Nama Asli DN Aidit dan Jejak Sebelum G30S PKI

Kemudian ia dibawa ke dekat sebuah sumur dan disuruh berdiri di situ. Kepadanya diberikan waktu setengah jam sebelum "diberesi".

Editor: Duanto AS
wikipedia
DN Aidit 

TRIBUNJAMBI.COM - DN Aidit dan G30S PKI selalu menjadi pembahasan pada bulan September.

Sosok DN Aidit ini merupakan satu di antara petinggi PKI (Partai Komunis Indonesia).

Jejak perjalanan pria bernama Dipa Nusantara Aidit ini sangat menarik ditelusuri.

DN Aidit lahir di Tanjung Pandan, Belitung, 30 Juli 1923. Ia meninggal di Boyolali, Jawa Tengah, 22 November 1965.

Dalam catatan sejarah Indonesia, DN Aidit merupakan seorang pemimpin senior Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sebenarnya, ia lahir di Pulau Belitung dengan nama Ahmad Aidit.

Nama panggilan akrabnya "Amat" dari orang-orang yang akrab dengannya.

Pada masa kecil, Aidit mendapat pendidikan dalam sistem kolonial Belanda.

Ayahnya, Abdullah Aidit, ikut serta memimpin gerakan pemuda di Belitung dalam melawan kekuasaan kolonial Belanda.

Orang tuanya setelah merdeka sempat menjadi anggota DPRS mewakili rakyat Belitung.

Abdullah Aidit juga pernah mendirikan sebuah perkumpulan keagamaan, "Nurul Islam", yang berorientasi kepada Muhammadiyah.

Apabila ditelusuri, keluarga DN Aidit berasal-usul dari Maninjau, Agam, Sumatera Barat.

Menjelang dewasa, Achmad Aidit mengganti namanya menjadi Dipa Nusantara Aidit.

Perubahan itu diberitahukannya ke ayahnya, yang menyetujuinya begitu saja.

Dari Belitung, Aidit berangkat ke Jakarta, pada 1940.

Di sana ia mendirikan perpustakaan "Antara" di daerah Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat.

Kemudian ia masuk ke Sekolah Dagang ("Handelsschool").

Ia belajar teori politik Marxis melalui Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda (yang belakangan berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia).

Dalam aktivitas politiknya itu pula ia mulai berkenalan dengan orang-orang yang kelak memainkan peranan penting dalam politik Indonesia, seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, Bung Karno, Bung Hatta, dan Mohammad Yamin.

Menurut sejumlah temannya, Hatta mulanya menaruh banyak harapan dan kepercayaan kepadanya, dan Achmad menjadi anak didik kesayangan Hatta.

Namun belakangan mereka berseberangan jalan dari segi ideologi politiknya.

Meskipun ia seorang Marxis dan anggota Komunis Internasional (Komintern), Aidit menunjukkan dukungan terhadap paham Marhaenisme Sukarno dan membiarkan partainya berkembang tanpa menunjukkan keinginan untuk merebut kekuasaan.

Sebagai balasan atas dukungannya terhadap Sukarno, ia berhasil menjadi Sekjen PKI, dan belakangan Ketua.

Di bawah kepemimpinannya, PKI menjadi partai komunis ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan Tiongkok.

Ia mengembangkan sejumlah program untuk berbagai kelompok masyarakat, seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lekra, dan lain-lain.

Dalam kampanye Pemilu 1955, Aidit dan PKI berhasil memperoleh banyak pengikut dan dukungan karena program-program mereka untuk rakyat kecil di Indonesia.

Dalam dasawarsa berikutnya, PKI menjadi pengimbang dari unsur-unsur konservatif di antara partai-partai politik Islam dan militer.

Berakhirnya sistem parlementer pada 1957 semakin meningkatkan peranan PKI, karena kekuatan ekstra-parlementer mereka.

Ditambah lagi karena koneksi Aidit dan pemimpin PKI lainnya yang dekat dengan Presiden Sukarno, maka PKI menjadi organisasi massa yang sangat penting di Indonesia.

Peristiwa G30S

Pada 1965, PKI menjadi partai politik terbesar di Indonesia, dan menjadi semakin berani dalam memperlihatkan kecenderungannya terhadap kekuasaan.

Pada 30 September 1965 terjadilah tragedi nasional yang dimulai di Jakarta dengan diculik dan dibunuhnya enam orang jenderal dan seorang perwira.

Peristiwa ini dikenal sebagai Peristiwa G-30-S.

Pemerintah Orde Baru di bawah Jenderal Soeharto mengeluarkan versi resmi dia bahwa PKI-lah pelakunya, dan sebagai pimpinan partai, Aidit dituduh sebagai dalang peristiwa ini.

Tuduhan ini tidak sempat terbukti, karena Aidit meninggal dalam pengejaran oleh militer ketika ia melarikan diri ke Yogyakarta dan dibunuh di sana oleh militer.

Kematian dan kontroversi

Ada beberapa versi tentang kematian DN Aidit ini.

Menurut versi pertama, Aidit tertangkap di Jawa Tengah, lalu dibawa oleh sebuah batalyon Kostrad ke Boyolali.

Kemudian ia dibawa ke dekat sebuah sumur dan disuruh berdiri di situ.

Kepadanya diberikan waktu setengah jam sebelum "diberesi".

Waktu setengah jam itu digunakan Aidit untuk membuat pidato yang berapi-api.

Hal ini membangkitkan kemarahan semua tentara yang mendengarnya, sehingga mereka tidak dapat mengendalikan emosi mereka.

Akibatnya, mereka kemudian menembaknya hingga mati. versi yang lain mengatakan bahwa ia diledakkan bersama-sama dengan rumah tempat ia ditahan.

Betapapun juga, sampai sekarang tidak diketahui di mana jenazahnya dimakamkan.

Selain kematiannya, kelahiran Aidit pun bermacam-macam versi.

Beberapa mengatakan Aidit kelahiran Medan, 30 Juli 1923 dengan nama lengkap Dja'far Nawi Aidit.

Keluarga Aidit konon berasal dari Maninjau, Sumatra Barat yang pergi merantau ke Belitung.

Namun banyak masyarakat Maninjau tidak pernah mengetahui dan mengakui hal itu.

Biodata DN Aidit

Nama lahir: Ahmad Aidit

Ganti nama: Dipa Nusantara Aidit atau DN Aidit

Lahir: Tanjung Pandan, 30 Juli 1923

Meninggal dunia: 22 November 1965 (umur 42)

Pasangan: Soetanti
Anak: Ibarruri Putri Alam, Ilya Aidit, Iwan Aidit, Ilham Aidit, Irfan Aidit

Pekerjaan: Politikus

Dikenal karena: Pemimpin Senior Partai Komunis Indonesia (*)

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved