Hamid Awaluddin Tanggapi Sumbangan Akidi Rp 2 Triliun : Pejabat tidak Berpikir dengan Akal Sehat
Heboh kabar adanya sumbangan dua Rp2 triliun menjadi yang kesekian kalinya pejabat publik tidak dapat berpikir dengan akal sehat.
TRIBUNJAMBI.COM - Heboh kabar adanya sumbangan dua Rp2 triliun menjadi yang kesekian kalinya pejabat publik tidak dapat berpikir dengan akal sehat.
Suasana batin rakyat kembali dilecehkan oleh nalar yang tidak sampai hati melihat warga sedang terhimpit ekonomi dampak pandemi Covid-19.
Mantan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Prof Hamid Awaluddin, mengungkapkan hal tersebut saat berbincang dengan Tribun Network lewat ruang virtual, Selasa (3/8).
"Selain berulang, juga ada permasalahan lain kenapa harus diupacarakan dan harus melibatkan pejabat. Apakah itu pusat atau daerah. Dan itulah mengapa saya mengatakan ini pencederaan akal sehat pejabat kita," ucapnya di awal obrolan.
Hamid menyebuit pemasungan akal sehat para pejabat publik sudah kerap terjadi dan masih terus berulang hingga saat ini. "Anda mungkin masih segar ingat ketika seorang Menteri Agama (Said Agil Al-Munawar) berbicara di depan publik bahwa ada onggokan emas batangan di prasasti batu tulis yang bisa melunasi utang negara," tuturnya.
Menurut dia, statement tidak mencerminkan akal waras seharusnya tidak disampaikan ke khalayak ramai sehingga tidak membuat heboh.
Hamid menuturkan bahwa sangat tidak mungkin pada saat itu utang negara Republik Indonesia sebesar Rp1.500 triliun, seketika orang mengatakan tersimpan emas batangan di bawah tanah bisa dan bisa untuk melunasi utang negara.
Kemudian, ketika negara sedang mengalami bencana likuifaksi di Palu Sulawesi Tengah dan di Nusa Tenggara Barat, tiba-tiba muncul konglomerat mendeklarasikan aka membangun 1.500 unit rumah secara cuma-cuma.
"Sampai saat ini belum saya dengan berita janji konglomerat itu membangun rumah. Jadi buat saya ini semua mencederai akal sehat saya. Sebagai insan universitas saya agak terganggu secara spiritual," tuturnya.
Dia berujar kondisi batin rakyat di tengah himpitan pandemi Covid-19 tidak semestinya dimanfaatkan untuk menyebar kabar bohong apalagi sampai melibatkan pejabat publik.
Menurutnya Hamid, pejabat yang terlibat dalam kasus ini motifnya hanya satu yakni euforia ingin mengumandangkan kepada publik bahwa di terlibat segala ikhtiar meringankan beban rakyat.
"Bahwa terjadi deviasi itu sesuatu yang tidak diinginkan," imbuh eks Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia tersebut.
Berikut wawancara khusus Tribun Network bersama Mantan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Prof Hamid Awaluddin:
Bisa Anda cerita, ide menulis melecehkan daya nalar pejabat?
Idenya dari pengalaman empirik. Kalau melihat ke belakang sudah berapa kali terjadi pemasungan akal sehat para pejabat kita di Republik Indonesia. Mari kita lihat contoh mungkin Anda masih segar ingat ketika seorang Menteri Agama berbicara di depan publik bahwa ada onggokan emas batangan di prasasti batu tulis yang bisa melunasi utang negara.
Anda bisa membayangkan sebuah statement yang benar-benar tidak mencerminkan akal waras kita. Bagaimana mungkin pada saat itu Rp1.500 triliun utang negara, lalu ada orang mengatakan tersimpan emas batangan di bawah tanah.
Kalau Anda konversi emas waktu itu Rp250 ribu per gram. Untuk membayar Rp1.500 triliun kita butuh 6.000 ton emas batangan. Kalau dikonversi dalam angkutan dengan asumsi truk 4 ton dengan panjang 5 meter maka kita harus deretkan truk tersebut mulai dari Kebayoran baru sampai Hotel Indonesia tanpa jarak satu jengkal.
Dari sini kita bisa bayangkan nalar ini di mana? Kemudian tiba-tiba di tengah jalan minggu lalu ada deklarasi menyumbang Rp2 triliun. Logika sederhana, kalau orang ini menyumbang Rp2 triliun berapa banyak uangnya?
