Siapa Orangtua Soekarno, Mengapa Nyoman Rai Srimben dan Raden Soekami Bertemu di Buleleng
“Singkat cerita, masalah sudah bisa terselesaikan. Raden Soekami akhirnya mengajak Nyoman Rai Serimben untuk tinggal di kos-kosan ini,” ungkap Nyoman
BANYAK orang tidak mengetahui siapa sebenarnya orangtua Soekarno.
Banyak juga yang tidak mengetahui, siapa sebenarnya Raden Soekami Sosrodiharjo dan Nyoman Rai Srimben.
Banjar Paketan, Desa Pakraman Buleleng memiliki catatan sejarah penting terkait kisah kehidupan presiden pertama Republik Indonesia, Ir Soekarno.
Kisah dimulai dari tempat ini, sebelum tokoh besar dalam sejarah Indonesia ini lahir.
Di wilayah inilah, kedua orangtuanya, yakni Raden Soekami Sosrodiharjo dan Nyoman Rai Srimben pertama kali bertemu.
Waktu itu, ayahanda Soekarno memutuskan untuk datang ke Buleleng, dan bekerja sebagai guru di sekolah rakyat, yang kini diberi nama SDN 1 dan 2 Paket Agung.
Selama mengadu nasib di Bumi Panji Sakti, Raden Soekami tinggal di sebuah kos-kosan, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah tersebut yakni di Jalan Gunung Batur I, Banjar Pakraman Banjar Paketan.
Kos-kosan itu adalah milik keluarga Nyoman Suma Artana (66), yang kini menjabat Kepala Lingkungan Banjar Paketan.
Setelah lama tinggal di kos-kosan itu, Raden Soekami kemudian bertemu dengan Nyoman Rai Srimben, putri dari keluarga Bale Agung, di Kelurahan Paket Agung.
Konon, hubungan Raden Soekami dan Nyoman Rai Serimben ini tidak mendapatkan restu dari pihak keluarga Bale Agung sehingga Raden Soekami nekat membawa lari Rai Serimben, dan mempersuntingnya tanpa restu.
Bahkan, sebut Nyoman Suma Artana, Raden Soekami sempat dipanggil untuk dimintai keterangan oleh keluarga Bale Agung.
Namun karena takut dan merasa terancam, Raden Soekami pun sempat meminta perlindungan kepada pihak kepolisian Polres Buleleng.
“Singkat cerita, masalah sudah bisa terselesaikan. Raden Soekami akhirnya mengajak Nyoman Rai Serimben untuk tinggal di kos-kosan ini,” ungkap Nyoman Suma Artana, didampingi Klian Adat Banjar Paketan, Ketut Purnawan, saat ditemui, Selasa (6/3/2018).
Selama tinggal di kos-kosan tersebut, kedua orangtua Soekarno pun hidup bahagia.
Di tempat itulah anak pertama mereka, yang diberi nama Raden Soekarmini dilahirkan.
Raden Soekami dan Nyoman Rai Serimben menanamkan ari-ari putri pertama mereka tepat di belakang kamar kos-kosan tersebut.
“Ya ari-ari anak pertama mereka ditanam di belakang kamar kos. Sebagai tanda, Raden Soekami kemudian menanamkan pohon belimbing putih di atas ari-ari tersebut,” tuturnya.
Dari pantauan di lokasi, hingga kini pohon belimbing putih itu terlihat masih hidup dan tumbuh secara subur.
Nyoman Suma Artana mengaku tidak dapat mengonsumsi buah yang dihasilkan, lantaran rasanya yang terbilang sangat asam.
Ia pun mengaku hanya dapat mengonsumsi bagian daunnya untuk dimasak menjadi sayur urap.
Ia memperkirakan Raden Soekami dan Nyoman Rai Serimben tinggal di kos-kosan milik leluhurnya itu selama kurang lebih enam tahun.
Konon, saat tengah mengandung Soekarno, kedua pasutri tersebut memutuskan untuk pindah ke Jawa Timur.
Selain foto, bukti fisik dari cerita sejarah orangtua Sukarno yang terdapat di Banjar Paketan kini yang tersisa hanyalah pohon belimbing putih tersebut.
Rumah kos-kosan itu kini telah dibongkar, dan dibentuk menjadi rumah modern.
