KISAH Adriano, Striker Mematikan Inter Milan yang Karirnya Runtuh Karena Depresi

Berikut artikel tentang Adriano, Striker Mematikan Inter Milan yang Karirnya Runtuh Karena Depresi

Penulis: Andreas Eko Prasetyo | Editor: Heri Prihartono
AFP
Adriano Kala Berseragam Inter Milan 

TRIBUNJAMBI.COM - Penggemar Inter Milan pastinya kenal sosok penyerang tambun andalan Nerazzurri ini di tahun 200-an.

Ya, dia adalah Adriano Leite Ribeiro.

Adriano sebutan namanya yang paling dikenal, dianggap sebagai salah satu talenta emas sepak bola Brasil.

Namun sayangnya, pria yang dijuluki L'Imperatore alias Sang Kaisar itu tidak benar-benar mencapai puncak kariernya.

Semasa jayanya bersama Inter Milan, Adriano adalah sosok penyerang yang mematikan dengan tendangan kencang yang membuat kiper lawan tak berkutik.

Tubuh bongsor nan kokoh, kemampuan dribel khas pemain Brasil, dan sepakan kaki kiri maut adalah atribut yang tersemat pada pemain kelahiran Rio de Janeiro tersebut.

Namun, masa keemasan Adriano di lapangan hijau tak bertahan lama.

Dari striker yang menjadi mimpi buruk bagi bek-bek lawan, karier Sang Kaisar runtuh hingga titik terendah.

Adriano mengawali karier sepak bola profesional bersama klub kota kelahirannya, Flamengo.

Kemampuannya kemudian menarik minat salah satu klub top Liga Italia, Inter Milan.

Pada musim panas 2001, Inter memboyong Adriano ke Giuseppe Meazza.

Namun, ia tak langsung mendapatkan tempat utama sehingga dipinjamkan ke Fiorentina pada paruh kedua musim 2001-2002.

Sempat pila, striker Brasil itu dilepas ke Parma setahun berselang, Adriano pulang ke Inter kembali pada Januari 2003 dan langsung menjadi andalan lini depan I Nerazzurri.

Dalam waktu singkat, Adriano langsung menunjukkan performa impresif.

Bahkan ia sukses membukukan sembilan gol dari 16 laga Serie A pada paruh kedua musim 2003-2004.

Bersama timnas Brasil, Adriano berhasil memenangi Copa America 2004.

Tak cuma tampil sebagai juara, ia juga menyabet Sepatu Emas dengan gelontoran tujuh gol serta dinobatkan sebagai pemain terbaik turnamen tersebut.

Adriano juga digadang-gadang bakal menjadi penerus Ronaldo sebagai ujung tombak Selecao.

Memasuki musim 2004-2005, Adriano kembali menjadi tumpuan Inter Milan.

Ia sukses mencetak 16 gol dari 30 penampilan di Serie A.

Namun dari situ, awal kehancuran karier Adriano pun juga dimulai.

Berawal dari meninggalnya Sang Ayah

Adriano sejatinya masih bisa mencetak 13 gol dan membantu Inter Milan memenangi scudetto Serie A musim 2005-2006.

Akan tetapi, pada saat yang bersamaan, Adriano semakin akrab dengan inkonsistensi.

Di luar lapangan, ia mulai bersentuhan dengan alkohol dan bahkan kehidupan malam.

Pada 2006, Adriano sempat dua kali dicoret oleh pelatih timnas Brasil, Dunga, lantaran kedapatan sedang berpesta di klub malam.

Sementara itu di Inter Milan, ketajaman Adriano mulai luntur di mana ia cuma bisa mencetak lima gol dari 23 penampilan liga musim 2006-2007.

Padahal, saat itu Adriano tengah berada pada usia emas seorang pesepak bola yaitu 25 tahun.

Usut punya usut, ada alasan memilukan di balik merosotnya penampilan dari Adriano.

Kematian sang ayah pada 2004 membuat Adriano begitu terpukul. Hal ini diungkapkan oleh mantan kapten Inter, Javier Zanetti.

"Ketika mendapatkan telepon soal kematian ayahnya, kami berada di kamar. Dia (Adriano) membanting telepon dan mulai berteriak dengan cara yang tidak bisa dibayangkan," ungkap Zanetti kepada TuttoMercato pada 2017 lalu.

"Sejak saat itu, Massimo Moratti (Presiden Inter Milan) dan saya memperlakukannya sebagai adik. Dia terus bermain sepak bola, mencetak gol dan mendedikasikan golnya untuk ayahnya dengan menunjuk langit. Namun, setelah panggilan telepon itu, tidak ada yang sama seperti sebelumnya."

Kegagalan menjaga Adriano pun diakui Zanetti sebagai kekalahan terbesar dalam karier legenda Inter Milan tersebut.

"Kami tidak bisa menariknya keluar dari terowongan depresi. Itu adalah kekalahan terbesar saya. Saya merasa tidak berdaya."

Pada 2018 lalu, Adriano membuat pengakuan bahwa ia merasa begitu menderita setelah kehilangan sosok ayah.

"Hanya saya yang tahu betapa besar penderitaan yang saya rasakan. Kematian ayah telah menghadirkan kekosongan besar dalam hidup saya dan merasa sangat kesepian," ungkapnya, dikutip Football Italia.

"Segalanya menjadi semakin buruk karena saya mengisolasi diri sendiri. Saat itu di Italia, saya sendirian, sedih, dan depresi, yang membuat saya mulai minum alkohol."

"Saya hanya merasa bahagia ketika minum dan melakukannya setiap malam yang membuat saya harus meninggalkan Inter Milan," pungkasnya.

(Tribunjambi.com/Eko Prasetyo/Kompas.com)

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved