sudah sama Rp 31.000, di Thailand sudah Rp 20.000," ungkap Jokowi
Prediden mengingatkan bahwa alokasi subsidi BBM sangat besar sekali bahkan bisa dipakai untuk membangun ibu kota satu. ”Angkanya sudah Rp502 triliun. Ini semua yang kita harus mengerti," imbuhnya.