“Terpaksa saya bongkar karena sudah mau ambruk termakan usia. Dulu, kos-kosan itu dibangun menggunakan bata merah, yang kemudian direkatkan dengan tanah liat. Zaman dulu itu sudah kuat. Cukup lama lah bertahan,” jelas Nyoman Suma Artana.
Diakui Nyoman Suma Artana, selama ini yang pernah mengunjungi kos-kosan tersebut hanyalah Sukmawati Soekarno Putri.
“Sukmawati pernah datang sekitar 15 tahun yang lalu. Dia juga sempat berfoto-foto di kos-kosan dan pohon belimbing itu,” tutupnya.
Gong Tertua Ada di Belanda
Banjar Paketan memiliki Sekaa Gong Kebyar Eka Wakya (KEW).
Sekaa gong ini merupakan sekaa gong terbaik yang dimiliki Buleleng.
Pihak banjar membentuk sekaa KEW ini dalam beberapa bagian, mulai dari sekaa dewasa, remaja, anak-anak, dan ibu-ibu PKK.
Konon, sekaa gong ini sudah ada sejak tahun 1926, dan bisa dikata sebagai sekarang tertua di wilayah Kota Singaraja.
Sebagai bukti, gong tertua asli milik Banjar Paketan kini tersimpan rapi di musem di Belanda.
Kelian Gong KEW, Made Astawa mengatakan, sejatinya warga meyakini bahwa sekaa gong di wilayah tersebut sudah ada jauh sebelum tahun 1926.
Hal ini dibuktikan dengan asal-usul sang maestro seniman kendang Gede Mendra (alm), yang memang berasal dari Banjar Paketan.
“Pemerintah pernah berencana akan memberikan penghargaan Wijaya Kusuma pada keluarga Almarhum Gede Mendra. Namun itu terhalang karena tidak memiliki bukti foto,” ungkapnya.
Nama Eka Wakya dikatakan Astawa mengadung arti ‘satu suara’.
Entah siapa yang membuat nama tersebut, namun diperkirakan sudah ada sejak zaman dahulu.
Sekaa Gong KEW kerap kali tampil di berbagai ajang bergengsi, baik ditingkat kabupaten maupun provinsi.
Dalam pembinaan dan pelatihan, masing-masing sekaa memiliki pendalaman tersendiri.
Seperti pada gong kebyar dewasa, disiapkan untuk membawakan gambelan khas Buleleng.
Sedangkan sekaa gong remaja dan anak-anak dilatih untuk pengawasan tabuh dan tari kreasi. Namun seluruhnya tetap memegang teguh kekebyaran khas Buleleng.
“Tiap minggu balai banjar kami tidak pernah sepi. Sekaa di sini memang semangat untuk berlatih. Sistem ngayah-nya pun masih sangat mengental. Kami tidak pernah mematok harga. Sudah terbiasa dari kecil menerapkan sistem ngayah. Dan hampir 99 persen anak-anak di sini bisa nabuh,” terangnya.
Disebutkan Astawa, keunikan gong kebyar yang dimiliki oleh Sekaa Gong KEW adalah terdapat pada bagian gongnya yang masih mepacek alias tidak digantung. Barungannya pun berbeda.
Khusus Di Banjar Paketan, pihaknya memiliki barungan delapan gangsa, empat kantilan, dua pemugal, dua penyahcah, empat calung, dua jegog, dua gong, terompong gede, terompong cenik, barangan besar dan lain sebagainya.
“Kalau zaman sekarang kan barungannya hanya empat gangsa. Sedangkan kami punya delapan dan calungnya kami punya empat. Ini artinya barungan kami itu merupakan barungan versi lama. Ini biasanya dipakai hanya untuk kegiatan upacara keagamaan karena identik dengan kesakralannya. Tapi tidak menutup kemungkinan juga kami gunakan, kalau ada pemesanan,” ungkapnya.
Sumber: Tribun Bali, telah tayang 2018
Baca juga: Antara Soekarno, Frans Seda, Kompas dan Jakob Oetama
Baca juga: Harta Karun yang Ditemukan di Jambi, Emas Diduga Milik Soekarno hingga Mobil Habibie di Atas Pohon
Baca juga: Benang merah Maia Estianty dan Soekarno, Ini Sejarah Masa Lalu 2 Keluarga Terpandang di Indonesia