Digitalisasi UMKM Tak Sekadar Memindahkan Etalase ke Marketplace
Digitalisasi usaha mikro,kecil dan menengah (UMKM) jangan sekadar dimaknai sebatas memindahkan jualan produk ke marketplace ataupun media sosial.
Penulis: Deddy Rachmawan | Editor: Deddy Rachmawan
TRIBUNJAMBI.COM - Digitalisasi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) jangan sekadar dimaknai sebatas memindahkan jualan produk ke marketplace ataupun media sosial. Pelaku UMKM perlu juga memahami platform digital yang memiliki algoritma tertentu.
Pesan itu yang disampaikan oleh dua pelaku UMKM di dunia digital saat dihubungi Tribun secara terpisah pada Minggu (24/10). Mereka adalah Cecep Perdianto dan Suprianto yang sama-sama memiliki toko di sejumlah e-commerce. Dengan bekal pemahaman algoritma, bisnis mereka berdua termasuk yang masih selamat dari pukulan pagebluk Covid-19. Selain tentunya karena mereka telah memulai berjualan secara digital jauh sebelum pandemi.
“Seharusnya bicara digitalisasi, kuncinya adalah database, kata kuncinya data,” ujar Cecep Perdianto pemilik Herbal Jambi Shop di Tokopedia.
Cecep mulai memasarkan madu sebagai produk utamanya di toko daring sejak 2015 lalu. Namun jalannya tak lempang. Kata dia, saat itu ia belum begitu memahami bagaimana berjualan di marketplace. Pengetahuannya yang masih awam membuat penjualannya tak sebagus yang diharapkan. Dari situ ia mulai belajar bagaimana berjualan di ranah digital.
“Kalau mulai aktifnya setahun terakhir ini,” katanya.
Cecep mulai mengklasifikasikan customer, ia juga memasang iklan topads di Tokopedia dengan kata kunci tertentu. Kata kunci alias keyword yang presisi diperlukan untuk menyasar calon pembeli yang tepat. Bekal pengetahuan mengenai pemasaran digital itulah yang kemudian membuat bisnisnya berjalan pada rel yang diharapkan. Walhasil dalam enam bulan tokonya di Tokopedia naik ke silver 1.
“Ada yang bertanya itu jadi list prospek kita, lalu kita keluarkan promo, diskon, nanti dia akan repeat order,” papar Cecep.
Lain marketplace, lain pula di media sosial. Di sosmed, kata dia, pelaku UMKM perlu membangun ekosistem digital. Hal ini dilakukan untuk membangun brand. “Jadi kalau ada yang cari madu orang ingat Cecep,” ujarnya mengenai bagaimana ia membangun branding agar menjadi top of mind di ekosistemnya.
Demikian halnya Suprianto. Pemilik toko di beberapa e-commerce ini pun memulai dari nol dan belajar kepada ahlinya sehingga ia mengenal medan perempuran di ranah digital. Supri, demikian ia disapa, awalnya memulai usaha di toko online dari Kota Jambi. Setahun berjalan akhirnya ia hijrah ke Jakarta dengan sejumlah pertimbangan bisnis. Hadir dengan nama toko Azzam_mart di Tokopedia kini tokonya sudah mendapatkan gold 2.
Cekikan Pandemi
Pandemi yang mengerem aktivitas di segala lini memang memukul pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Roda bisnis mereka harus terus berputar agar tak hanya bisa menghidupi diri sendiri, tapi juga karyawan yang berada di tubir kehilangan penghasilan.
Mengutip situs milik Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, ekon.go.id bahwa hasil survei BPS, Bappenas hingga World Bank menunjukkan bahwa pandemi menyebabkan banyak UMKM kesulitan melunasi pinjaman serta membayar tagihan hingga gaji karyawan. Bahkan ada yang melakukan PHK terhadap karyawannya. Kendala lain yang dialami UMKM, kata Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso, antara lain sulitnya memperoleh bahan baku, permodalan, pelanggan menurun, distribusi dan produksi terhambat.

Usaha jasa berupa bimbingan belajar (bimbel) termasuk yang di awal pandemi dipukul telak Covid-19. Ketika sekolah-sekolah diliburkan sementara pembelajaran daring masih meraba-meraba, mau tak mau bimbel juga libur sementara waktu. Memang, pemerintah menggelontorkan sederet program bagi masyarakat yang terdampak pandemi. Tapi, diam berpangku tangan tentu bukan pilihan bijak.
“Kita sempat libur beberapa waktu dan juga kehilangan sejumlah murid,” kata Anna pemilik Bimbel Bright Kid Study Club.
Namun kemudian seiring sekolah-sekolah akrab dengan pemberlakuan pembelajaran jarak jauh atau secara daring Bright Kid perlahan mulai normal. Siswa bimbel pun belajar secara online. Bahkan Anna juga menawarkan bimbel ketengan. “Jadi sistemnya konsultasi PR secara online dan sesuai dengan kebutuhan siswa,” ucapnya.
Dampak pademi juga dirasakan oleh Cecep. “Perputaran modal jadi lambat karena waktu pengiriman jadi lebih lama karena adanya pembatasan aktivitas. Kan modal memang jadi kendala UMKM,” kata Cecep.
Setali tiga uang, Supri pun demikian. Tapi pria yang menekuni digital marketing ini punya penjelasan rinci, bahwa tidak semua UMKM yang bermain digital terdampak. “Yang terdampak itu penjualan produk-produk semisal aksesori, peralatan rumah tangga dan sejenisnya,” kata dia.
Sedangkan, penjualan produk-produk kesehatan, frozen food justru mengalami kenaikan. Maka tak heran ketika pandemi, di marketplace kita banyak menemukan toko yang mendadak menjual oksimeter, yakni alat pengukur kadar oksigen dalam darah. Oksimeter memang menjadi deteksi dini mereka yang terpapar Covid-19 untuk tahu seberapa bagus kadar oksigen mereka.
Imbas lain dari pandemi terhadap pelaku UMKM digital menurut Supri adalah turun gunungnya para pemodal besar. Mereka, kata dia, turut meramaikan marketplace. “Dari sisi konsumen, mereka diuntungkan dari hal harga. Tapi para penjual eceran justru yang terdampak,” paparnya.
Tidak hanya itu, kondisi ini membuat bargaining iklan berubah. “Biaya iklan jadi lebih tinggi,” ucapnya.
Kini kasus Covid-19 relatif melandai, kendati ada ancaman gelombang ketiga. Namun setidaknya aktivitas perekonomian kembali menggeliat. Mereka, para pelaku UMKM berharap kondisi terus membaik. “Pada akhirnya kondisi ini mengingatkan kita bahwa yang bertahan adalah yang adaptif,” kata Anna. (deddy rachmawan)