Angka berapa banyak itu yang saya logikakan lagi, dari mana dia dapat, dan bagaimana cara mendapatkannya. Kemudian bagaimana pajaknya. Semua ini bergelayut dipikiran saya satu minggu terakhir.
Dan ada lagi rentetan kejadian pada saat saudara-saudara kita kena musibah likuifaksi di Palu Sulawesi Tengah dan di Nusa Tenggara Barat. Ada lagi konglomerat yang datang mendeklarasikan akan membangun 1.500 unit rumah cuma-cuma.
Sampai saat ini belum saya dengar kawan-kawan pers memuat berita janji konglomerat itu membangun rumah.
Jadi buat saya ini semua mencederai akal sehat saya. Sebagai insan universitas saya agak terganggu secara spiritual, karena itulah saya menulis apa adanya. Begitu latar belakangnya.
Hal seperti ini selalu berulang?
Juga ada permasalahan lain kenapa harus diupacarakan dan harus melibatkan pejabat. Apakah itu pusat atau daerah. Dan itulah mengapa saya mengatakan ini pencederaan akal sehat pejabat kita.
Bisa Anda korelasikan antara niat baik dengan realitas kasus sumbangan?
Antara niat baik dan realitas terlampau jauh bedanya. Kalau Anda sekedar niat baik ada potensi yang Anda mau pakai disertai keikhlasan tetapi kalau Anda mengatakan dan memberi janji yang sudah tidak masuk akal sehat dan hanya untuk kepentingan publisitas itu sudah salah.
Lantas mengapa pejabat negara bisa percaya dengan adanya dana sumbangan ini?
Dari awal saya bilang tidak masuk akal. Baru saja ada kesempatan mau menulis. Karena saya menunggu pencairannya. Sudah dua tiga hari tidak ada pencairan apalagi sudah diupacarakan. Menghebohkan seluruh negeri. Kalau ada mestinya langsung diberikan.
Mengapa narasi yang terbangun di publik positif, boleh dibilang 80 persen positif. Apalagi yang memberikan bantuan dari saudara kita etnis Tionghoa?
Mari kita lihat suasana batin rakyat Indonesia di tengah himpitan pandemi Covid-19. Ekonomi terseret jalannya. Faktor psikologis keterbatasan gerak. Tiba-tiba ada orang menawarkan pesona mau meringankan beban. Maka segala keterhimpitan itu dibuka seperti air bak. There is light at the end of the tunnel (ada cahaya di ujung terowongan, red).
Suasana batin itu yang ada maka semua orang mengatakan Anda adalah pahlawan bangsa ini . Menjadi masalah psikologi bangsa yang terhimpit oleh berbagai derita antara lain pandemi Covid-19. Sama seperti likuifaksi Palu karena anak-anak bangsa kita sedang desperate akibat bencana gempa bumi.
Saya menggunakan analogi di tengah keterhimpitan pandemi, kalau ada orang yang bilang untuk keluar pandemi maka kita harus minum baygon campur bedak purol itupun cenderung kita percaya. Karena kita mau keluar apalagi kalau ada yang janji mau kasih Rp2 triliun. Suasana batin keterhimpitan yang membuat orang euforia.
Untuk mengakhiri polemik sumbangan Rp2 triliun seperti apa caranya agar akal sehat kita bisa kembali?
Terus terang hiruk pikuk tentang ditersangkakan kemudian dinyatakan masih terperiksa ini menambah kebingungan yang tadinya hanya masalah Rp2 triliun.
Bisa saja persoalan tersangka dan tidak tersangka hanya persoalan teknis yuridis. Mungkin masih ada unsur hukum yang belum terpenuhi sehingga dinyatakan belum tersangka. Tapi masalahnya kok bisa tidak sejalan antara pejabat satu di lembaga yang sama dengan pejabat yang lain.
Itu persoalan yang menimbulkan kehebohan lagi serta menimbulkan kecurigaan yang paling dasar. Orang mulai curiga drama apa yang terjadi sebenarnya. Sampai sekarang mungkin Anda yang berada di Sumatera Selatan pun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Saya juga tidak tahu.
Saya hanya mengatakan melihat dengan positive thinking mungkin terlanjur dinyatakan tersangka tetapi penyidik melihatnya masih unsur yang belum terpenuhi. Mudah-mudahan seperti itu. (tribun network/reynas abdila)